Alt Title

Penghargaan bagi Inovasi Data Kemiskinan, Kesejahteraan Hanya Angan

Penghargaan bagi Inovasi Data Kemiskinan, Kesejahteraan Hanya Angan

 


Persoalan mendasar negeri ini bukan hanya sekadar masalah data

tapi lebih krusial lagi adalah bagaimana negeri ini bisa mengatasi kemiskinan yang tengah melanda hampir semua lapisan masyarakat


______________________________


Penulis Inayah

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Dakwah


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Bupati Bandung Dadang Supriatna kembali menerima penghargaan dari Gubernur Jawa Barat atas kinerjanya, dalam rangka Hari Jadi Provinsi Jawa Barat di Gedung Sate. (Jabar, 19/8/2024)


Bupati Bandung menerima penghargaan Kinerja Pengelolaan Data Kemiskinan Terbaik untuk Kategori Inovasi Pelayanan Data Kemiskinan Terbaik Tingkat Provinsi Jabar. Penghargaan diserahkan PJ Gubernur Jabar Bey Machmudin kepada Sekretaris Daerah Kabupaten Bandung Cakra Amiyana mewakili Bupati Bandung, disela upacara peringatan Hari Jadi ke-79 Provinsi Jabar di Gedung Sate, Bandung. 


Menurut sekda, penghargaan ini merupakan salah satu bukti Pemerintah Kabupaten Bandung di bawah arahan dan bimbingan Bupati Bandung telah berhasil menjadi yang terbaik di Jawa Barat, terkait dengan data kemiskinan. Cakra Amiyana menandaskan, bahwa mendapat penghargaan bukanlah tujuan, melainkan bagaimana memotivasi Pemkab Bandung untuk selalu berupaya memberikan pelayanan yang terbaik bagi warga Kabupaten Bandung.


Kemiskinan dan ketimpangan adalah sebuah persoalan yang sedang melanda seluruh negeri, termasuk Indonesia. Pemerintah sendiri tengah berupaya menurunkan angka kemiskinan dan ketimpangan ekonomi demi tercapainya kesejahteraan. Untuk itu, membutuhkan data yang akurat terkait penduduk yang terkategori miskin tersebut.


Perlu dipertanyakan terkait inovasi data kemiskinan terbaik. Begitu sulitkah melakukan pendataan, sehingga sebuah inovasi pendataan harus mendapat penghargaan? Lalu bagaimana program untuk mengatasi kemiskinan itu sendiri? Apa saja standar kemiskinan yang ditetapkan?


Jangan sampai data kemiskinan hanya sebatas permainan angka-angka saja, ABS (asal bapak senang). Khawatir kalau jumlahnya bertambah, akhirnya data kurang akurat. Hal ini biasanya diketahui ketika ada pembagian bantuan sosial (Bansos). Orang yang sudah meninggal masih terdata, sedangkan yang terkategori miskin malah tidak terdata. 


Kita baru berbicara tentang data, sementara persoalan mendasar negeri ini bukan hanya sekadar masalah data, tapi lebih krusial lagi adalah bagaimana negeri ini bisa mengatasi kemiskinan yang tengah melanda hampir semua lapisan masyarakat. Jumah penduduk yang tergolong kelas menengah menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir, sebelumnya diungkapkan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar, dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada tahun 2024. Artinya, ada sekitar 9,48 juta orang keluar dari kategori kelas menengah dan turun ke kategori yang lebih rendah.


Permasalahan kemiskinan terjadi hampir di semua negara. Penyebabnya tiada lain akibat penerapan sistem kapitalisme sekuler dengan sistem ekonomi kapitalisnya. Ekonomi kapitalisme menganut kebebasan dalam kepemilikan. Siapa pun yang memiliki uang atau modal bisa memiliki dan menguasai apa pun dari harta kekayaa, sehingga orang kaya makin kaya, orang miskin tambah miskin. Kekayaan terkonsentrasi pada pemilik modal yang kuat. Kekayaan alam Indonesia yang melimpah tidak bisa dinikmati oleh rakyat. Pengelolaannya berada di tangan para pemilik modal, baik swasta dalam negeri, asing maupun aseng. 


Selain itu, berbagai pungutan pajak menjadi beban tersendiri. Subsidi dikurangi tapi target pajak terus digenjot. Bagaimana bisa masyarakat mencapai kesejahteraan hidupnya bila berhadapan dengan kondisi yang serba mahal akibat inflasi dan pengurangan subsidi? 


Berbeda dalam sistem Islam, di mana Islam mengatur kepemilikan, baik kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Kepemilikan umum berupa SDA yang melimpah tidak boleh pengelolaannya diserahkan kepada individu, terlebih asing. Tetapi harus dikelola negara dan hasilnya harus dikembalikan kepada pemiliknya yaitu rakyat. Dengan begitu bisa dikembalikan baik dalam bentuk pembagian zatnya seperti listrik ke rumah-rumah rakyat atau dalam bentuk fasilitas umum, pendidikan, kesehatan juga keamanan gratis. 


Dalam sistem Islam tidak ada pungutan pajak yang bersifat permanen. Jika negara membutuhkan dana ketika Baitulmal kosong hanya dipungut dari orang muslim kaya yang sifatnya insidental. Ketika kebutuhan yang sifatnya mendesak sudah terpenuhi pungutan dihentikan. 


Pemimpin dalam Islam diposisikan sebagai penanggung jawab terhadap seluruh rakyatnya. Ada satu orang saja yang kelaparan menjadi masalah yang harus segera diselesaikan. Bandingkan dengan sistem kapitalis, kelaparan begitu mudah ditemukan. 


Pemimpin dalam Islam tidak hanya mengandalkan data yang disetorkan oleh para pejabatnya. Peluang manipulasi data harus dihilangkan dengan blusukan langsung ke tengah masyarakat. Hal ini pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Al Khatab, keliling daerah, ketika beliau melihat seorang ibu yang sedang memasak sementara dirumahnya terdengar anak-anak menangis. Khalifah Umar mendekati dan bertanya, kenapa anaknya menangis? Ibu tersebut menjawab bahwa anaknya kelaparan, sementara yang dimasak hanya batu untuk menghibur anaknya.


Menyaksikan itu semua Khalifah Umar segera mengambil gandum yang ada di Baitulmal untuk segera diberikan pada ibu tersebut. Beliau tidak ingin ada masyarakat yang kelaparan gara-gara kepemimpinannya. Karena beliau paham bahwa pemimpin akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt. sebagaimana hadis Nabi saw.,

"Setiap pemimpin ibarat penggembala dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya)." (HR. Ahmad)


Para pemimpin dan pejabat yang taat syariat akan meminimalisir pemalsuan data. Di samping itu, pemimpin dalam Islam berkewajiban menyediakan lapangan kerja yang seluas-luasnya agar para wajib penanggung nafkah mampu menafkahi keluarganya. Bila ditemukan tidak mampu mencari nafkah dengan alasan uzur sudah tua, atau cacat, dan tidak ditemukan saudara yang mampu menafkahinya, negara bertanggung jawab memenuhi segala kebutuhannya yang disiapkan dari Baitulmal, baik dari pos zakat atau lainnya. 


Mekanisme ekonomi Islam seperti ini bersifat realistis mengangkat kemiskinan dari masyarakat. Namun, sistem ini hanya menjadi teori semata jika tidak diterapkan dalam sistem Islam yang telah dicontohkan oleh baginda Muhammmad  Rasulullah saw. juga para sahabatnya.


Semoga para penguasa dan masyarakat bersedia menerapkan sistem Islam ini, sehingga kesejahteraan bukan hanya sebatas angan tetapi sebuah kenyataan yang bisa dirasakan oleh per individu rakyat. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]