Alt Title

Sekularisme Kapitalisme, Biang Kerok Matinya Naluri Ibu

Sekularisme Kapitalisme, Biang Kerok Matinya Naluri Ibu




Kapitalisme membuat seorang ibu menanggung peran ganda

yang dituntut untuk mencari nafkah dan mengurus keluarga

______________________________


Penulis Raodah Fitriah, S.P

Kontributor Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Seorang ibu berinisial E di Sumenep, Jawa Timur, diduga menyerahkan anak kandungnya yang berumur 13 tahun kepada kepala sekolah yang berinisial J untuk diperkosa.


Sebagai imbalannya J menjanjikan satu unit sepeda motor jenis Vespa. Pencabulan tersebut dilakukan dari Februari hingga Juni 2024. Bahkan E sudah ditetapkan sebagai tersangka Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). (KompasNEWS.com, 01-09-2024)


Dari sumber yang lain, Koran Madura (02-09-2024), ibu kandung di Sumenep tega menjual anak gadisnya pada oknum kepsek hidung belang.Ternyata E memiliki hubungan khusus dengan J. Ia selalu memberikan uang kepada E. Kasus ini terungkap setelah ayah korban yang sudah lama pisah rumah mendapatkan kabar dari pihak keluarga bahwa anaknya menjadi korban pencabulan dan mengalami trauma psikis.


Lumpuhnya Akal dan Matinya Naluri Ibu


Seorang ibu tidak lagi memandang anak sebagai titipan dari Allah yang harus dididik, dijaga, dan sebagai investasi akhirat. Anak hanya dimanfaatkan sebagai alat untuk mendapatkan materi atau cuan. Bahkan seorang ibu rela menjual anaknya demi satu unit motor.


Inilah potret rusaknya pribadi ibu di negeri ini. Secara naluri, ibu merupakan segalanya bagi kehidupan seorang anak. Menjadi panutan pertama dan memiliki peran besar dalam pendidikannya. Sukses dan gagalnya seorang anak tergantung dari didikan seorang ibu. 


Namun, makna tersebut telah mengalami perubahan seiring dengan semakin lumpuhnya akal seorang ibu. Perang pemikiran telah menjangkiti dan seorang ibu kehilangan peran strategisnya.


Fitrah mulia ikut tergerus, yang terjadi hari ini adalah seorang ibu dengan tega menjual darah dagingnya sendiri. Kerusakan terjadi berawal dari pergaulan bebas yang berakhir dalam ikatan pernikahan yang tidak direncanakan, tidak matang secara ilmu dan ekonomi. 


Pelaku bejat kasus di atas adalah seorang kepala sekolah dan ibu kandung yang seharusnya berperan untuk mencerdaskan generasi, mengasuh, dan menjaga anaknya. Faktanya justru berkebalikan, anak atau generasi yang seharusnya dididik dan diasuh justru malah 'dijadikan' korban pelecehan seksual.


Sekularisme Kapitalisme, Biang Kerok Segala Problematik


Sekularisme telah mengeliminasi agama dari kehidupan, hanya menyisakan ibadah ritual semata. Ibadah ritual "saja" tidak akan cukup dan tidak akan mampu menjadi bekal untuk menyelesaikan masalah. Padahal di dalam Al-Qur'an dan Sunnah tidak hanya membahas tentang ibadah ritual saja, namun mencakup semua aturan dalam aspek kehidupan dari bangun tidur sampai tidur kembali.


Agama tidak lagi dijadikan penolong bagi kehidupan yang rusak. Wajar, jika seorang ibu jauh dari fitrahnya dan mengadopsi sekularisme. Menggunakan cara haram sekalipun, untuk menjadi jalan ninja menyelesaikan problematik hidup.


Sekularisme berhasil membuat keluarga kacau balau. Generasi atau dalam kasus ini ibu dalam asuhan sekularisme menjadi pribadi yang menuhankan hawa nafsu, sehingga kehidupan hanya untuk mencari kebahagiaan dan kesejahteraan sementara. 


Kapitalisme membuat seorang ibu menanggung peran ganda yang dituntut untuk mencari nafkah dan mengurus keluarga. Di tengah harga kebutuhan pokok yang mahal dan sulitnya mencari lapangan pekerjaan, membuat seorang ibu terbebani secara mental yang berakhir pada tindakan amoral. 


Problem ini menjadi sangat krusial, meski kita tidak bisa menyalahkan ibu sepenuhnya. Bagaimanapun ia hanya bagian dari masyarakat, yang hampir seluruhnya telah rusak. Kapitalisme telah memandulkan peran negara, yakni hanya sebatas mengeluarkan aturan tambal sulam tanpa ada aspek preventif.


Mirisnya, aturan yang dikeluarkan tidak mampu memberi efek jera pada masyarakat. Bahkan sebaliknya, malah banyak bermunculan pelaku kejahatan baru. Absennya negara juga telah mengantarkan pada kemiskinan dan merajalelanya kemaksiatan dengan motif mendapatkan materi.


Kehadiran Negara dalam Sistem Islam, Ibu Optimal Menjalankan Perannya


Dalam Islam, kehidupan tidak bisa dipisahkan dari syariat. Ibu dipandang sebagai sosok pendidik pertama dan utama (madrasatul ula), sehingga peran ini harus dijaga oleh semua pihak. Hal ini ditunjang oleh sistem pendidikan yang jelas untuk menyiapkan manusia (baik laki-laki dan perempuan) agar bisa berperan sesuai fitrahnya. Bahkan, sebelum menikah pun sudah memiliki akidah Islam yang kokoh, visi misi yang jelas dan sudah memahami kewajiban masing-masing. 


Negara memfasilitasi pendidikan dengan gratis untuk membentuk individu yang berkepribadian Islam (syakhsiyah Islamiyyah). Dengan demikian akan membentuk lingkungan takwa serta tidak ada celah terjadinya kemaksiatan. Setiap individu bisa mengemban tugas dengan baik, khususnya seorang ibu. 


Tidak cukup pada taraf tersebut, Islam memiliki sistem sanksi (uqubat) yang efisien dan efektif. Yakni efek jawabir (penebus dosa di akhirat) dan zawajir (mencegah masyarakat berbuat kejahatan yang sama).


Dalam kasus perselingkuhan (jika sampai berzina) akan dikenai hukum rajam (bagi yang sudah menikah). Pelaku pencabulan juga akan mendapatkan hukuman rajam. Hukuman ini niscaya akan membawa umat pada ketakwaan hakiki dan terhindar dari perbuatan nista. 


Peran ibu sebagai madrasatul ula akan terjaga dan anak-anak terjamin keamanannya. Hal ini akan terlaksana jika kehidupan kita diatur dengan syariat Islam dalam naungan Daulah Islam. Bukan sistem kufur seperti sekularisme kapitalisme hari ini. Wallahualam bissawab. [SM-GSM/MKC]