Alt Title

Popularitas Artis Dimanfaatkan untuk Mendulang Suara

Popularitas Artis Dimanfaatkan untuk Mendulang Suara

 


Artis hanya dijadikan pemancing saja, untuk memikat rakyat demi mendulang suara

Yang mendominasi pemerintahan tetap mereka-mereka yang berkepentingan, yaitu para oligarki

_________________________


Penulis Elin Nurlina

Kontributor Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Tidak bisa kita mungkiri, menjadi pemangku jabatan dalam sistem demokrasi saat ini menjadi sesuatu yang diperebutkan. Bagaimana pun caranya akan ditempuh agar perolehan suara sesuai harapan. Termasuk dengan menggandeng publik figur merupakan salah satu cara untuk memikat suara rakyat dalam pilkada 2024. 


Contohnya dalam pilkada kabupaten Bandung, kembali gandeng artis untuk memenangkan kontestasi ini. Dua pasang bakal calon bupati dan wakil bupati Bandung, Dadang Supriatna - Ali Syakieb dan Sahrul Gunawan - Gun Gun Gunawan, resmi mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bandung, Kamis (29/8/2024).  Kedua pasangan ini mendaftar di hari terakhir pendaftaran Pilkada Kabupaten Bandung 2024 pada Kamis malam.


Pengamat Politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Firman Manan mengatakan, head to head antara Dadang dan Sahrul Gunawan menarik dikaji. Pasalnya, keduanya sama-sama memanfaatkan elektoral selebritis. Menurutnya, fenomena artis terjun ke politik lantaran adanya segmen pemilih yang melihat popularitas (Kompas.com, 30/08/2024) 


Sebenarnya, fenomena artis masuk kancah perpolitikan dalam pilkada memang bukanlah hal yang baru. Bahkan sejak awal reformasi, deretan artis sudah masuk dalam pencalonan kepala daerah, contohnya saja Rano Karno. Fakta ini menunjukan bahwa dalam sistem demokrasi, siapapun bisa saja mencalonkan diri asal sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh UU. 


Namun terkadang kurang diperhatikan dalam masalah lain, kualifikasi dan integritas para artis ini apakah mumpuni atau tidak mengurusi kepentingan umat? Jangan sampai hanya sekedar popularitas dan finansial saja yang dipertimbangkan. Mau kompatible atau tidak, siapapun hayuk, yang penting menang mendulang suara.


Namun yang jelas, dalam sistem demokrasi, kekuatan pemerintahan tidak hanya berada di tangan penguasa, tapi ada pada oligarki. Jadi artis hanya dijadikan pemancing saja, untuk memikat rakyat demi mendulang suara, sementara yang mendominasi pemerintahan tetap mereka-mereka yang berkepentingan, siapa lagi kalau bukan para oligarki. 


Berbeda halnya dengan IsIam yang punya 7 syarat baku seorang pemimpin. Di antaranya muslim, laki-laki, berakal, baligh, adil, merdeka, dan punya kemampuan.


Maka, menjadi seorang pemangku jabatan bukan hanya populer semata. Tapi akan dilihat dari 7 syarat tersebut dan ditambah syarat keutamaan-keutamaan yang dimiliki tiap calon. Misal kesalihannya, berakhlakul karimah, bertakwa dan lain sebagainya. 


Namun, ada yang harus kita perhatikan mengenai pilkada, terutama dalam pandangan syariah. Pertama, kita harus memahami fakta pilkada itu seperti apa. Kedua, memahami hukum pilkada  itu menurut perspektif syariah islam mengenai pengisian jabatan kepala daerah yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw..


Fakta pilkada yang harus kita ketahui bahwa sejak tahun 2005, kepala daerah tidak dipilih lagi oleh DPRD melainkan dipilih secara langsung oleh penduduk daerah administratif berdasarkan UU no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Pemilihan ini dinamakan PILKADA yang pertama kali diselenggarakan pada bulan juli 2005. 


Patut kita cermati bahwa hukum pilkada dalam kaca mata syariah Islam adalah haram dan tidak sah/batil. Dalil keharamannya yang utama ada 2:


Pertama, karena pilkada bertentangan dengan tatacara pengisian jabatan kepala daerah dalam Islam. Sudah dimaklumi bahwa dalam IsIam, kepala daerah tidak dipilih oleh penduduk daerah administratif setempat melainkan diangkat oleh kepala negara. Ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan dilanjutkan oleh para khalifah dari kalangan sahabat Nabi saw..


Kedua, karena pilkada menjadi sarana/ perantaraan kepada yang haram yaitu lahirnya penguasa yang tidak menjalankan syariat Islam. Maka haram hukumnya penguasa tidak menjalankan syariat IsIam. Bisa kita lihat dalam QS Al- Maidah ayat: 44, 45 dan 47.


Jika demikian, sudah sepatutnya kita tidak melihat lagi kepopulerannya siapa yang akan menjadi kepala daerah, yang paling penting bagaimana hukum dari pilkada itu sendiri. Dan akan seperti apakah mereka menjalankan kepemimpinannya itu. Wallahualam bissawab [SM-GSM/MKC]