Alt Title

Marak Kasus Bundir Negara Tak Hadir

Marak Kasus Bundir Negara Tak Hadir




Jika ditelisik, pemicu terjadinya seseorang nekat melakukan bunuh diri dilatarbelakangi

karena masalah gangguan kesehatan mental


______________________________


Mia Annisa

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pemerhati Remaja


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Seorang siswi SMP berinisial NP (15 tahun) nekat mengakhiri hidupnya dengan menabrakan diri ke kereta api di Cikarang Utara, menggegerkan publik. Entah masalah apa yang sedang dia hadapi, sampai-sampai memilih bunuh diri dengan cara tragis. (jabar.tribunnews.com, 29-8-2024)


Masih dirilis dari jabar.tribunnews.com, Kamis, 29 Agustus 2024. Sebelum NP tewas tertabrak kereta, diketahui siswi SMP tersebut terlihat mondar-mandir di sekitar peron kereta oleh warga. Sebelum akhirnya korban berlari dan melompat ke arah perlintasan kereta. Pilunya bersamaan dengan jasadnya, ditemukan secarik kertas berisi surat wasiat permintaan maaf kepada ibunya. Peristiwa ini terjadi di Stasiun Lemahabang, Desa Simpangan, Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (27/8/2024) pada pukul 16.00 WIB.

Sungguh miris, belakangan kita sering mendengar kasus bunuh diri marak di kalangan remaja, apakah ini wajar?  Jika ditelisik, pemicu terjadinya seseorang nekat melakukan bunuh diri dilatarbelakangi karena masalah gangguan kesehatan mental.

Merilis penjelasan dari laman resmi Kementerian Kesehatan lms.kemkes.go.id, penyebab bunuh diri beragam, namun yang paling banyak terjadi adalah depresi. Sebab lainnya karena skizofrenia atau gangguan jiwa berat. Depresi merupakan problem kesehatan masyarakat yang cukup serius. WHO menyatakan bahwa depresi berada pada urutan nomor 4 penyakit di dunia dan diprediksi akan menjadi masalah gangguan kesehatan yang utama.

Kasus bunuh diri dalam kurun waktu 11 tahun terakhir (2012-2023) mengalami tren peningkatan setidaknya ada sekitar 2.112 kasus bunuh diri di Indonesia. Sebanyak 985 kasus (46,63 %) dilakukan oleh remaja. (lestari.kompas.com, 17-12-2023)

Merilis data dari Indonesia National  Mental Health Survey (I-NAAMHS) angka kejadian dengan gangguan mental pada generasi muda antara 10-17 tahun di Indonesia, sebuah survei kesehatan mental nasional pertama, pada Oktober 2022. Hasilnya menunjukkan bahwa 1 dari 3 anak muda Indonesia memiliki masalah mental health (kesehatan mental), sedangkan 1 dari 20 anak muda Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. (ugm.ac.id, 24-10-2022)

Melihat banyaknya fakta kasus bunuh diri yang menimpa remaja, seyogyanya patut menjadi perhatian. Remaja sebagai generasi penerus justru hidupnya pragmatis terhadap dinamika kehidupan, mudah goyah, dan salah arah. Kehidupan semacam ini terjadi karena sekularisme sebagai pemicu utamanya melahirkan masalah-masalah cabang. Seperti akumulasi permasalahan yang tak terselesaikan entah itu karena faktor sosial, ekonomi, lingkungan atau psikologi itu sendiri, sehingga mengantarkan pelaku bunuh diri pada serangkaian perjalanan psikologis yang panjang sebelum akhirnya memutuskan untuk bunuh diri.

Di sisi lain dalam sistem kapitalis penderita gangguan kesehatan mental terpaksa berjuang sendirian tanpa didampingi oleh siapa pun. Keluarga yang menjadi benteng terakhir telah tersubordinasi perannya di bawah lingkungan industrialis yang jauh dari kata sejahtera. Menyebabkan hilangnya ikatan emosional (bonding) antara dua pihak, seperti orang tua dan anak. Tak pelak teman menggantikan peran orang tua sebagai tempat berbagi cerita yang kadang malah menjerumuskan pada pergaulan bebas.

Masalah tak hanya berhenti sampai di situ ketika penderita mengalami gangguan kesehatan mental. Puncaknya hari ini negara tak mampu memberikan solusi terhadap akses kesehatan yang murah bahkan gratis. Mereka yang mengalami gangguan kesehatan mental semestinya mendapatkan penanganan kesehatan dengan controlling dan berobat ke psikiater. Nyatanya, saat ini konseling ke dokter psikologi membutuhkan biaya yang tidak murah alias mahal karena ilmu dan pendidikan psikologi yang didapatkan dalam sistem kapitalis hari ini tidak murah.

Jika sudah demikian, berbicara masalah kesehatan mental adalah permasalahan yang kompleks. Perkara kesehatan mental bukan hanya berbicara jika si pelaku yang terkena gangguan kesehatan mental berujung pada bunuh diri bukan karena kurang iman dan kurang mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa taala. Dalam sistem kapitalis sekuler setiap orang rentan terkena gangguan kesehatan mental karena sistem hari ini yang telah melanggar fitrah sebagai seorang manusia.

Islam telah memberikan sederet aturan untuk menyelematkan individu dari bahaya kesehatan mental. Dengan memberikan edukasi tentang cara mengelola emosi yang harus senantiasa disandarkan atas dasar keimanan kepada Allah. Bahwa segala ketetapan baik dan buruknya berasal dari Allah. Islam juga memberikan penyaluran rasa sedih, marah, khawatir, dan yang lain sebagainya. Mengajarkan tentang tujuan hidup yang hakiki adalah akhirat. Menjadikan sabar dan salat sebagai penolong agar hidup menjadi tenang.

"Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (TQS. Al-Baqarah: 153)

Islam akan memberlakukan sistem pengobatan medis dengan melakukan pencegahan secara preventif, seperti deteksi dini yang dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih mencegah problem psikis kepada individu yang terindikasi terkena gangguan kesehatan mental.  Apabila terindikasi terkena gangguan kesehatan mental, dalam hal ini negara akan melakukan rehabilitasi medis dan nonmedis kepada penderita gangguan mental, melalui skema pembiayaan penuh oleh negara.

Tercatat dalam sejarah Islam memperkenalkan rumah sakit jiwa dan metode pengobatan sakit mental 10 abad jauh sebelum Eropa. Dari hasil studi yang dilakukan oleh Marwan Dwairy dalam bukunya (1998), Mental Health in the Arab World (publikasi Elsevier Science) menyatakan bahwa Rumah Sakit Jiwa pertama di dunia dibangun di negara-negara Arab, berawal di Kota Baghdad, kemudian Irak (705), Kairo (800), dan Kota Damaskus (1270). Para dokter dan psikolog muslim yang menemukan bentuk terapi bagi penderita sakit jiwa, seperti psikoterapi, musik terapi, serta terapi konseling dan pengobatan lainnya.

Tak ketinggalan para cendekiawan muslim di era keemasan seperti Ath-Thabari dalam kitabnya Firdaus al-Hikmah, yang menulis kitabnya pada abad ke-9, telah mengembangkan psikoterapi untuk menyembuhkan pasien yang mengalami gangguan jiwa. Ada Al-Farabi (872-950), seorang ilmuwan termasyhur, menuliskan risalah terkait psikologi sosial dan berhubungan dengan studi kesadaran dalam karyanya, Al-Musiqa al-Kabir (The Great Book of Music).

Dari sisi kurikulum pendidikan negara harus menyiapkan para pemudi menjadi calon ibu pemimpin umat dan mempersiapkan para pemuda menjadi calon ayah pemimpin umat. Hal ini mencegah berbagai masalah sejak awal, semisal disharmoni keluarga serta fatherless dan motherless yang berdampak pada luka pengasuhan, hingga berakibat pada gangguan mental.

Demikianlah Islam memberikan solusi terhadap individu yang terkena gangguan kesehatan mental yang bisa mengantarkan penderitanya pada keinginan mengakhiri hidup (bunuh diri). Solusi tersebut hanya bisa dapat diterapkan tatkala sistem kapitalis sekuler dicabut hingga ke akar-akarnya. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]