Alt Title

Hilangnya Naluri Ibu akibat Sistem Sekuler Kapitalisme

Hilangnya Naluri Ibu akibat Sistem Sekuler Kapitalisme




Di dalam Islam, ibu memiliki peran mulia dan utama

Ibu merupakan madrasatul ula, atau sekolah pertama bagi anak-anaknya


______________________________


Penulis Bunda Hanif

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pendidik


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Berita yang cukup menghebohkan masyarakat baru-baru ini adalah tentang seorang ibu yang rela menjual putrinya ke selingkuhannya. Seorang anak yang harusnya dilindungi justru menjadi korban perbuatan keji ibu kandungnya.

Peristiwa memilukan ini menimpa seorang remaja perempuan di Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep yang dirudapaksa kepala sekolahnya berinisial J, bahkan ibu kandungnya sendiri yang menyerahkan korban untuk diperkosa. Ternyata peristiwa ini sudah terjadi berulang kali sejak Februari hingga Juni 2024. Namun, baru terungkap setelah korban menceritakannya kepada ayah kandungnya.

Ibu kandung korban merupakan selingkuhan pelaku. Pelaku menjanjikan akan membelikannya motor vespa jika E mau menyerahkan putrinya. Untuk menutupi hubungannya dengan J, ibu kandung korban mengaku tega melakukan perbuatan keji tersebut untuk ritual menyucikan diri.

Akibat perbuatannya, E dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1), (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. Sementara itu, pelaku J dijerat dengan Pasal 81 Ayat (3), (2), (1), 82 Ayat (2), (1) UU RI Nomor 17 Tahun 2016 perubahan atas UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara. (Muslimahnews.com, 4-9-2024)

Apa yang ada di benak Anda mengenai peristiwa ini? Rasanya tidak percaya bukan? Mengapa seorang ibu begitu tega berbuat demikian? Peribahasa kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah, tampaknya tidak berlaku bagi E yang tega menyerahkan anaknya kepada selingkuhannya untuk diperkosa.

 

Ke manakah hilangnya kasih ibu ketika buah hatinya dinodai? Pantaskah seorang ibu melakukan hal demikian apalagi dengan dalih ritual menyucikan diri? Seorang ibu seharusnya menjadi pelindung bagi anaknya, bukan justru menjerumuskan anak sendiri kepada pelaku. Bayangkan, sedalam apa trauma yang dirasakan sang anak akibat perbuatan keji tersebut?

Secara fitrah, seorang ibu pasti akan menjaga dan melindungi buah hatinya dari segala bentuk kejahatan. Namun, yang dilakukan E justru menyalahi fitrahnya sebagai seorang ibu. Kasih sayangnya telah hilang, nalurinya mati rasa. Untuk memenuhi nafsunya, anak terkena imbasnya. Sudahlah berselingkuh, anaknya pun diserahkan kepada selingkuhannya demi mendapatkan motor yang dijanjikan. Mengapa perbuatan keji ini bisa terjadi?

Pertama, lemahnya iman pada diri seseorang telah merusak akal dan pikirannya. Keimanan yang lemah akan mendorong seseorang untuk berbuat keji dan asusila. Jika iman rusak, maka hawa nafsu akan berkuasa, inilah yang menyebabkan hilangnya akal dan naluri keibuan.

Ada petikan hikmah, “Jika kau ingin merusak sebuah keluarga, rusaklah dahulu ibunya.” Petikan ini ada benarnya. Ibu yang rusak akan tega berbuat keji, bahkan menghancurkan keluarganya.

Kedua, sistem sekuler kapitalisme yang diterapkan di negeri ini telah merusak kehidupan sosial masyarakat. Sistem ini menjauhkan ketaatan individu kepada Allah Swt.. Tujuan hidup manusia di sistem ini hanya untuk memenuhi hasrat materi dan hawa nafsu.

Buah dari sistem ini adalah kebebasan berperilaku. Individu diberikan kebebasan berperilaku, dan berekspresi sesuai keinginannya selama tidak mengganggu hak/privasi orang lain. Dari kebebasan inilah lahir perilaku bebas tanpa batas, semisal pacaran, zina, berinteraksi dengan lawan jenis tanpa aturan, khalwat (berdua-duaan dengan nonmahram), ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan), dan cara berpakaian yang tidak sesuai dengan aturan Islam.

Ketiga, sistem pendidikan yang diterapkan berbasis sekuler kapitalisme. Porsi pendidikan agama di sekolah hanya sedikit dan  hanya sebatas materi pelengkap, bukan menjadi landasan dan pedoman dalam melakukan perbuatan. Peserta didik hanya diajarkan cara menjadi individu yang sukses secara materi.

Keempat, sistem sanksi yang diberlakukan tidak memberi efek jera. Akibatnya, perbuatan asusila dan zina semakin marak.

Lunturnya fitrah dan naluri ibu dikarenakan penerapan sistem sekuler kapitalisme. Lantas, bagaimana Islam memosisikan peran ibu? Apa yang seharusnya negara lakukan untuk mencegah setiap perbuatan maksiat?

Di dalam Islam, ibu memiliki peran mulia dan utama. Ibu merupakan madrasatul ula, atau sekolah pertama bagi anak-anaknya. Dari rahimnya, diharapkan lahir generasi yang berkualitas. Peran ibu tidak sekadar mengandung, melahirkan, menyusui dan memberi makan, melainkan harus mumpuni dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya.

Seorang ibu wajib mendidik anak-anaknya dengan menanamkan akidah Islam yang kuat, dan membiasakan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Agar dapat menjalankan perannya dengan sebaik-baiknya, para ibu dan calon ibu wajib membekali diri mereka dengan pemahaman Islam yang benar.

 

Tentunya para ibu dan calon ibu membutuhkan support system agar bisa optimal menjalankan perannya. Support system tersebut adalah negara sebagai penjaga dan pelindung rakyat. Negara harus memiliki daya dan upaya untuk melakukan aktivasi sistem agar benar-benar terbentuk ketakwaan komunal, di antaranya:

Pertama, negara akan menjamin pemenuhan kebutuhan dasar agar para ibu tidak terbebani dengan permasalahan ekonomi. Untuk itu, negara menyediakan lapangan pekerjaan, atau memberikan bantuan modal usaha, dan memudahkan para ayah dalam mencari nafkah. Perekrutan tenaga kerja laki-laki lebih diprioritaskan dibandingkan perempuan.

Namun bukan berarti perempuan tidak boleh bekerja, Islam membolehkan perempuan bekerja di ranah publik, seperti menjadi guru, perawat, dokter, dan sebagainya. Namun, tidak dibebankan kewajiban mencari nafkah. Di dalam Islam, perempuan bekerja hanya untuk mengamalkan ilmunya agar bisa bermanfaat bagi umat. Jam kerja untuk perempuan diatur agar tidak menyita kewajibannya dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya, misalnya tidak ada jam kerja malam bagi perempuan.

Kedua, menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Seluruh perangkat pendidikan, mulai dari kurikulum, buku ajar, sistem pengajaran dan sebagainya harus berasas akidah Islam agar melahirkan generasi yang berkepribadian Islam. Negara juga menyediakan tenaga pengajar yang profesional dan saleh/salihah.

Ketiga, menerapkan sistem pergaulan Islam yang dapat mencegah masyarakat bergaul tanpa batas. Interaksi kepada lawan jenis dibatasi pada perkara-perkara yang disyariatkan seperti silaturahmi kepada kerabat, jual beli, kesehatan, pendidikan, dan lainnya. Terdapat larangan pacaran, berzina, berkhalwat dan ikhtilat. Pengaturan ini akan membuat pergaulan mereka terjaga dan tetap kondusif.

Keempat, menyaring dan mencegah segala bentuk informasi yang bisa memicu kemaksiatan, seperti konten porno, tayangan yang mengumbar maksiat, dan tontonan yang tidak bermanfaat.

Kelima, mendidik dan mengedukasi masyarakat agar senantiasa berbuat sesuai syariat Islam, gemar beramar makruf nahi mungkar, tidak terlena dengan kenikmatan dunia dan semangat beramal untuk bekal akhirat. Negara menciptakan suasana iman dan ibadah di masyarakat dengan menerapkan sistem sosial dan pergaulan berdasarkan syariat Islam.

Keenam, memberikan sanksi yang tegas dan memiliki efek jera kepada pelaku kemaksiatan, sehingga seseorang akan berpikir ribuan kali sebelum berbuat maksiat. Tidak ada praktik tebang pilih hukum, siapa pun yang berbuat zalim akan diberikan sanksi, Ini merupakan bentuk perlindungan dan jaminan negara terhadap keselamatan rakyatnya.

Tentunya semua ini hanya dapat diwujudkan dengan penerapan syariat Islam secara kafah. Syariat Islam kafah akan membentuk lingkungan dengan suasana keimanan yang kuat. Masyarakat terjaga kesehatannya, baik secara fisik maupun psikis. Dan generasi terlindungi dari segala bentuk kerusakan. Wallahualam bissawab. [SH/MKC]