Alt Title

Peran Strategis Ibu Menjadikan Anak Bestie hingga ke Surga

Peran Strategis Ibu Menjadikan Anak Bestie hingga ke Surga

 



Anak adalah sebagai sebuah amanah atau titipan

dari Allah Sang Pencipta

______________________________


Penulis Seddwi Fardiani

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Istilah 'bestie' saat ini sudah sangat populer untuk digunakan. Hal ini menandakan hubungan yang sangat dekat di antara seseorang dengan yang lain atau bisa dikatakan layaknya sebagai seorang sahabat.


Dalam keluarga seorang anak harusnya memiliki kedekatan dengan orang tuanya, khususnya ibu. Karena ibulah yang mengandung, melahirkan, merawat, serta memberikan pendidikan bagi anak-anaknya sebagai madrasatul ula, sehingga sudah selayaknya jika istilah 'bestie' disematkan pada hubungan antara ibu dengan anak.


Dalam kehidupan, seorang wanita pada dasarnya memiliki berbagai peran strategis yang melekat pada dirinya. Peran tersebut di antaranya adalah peran sebagai hamba Allah, istri, ibu, dan anggota masyarakat.


Peran-peran ini bisa dilaksanakan dengan seimbang dan baik tanpa ada salah satunya yang dikesampingkan, sehingga dalam hal ini seorang perempuan harus memiliki pengalaman (experience) dan juga keahlian (skill).


Dalam hal ini, kita bisa mencontoh para wanita yang hidup di masa Rasulullah dan kejayaan Islam seperti: Khadijah, Aisyah, Sumayyah, Asma' binti Abu Bakar, Khantsa, dan masih banyak lagi. Mereka merupakan wanita yang salihah, cerdas, dan tangguh di masanya.


Sebagai seorang hamba, wanita memiliki kewajiban yang sama dengan pria yakni sama-sama wajib menghambakan diri tunduk patuh kepada Allah semata. Allah berfirman di dalam Al-Qur'an surah Adz-Dzariyat ayat 56:


ÙˆَÙ…َا Ø®َÙ„َÙ‚ْتُ الْجِÙ†َّ ÙˆَالْاِÙ†ْسَ اِÙ„َّا Ù„ِÙŠَعْبُدُÙˆْÙ†ِ 


Artinya: “Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-ku."


Di dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kepada jin maupun manusia untuk beribadah kepada-Nya, yakni beribadah dalam artian luas tidak hanya ibadah ritual semata. Namun juga melaksanakan segala aturan yang datang dari Allah secara keseluruhan (kafah). 


Allah juga berfirman di dalam Al -Qur'an surah Al-Hujurat ayat 13:


اِÙ†َّ اَÙƒْرَÙ…َÙƒُÙ…ْ عِÙ†ْدَ اللّٰÙ‡ِ اَتْÙ‚ٰىكُÙ…ْ


Artinya: "Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa."


Dalam hal ini orang yang dikatakan mulia di hadapan Allah adalah yang paling bertakwa, sehingga Allah tidak melihat seseorang dari rupa dan hartanya, akan tetapi Allah melihat isi hati dan amalnya.


Sebagai seorang istri, Allah memerintahkan wanita agar taat kepada suaminya. Dikisahkan di dalam sebuah riwayat dari Anas bin Malik ra., bahwasanya ada seorang laki-laki yang bepergian dan melarang istrinya keluar dari rumah. Suatu saat, ayah wanita itu jatuh sakit dan ia meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk menjenguk ayahnya.  


Rasulullah saw. bersabda kepada wanta itu:

"Bertakwalah kepada Allah dan janganlah engkau menyelisihi suamimu."


Tidak berselang lama, ayah wanita tersebut meninggal dan wanita tersebut kembali mengirim (utusan) kepada Nabi saw. untuk menanyakan perihalnya.


Maka Nabi bersabda, "Taatlah engkau kepada suamimu." Lalu Nabi saw. mengirim utusan kepadanya (mengabarkan) bahwasanya Allah telah mengampuni ayahnya karena ketaatannya (sang wanita itu) kepada suaminya. (HR. Muslim)


Dari kisah tersebut kita dapat mengambil ibrah bahwasanya seorang istri selama suaminya tidak memerintahkannya untuk bermaksiat kepada Allah, maka dia wajib menaati suaminya tersebut dan ini merupakan jalan yang bisa mempermudah dirinya untuk menuju surga-Nya.


Sebagai seorang ibu, maka tugas wanita yang utama adalah sebagai ummu wa rabbatul bait. Dalam kitab Muqaddimah Ad-dustûr pasal 112, dijelaskan kedudukan seorang wanita adalah ibu dan pengatur urusan rumah tangga (umm wa rabbat al-bayt). Seorang ibu adalah madrasatul ula bagi anak-anaknya. 


Dalam hadis lain dijelaskan bahwa wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan anak-anaknya, dan akan ditanya tentang mereka. Dalam hal ini, seorang ibu berkewajiban membimbing dan memberi teladan yang baik bagi anak-anaknya agar memiliki visi bersama-sama ke surga. 


Ibu haruslah memahami kedudukan anak di dalam Islam adalah sebagai sebuah amanah atau titipan dari Allah Sang Pencipta, sehingga seorang ibu haruslah berupaya menjaga, merawat, dan mendidik anak-anaknya sesuai kehendak dari Rabbnya. 


Peran ini merupakan peran yang sangat vital dan mulia karena dengan perannya tersebut bisa membentuk generasi yang tangguh dan berkepribadian Islam. Begitupun ibu sebagai manajer rumah tangga dituntut memiliki keahlian dalam segala profesi.


Ini harusnya menjadikan ibu bangga terhadap perannya tersebut tanpa terpengaruh dengan ide-ide feminisme yang menganggap bahwasanya perempuan yang berdaya atau produktif adalah perempuan yang menghasilkan pundi-pundi rupiah. 


Maka untuk dapat membimbing anak-anaknya menjadi anak-anak yang saleh salihah, seorang ibu haruslah memiliki pemahaman Islam yang menyeluruh karena Islam merupakan sistem hidup yang paripurna yang mengatur segala aspek kehidupan. Pemahaman ini hanya akan dapat diperoleh dengan senantiasa mengkaji Islam.


Di samping itu, seorang wanita juga merupakan anggota masyarakat, sehingga dia tidak boleh berdiam diri terhadap kerusakan yang terjadi di masyarakat. Sebagaimana yang terjadi hari ini, di mana hubungan antara ibu dan anak tidak lagi sesuai dengan fitrahnya. Ibu yang harusnya melindungi, mengasihi, dan mengayomi anaknya, ternyata tega berbuat aniaya bahkan melecehkan anaknya hanya karena diiming-imingi akan mendapatkan cuan. 


Di sisi lain anak yang harusnya menyayangi dan berbakti kepada orang tua ternyata rela menyakiti, menelantarkan bahkan menghilangkan nyawa orang tuanya sendiri.


Allah memerintahkan dalam QS.Ali Imran: 104,

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah itulah orang-orang yang beruntung."


Tidak sehatnya hubungan antara ibu dan anak yang terjadi saat ini merupakan dampak dari penerapan sistem kapitalis yang diterapkan di dalam kehidupan. Kurangnya ketakwaan individu akibat penerapan sistem pendidikan yang sekuler menjadikan seorang ibu rela menjerumuskan buah hatinya ke dalam kubangan nestapa bahkan trauma yang mendalam. Begitu pula seorang anak menjadi tidak peduli dan jauh dari kata berbakti dari orangtuanya. 


Di sisi lain, kurang pedulinya masyarakat terhadap kemaksiatan yang terjadi di sekitarnya menjadikan seseorang tidak lagi malu ketika mengumbar aibnya. 


Sedangkan negara sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam menjaga dan mengayomi umatnya berupaya untuk melepaskan diri dari tanggung jawabnya. Dalam Islam, negaralah yang paling bertanggung jawab untuk mengurusi urusan umat.


"Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. Al-Bukhari)


Untuk itu, sudah sewajarnya jika negara berupaya untuk memberikan fasilitas berupa pendidikan yang memadai dengan tujuan untuk membentuk kepribadian Islam bagi peserta didiknya, yakni pendidikan yang berlandaskan akidah Islam.


Peran negara sangat strategis dalam mencetak generasi saleh dan salihah yang menguasai tsaqafah Islam dan keahlian di bidang sains dan teknologi, sehingga tak akan ada lagi istilah anak durhaka yang menelantarkan orang tuanya. 


Dari segi ekonomi, negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya, sehingga seorang ibu bisa optimal dalam menjalankan tugasnya sebagai ummu wa rabbatul bait dan madrasatul ula bagi anak-anaknya. Dengan demikian, kewarasan ibu bisa terjaga.


Dengan demikian, sudah saatnya sebagai seorang ibu dan anggota masyarakat, wanita mempunyai andil besar tidak hanya memperbaiki diri dan anak-anaknya, namun juga peduli terhadap kondisi masyarakat yang semakin rusak akibat dijauhkannya Islam dari sistem kehidupan.


Alhasil, perlu upaya untuk mengembalikan aturan Islam secara kafah (menyeluruh) dalam segala aspek kehidupan dalam tatanan negara. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]