Alt Title

Saatnya Kembali Kepada Syariah Islam

Saatnya Kembali Kepada Syariah Islam


Kini saatnya umat Islam kembali kepada syariah-Nya dan meninggalkan pragmatisme

Apalagi demokrasi yang banyak menghasilkan permasalahan bagi umat

___________________________


Penulis Atikah Juju Juariah

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Dakwah


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Saat ini tengah ramai diperbincangkan terkait pilkada, ditambah akan berakhirnya kepemimpinan Presiden Jokowi. Perpolitikan sekarang terasa begitu panas. Sampai-sampai ada yang ingin mempertahankan politik dinasti dengan menghalalkan segala cara, hingga aturan bisa diubah-ubah atau direkayasa dengan sesuka hatinya.


Kepada pihak lain, tampak begitu kuatnya ingin mengahalangi supaya tidak ikut serta menjadi kandidat dalam pemilihan sebab dianggap persaingan. Tidak sedikit juga ada yang berubah sikap dalam perpolitikkan. Begitu juga dengan gonta-ganti partai dan berpindah-pindah koalisi. Semua mereka lakukan tampak tidak peduli lagi pada idealisme, ideologi, apalagi melihat kepada haram halalnya. Seolah yang ingin mereka lakukan hanyalah mempertahankan kekuasaan.


Sikap pragmatis sekarang banyak  dianut oleh para rezim, parpol, anggota DPR, politik lokal, maupun nasional. Bahkan , tak jarang mereka dengan terang-terangan memperlihatkannya. Hal demikian diduga kuat mereka hanya berkepentingan untuk dirinya sendiri serta kelompoknya. Urusan rakyat seolah tak menjadi prioritas. Mereka berambisi meloloskan kepentingannya, di mana tak jarang dilakukan dengan menghalalkan banyak cara. (Buletin Kaffah, 30/8/2024)


Pengertian pragmatisme sendiri ialah segala daya upaya dilakukan dengan cara instan, prkatis, dan hanya dilihat dari sisi banyak manfaat  atau tidaknya dalam pandangan manusia saja. Tidak peduli apakah kemanfaatan itu sesuai pada syariah atau tidak. 


Pada sistem demokrasi, pragmatisme sangat jelas terasa. Para penguasa, pejabat, ataupun parpol kerap mempertontonkan perilaku pragmatis. Pilihan-pilihan aktivitasnya tak sedikit yang terdeteksi bukan untuk kepentingan rakyat, lebih untuk kepentingan pribadi, kelompok, oligarki, juga pihak asing. 


Pragmatisme sangat erat hubungannya dengan demokrasi. Karena, demokrasi saat ini makin tidak berpihak kepada rakyat. Demokrasi sangat bertolak belakang dengan syariah Islam. Seperti, disahkannya UU Migas, UU Minerba, UU Cipta Kerja, UU IKN, dan lain-lain. Semua UU yang dibuat lebih menguntungkan kepada pihak-pihak yang berkuasa, oligarki, dan para wakil rakyatnya. Juga UU Pemilu atau Pilkada yang dibuat untuk pro pada penguasa, bukan rakyat. 


Hal demikian sangat berbeda bagaimana Islam memandang terkait urusan politik. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berpendapat bahwa politik adalah pemeliharaan urusan umat baik dalam atau  luar negeri berdasarkan ketentuan syariat Islam. 


Politik dalam Islam ialah mengurusi urusan umat sesuai ketentuan syariah Islam. Negara Islam memimpin, mengatur, mengelola, dan melindungi umat dengan menerapkan hukum-hukum Allah dalam setiap aspek kehidupan


Oleh sebab itu, politik Islam terikat dengan halal dan haram. Dengan kata lain standarnya ialah hukum-hukum Islam, bukan kemanfaatan dalam pandangan manusia atau hanya hawa nafsunya saja. Dengan menerapkan syariah Islam akan melahirkan banyak kemanfaatan atau kemaslahatan umat. 


Karena, alasan manfaat dengan menurut pandangan manusia, keluarlah fatwa terkait memilih kepemimpinan yang membolehkan seorang kafir atau fasik. Dibolehkannya seorang wanita menjadi pemimpin, dan membolehkan berkoalisi dengan partai sekuler, dan lain-lain. Justru itu semua bertentangan dengan syariat Islam.


Umat muslim sungguh wajib terikat dengan hukum syariah. Sebagaimana Allah telah memerintahkan kepada umatnya dalam Al-Qur'an: "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu adalah musuh yang nyata bagimu." (TQS Al-Baqarah (2): 208)


Sangat jelas ayat tersebut mengajarkan kepada umat Islam agar menjalankan Islam secara keseluruhan dari semua aspek kehidupan termasuk masalah politik. Allah Swt. Juga berfirman: "Hendaklah kamu (Muhammad saw.) memutuskan perkara di antara mereka menurut wahyu yang telah Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka untuk meninggalkan kebenaran yang datang kepada dirimu." (TQS Al-Maidah (5): 48


Wahyu yang telah Allah turunkan bertujuan untuk menjadikan umat Islam berpegang teguh kepada hukum Allah dan memutuskan segala sesuatu bukan karena hawa nafsunya. Sebagaimana terdapat hadis sebagai berikut: "Berpegangteguhlah kalian pada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang terbimbing. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian." (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi

 

Rasulullah telah bersabda: "Aku telah mewariskan kepada kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh pada keduanya, yakni: Kitab  Allah (Al-Qur'an) dan sunnah nabi-Nya." (HR Malik dan Al-Hakim)


Ijmak sahabat menyampaikan betapa pentingnya umat Islam taat pada syariah Islam. Tindakan mereka tercermin pada saat wafatnya Rasulullah saw., saat terjadi perbedaan pendapat, atau adanya sebuah masalah di berbagai aspek kehidupan. Mereka tidak pernah memutuskan masalah berdasarkan hawa nafsunya, tetapi mereka selalu merujuk kepada Al-Qur'an dan as-sunnah yang menjadikannya sebagai pedoman hidup yang paling utama. 


Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata: "Siapa saja memandang baik sesuatu (tanpa dalil Al-Qur'an dan as-sunnah) berarti ia telah membuat syariat (baru) dalam agama ini." (Qadhi 'Iyadh, Tartib al-Madarik wa Taqrib al-masalik, 1/22)


Imam asy-Syafi'i tidak menginginkan penerapan hukum berdasarkan pada prasangka baik saja tanpa berlandaskan dalil-dalil syariah. Dan menurut ulama kontemporer seperti Syaikh Wahbah az-Zuhaili, berkata: "Seorang muslim dilarang meninggalkan syariat Islam dalam keadaan apapun." (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, 1/25)


Maka dari itu, kini saatnya umat Islam kembali kepada syariah-Nya dan meninggalkan pragmatisme apalagi demokrasi yang banyak menghasilkan permasalahan bagi umat. Di mana aturannya dibuat oleh manusia berdasarkan hawa nafsunya. Sedangkan syariah Islam, hukumnya dibuat oleh Alah Swt. untuk kemaslahatan umat. Dan yang berhak membuat hukum hanya Allah Swt. semata (QS. Yusuf (10): 40).


Bersegeralah mengamalkan, menerapkan, dan menegakkan syariah Islam secara kafah pada setiap aspek kehidupan. Penerapan dari berbagai segi, seperti ekonomi, perdagangan, bahkan politik, dan lain sebagianya. Dengan begini keberkahan di langit dan di bumi akan kita raih


"Andai penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat) itu. Karena itu kami menyiksa mereka sebabkan karana ulah tangan mereka." (TQS Al-A'raf (7): 96) Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]