Kejahatan Anak Makin Menjadi, Tanda Rusaknya Fitrah Anak
Opini
Seperti gunung es, anak-anak yang menjadi pelaku kejahatan
terus meningkat dari tahun ke tahun di berbagai wilayah Indonesia
______________________________
Penulis Ummu Ahsan
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Seribu orang tua bisa bermimpi, satu orang pemuda bisa mengubah dunia.
Orang tua mana yang tidak bahagia jika anak-anaknya bisa sukses dunia akhirat. Orang tua mana yang tidak merasa bangga jika anak-anaknya bisa menjadi generasi yang berguna bagi nusa dan bangsa. Itulah harapan orang tua kepada buah hati mereka, sehingga rela berkorban apa saja demi harapan itu terwujud.
Namun sayang seribu kali sayang, terkadang harapan itu pupus bukan karena waktu tapi karena rusaknya fitrah anak. Kasus demi kasus telah membuktikan bahwa remaja saat ini fitrahnya sedang tidak baik-baik saja. Seperti kasus pembunuhan seorang siswi berusia 13 tahun yang diduga dilakukan oleh empat orang pelajar di kota Palembang, Sumatra Selatan.
Sungguh tak bermoral, pemicu dari kasus tersebut diduga setelah menonton film dewasa. Terbukti ditemukan adanya video dewasa dalam HP salah satu pelaku yang tiada lain adalah pacar dari korban.
Diketahui bahwa pacar si korban dalam melancarkan rencananya mengajak tiga temannya. Polisi saat ini telah menetapkan IS (16), MZ (13), AS (12), dan NS (12) sebagai tersangka. (cnnindonesia.com, 6-9-2024)
Sungguh miris, generasi yang seharusnya fokus untuk meraih cita-cita dan mewujudkan harapan kedua orang tuanya, menjadi pribadi yang bertakwa tengah terjerat kasus yang keji pemerkosaan dan pembunuhan. Fenomena ini sekaligus menjadi potret buram bagi anak-anak yang kehilangan dunia bermain dan belajar sesuai dengan fitrahnya.
Kasus di atas hanyalah sebagian dari kasus yang nampak di permukaan, karena tidak semua kasus yang terjadi dilaporkan dengan alasan yang ditutupi oleh pihak keluarga korban.
Seperti gunung es, anak-anak yang menjadi pelaku kejahatan terus meningkat dari tahun ke tahun di berbagai wilayah Indonesia. Ini menunjukkan adanya problem serius baik pada keluarga, lingkungan maupun negara saat ini.
Istana yang paling indah adalah keluarga, mengapa dikatakan demikian karena keluarga adalah tempat berkasih sayang antara anggota keluarga yang lain. Di dalamnya ada ibu yang menjadi sekolah utama dan pertama.
Namun dalam negara bersistem ekonomi kapitalis, rakyat hidup sengsara sehingga para ibu tidak mampu menjalankan peran sesuai fitrahnya. Di antaranya karena maraknya ibu bekerja, sebab kemiskinan atau karena arus kesetaraan gender.
Selain itu, tingginya angka perceraian mampu memengaruhi kepribadian anak. Anak-anak menjadi korban dan terbentuk menjadi pelaku kejahatan dari perpisahan kedua orang tuanya. Alhasil, keluarga yang menjadi benteng pertahanan terakhir untuk generasi tidak dapat berfungsi secara optimal.
Setali tiga uang, lingkungan hari ini banyak memberikan contoh yang kurang baik di sekolah maupun di masyarakat. Media menayangkan pornoaksi pornografi, adegan kekerasan, dan berbagai kemaksiatan lainnya yang dengan mudah dapat diakses tanpa batas.
Secara tidak langsung hal seperti itu telah merusak fitrah anak. Mereka tumbuh dengan semua faktor penyebab kemaksiatan tanpa memahami standar terpuji dan tercela. Mereka menjadi dewasa sebelum waktunya, jelas semua itu telah memberikan dampak negatif pada perilaku anak.
Faktor pemicu adalah yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara penuh dari semua persoalan masyarakat dan menentukan semua kebijakan. Adanya pembiaran dari faktor pemicu kemaksiatan bagian dari ideologi sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan yang asasnya dari ideologi kapitalisme dari negara barat. Sekularisme mengajarkan hidup bebas yang dituntun oleh hawa nafsu, sehingga standar kebahagiaan diletakkan pada kepuasan materi semata.
Perilaku generasi akan menjadi liberal tanpa memikirkan akibat dari tindakannya apalagi mengaitkan dengan kehidupan akhirat. Maka, tak heran banyak kita temukan generasi yang pandai secara akademik namun candu pornografi, mental illness, candu judi online, miras, narkoba, free sex, dan sebagainya. Bahkan, mereka sudah bangga dengan kejahatan dan kemaksiatan yang dilakukannya.
Tak ada asap kalau tak ada api. Kejahatan anak adalah masalah sistemis, maka butuh solusi yang sistematis, yaitu solusi yang datang dari Sang Pencipta.
Pertama, wajib menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam, sehingga kurikulumnya berkesinambungan yang akan meningkatkan keimanan dan ketaatan pelajar kepada Allah Swt..
Kedua, negara memberikan akses secara gratis dalam mengecap pendidikan dikarenakan pendidikan adalah salah satu kebutuhan mendasar, sehingga baik orang tua dan pelajar tidak terbebani dengan biaya pendidikan yang setinggi langit.
Fungsi keluarga pun akan kembali sesuai fitrahnya. Serta terbentuknya lingkungan masyarakat yang menghidupkan amar makruf nahi mungkar yang akan menjadi langkah preventif.
Ketiga, negara tidak menormalisasi segala bentuk kemaksiatan dan memberikan sanksi tegas kepada pelaku. Hukuman dalam Islam memiliki sifat yang membuat pelaku jera tidak mengulangi lagi perbuatannya. Setiap pelaku yang terkategori akil balig dan mukalaf bisa diterapkan sanksi, termasuk para remaja.
Walhasil, generasi yang unggul tidak akan lahir dari sistem sekuler. Dibutuhkan penerapan sistem yang baik dan benar seperti pada sejarah Kekhilafahan Abbasiyah.
Bukan tidak mungkin perubahan sistem itu akan terjadi karena istilah "perubahan" telah digunakan negara Indonesia sepanjang sejarahnya. Wallahualam bissawab. [SM-DW/MKC]