Alt Title

Toleransi Kebablasan di Negeri Mayoritas Muslim

Toleransi Kebablasan di Negeri Mayoritas Muslim

 


Pidato Paus jelas mengkampanyekan toleransi ala Barat yang selama ini dipromosikan kepada umat Islam agar diadopsi

__________________


Penulis Siti Mukaromah

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Dakwah


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Viral di berbagai media dalam dan luar negeri menyoroti sambutan kedatangan Paus Fransiskus dengan pembacaan ayat Al-Quran yang dianggap mengajarkan toleransi. Bahkan Imam Besar Masjid Istiqlal tampak mencium kening Paus Fransiskus sebagai penghormatan yang berlebihan terhadap nonmuslim.


Dikutip dari cnbcindonesia.com, (5-9-2024) media asing sorot hangatnya Paus bertemu Imam masjid Istiqlal di Jakarta RI. Media Amerika Serikat (AS), Associated Press (AP) dengan judul 'Pope and Imam of Southeast Asia's largest mosque make joint call to fight violence, protect planet." Kedatangan Paus di Indonesia sudah di mulai sejak Selasa 3/9/2024. Ia bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan berencana menggelar misa di Gelora Bung Karno (GBK), Senayan.


Laman pemberitaan memuat hangatnya foto kedua pemimpin agama bertemu, saat Paus mencium mesra tangan sang imam Istiqlal Nazaruddin Umar yang mendekap pundak kepala Petinggi Tertinggi Katolik Dunia itu. Laman tersebut memberitakan Paus Fransiskus dan Imam besar masjid terbesar di Asia Tenggara berjanji untuk melawan kekerasan yang diilhami agama dan melindungi lingkungan. Paus mengatakan, dia mendorong orang-orang Indonesia untuk berjalan mencari Tuhan dan berkonstribusi untuk membangun masyarakat terbuka atas rasa hormat timbal balik dan cinta kasih yang mampu melindungi dari kekakuan, fundamentalis, dan ekstrimisme, yang selalu berbahaya dan tidak pernah dapat dibenarkan. Hal yang sama Media Prancis menyorot menyinggung bagaimana keduanya dengan pesan persahabatan mendengarkan petikan ayat suci Al-Qur'an yang dibacakan oleh seorang gadis buta dan sebuah petikan dari Alkitab.


Selama di Indonesia, serangkaian agenda Pemimpin Gereja Katolik ini ada beberapa catatan kritis terkait kunjungan Paus ke Indonesia di antaranya. Pertama, Kementerian Agama telah menyampaikan surat terkait misa akbar bersama Paus kepada Kementerian Komunikasi dan informatika pada pukul 17.00-19.00 WIB disiarkan di seluruh televisi nasional. Kedua, penanda waktu Magrib ditunjukkan dalam bentuk running text sehingga misa bisa diikuti oleh umat Katolik di Indonesia. (Kemenag. 4/9/2024).


Tentu ini menjadi sebuah pertanyaan besar. Secara jumlah umat Kristen merupakan minoritas di Indonesia. Mengapa siaran misa akbar sedemikian 'heboh' menargetkan penonton kaum mayoritas yaitu umat Islam, apa tujuannya? Apakah sekadar informasi sebuah kegiatan, misi Kristenisasi, atau ada agenda politik tertentu? Apalagi penyiarannya menabrak waktu salat Magrib, menggeser tayangan azan hanya disampaikan melalui running text. Tentu hal ini menimbulkan kesan, nampak dengan jelas bahwa urusan kaum minoritas lebih penting daripada urusan umat IsIam dan harus menerima kebijakan ini atas nama toleransi. 


Di sisi lain, umat Islam di negara minoritas harus menerima posisinya sebagai minoritas, azan tidak diperbolehkan menggunakan pengeras suara. Waktu salat harus mencari sendiri di internet, bahkan khotbah dan idulfitri tidak disiarkan secara langsung di seluruh televisi nasional. Hal yang sama misalnya di Bali, umat Islam pada saat Nyepi mereka harus mengikuti tradisi Hindu. Tidak boleh bepergian, bekerja, dan melakukan aktivitas yang mengeluarkan suara. Sementara di wilayah mayoritas muslim umat Hindu tidak diharuskan melakukan puasa Ramadan, bahkan muslim disuruh menghormati orang-orang yang tidak berpuasa dan diharuskan bersikap toleran.


Meski selalu dituntut untuk mengalah umat Islam di daerah mayoritas muslim masih mengalami diskriminasi misalnya sekadar mengenakan hijab saja dipersulit, padahal posisinya sebagai mayoritas. Doktrin toleransi memaksa umat IsIam untuk selalu kalah dan terzalimi.


Kebijakan penyiaran misa secara langsung dan azan sebagai bagian dari syiar Islam digeser menegaskan betapa sekulernya penguasa negeri ini. Pemerintah tidak merasa bertanggungjawab untuk menyeru umat Islam agar melaksanakan kewajiban salat, salah satu wujudnya adalah melalui penyiaran azan. Inilah yang terjadi, ketika sistem di negara sekuler. Urusan agama diposisikan sebagai urusan individu bukan tanggung jawab negara rakyat melakukan salat atau tidak. 


Namun aneh, penguasa mengurusi urusan misa secara totalitas hingga mengorbankan umat IsIam. Mereka lupa bahwa yang mengantarkan mereka pada kekuasaan adalah suara umat IsIam yang sangat besar, lantas ketika sudah berkuasa enggan mengurusi umatnya. 


Terlebih, pemerintah cenderung memberikan dukungan yang luar biasa kepada nonmuslim agar leluasa beribadah, misalnya negara mempermudah perizinan pendirian gereja dengan mencoret ketentuan adanya rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang mayoritas anggotanya muslim. Kini pendirian gereja cukup mengantongi izin dari Kemenag, bahwa menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap nonmuslim justru lebih besar dibandingkan kepada umat IsIam.


Pidato Paus jelas mengkampanyekan toleransi ala Barat yang selama ini dipromosikan kepada umat Islam agar diadopsi. Toleransi dan moderasi merupakan senjata Barat untuk menyerang umat Islam menjalankan agamanya secara kafah karena dianggap tidak moderat. Umat Islam akan dicap radikal dan fundamentalis bahkan dilabeli sebagai teroris, semua ini 'label' bertujuan politik untuk menjauhkan umat dari IsIam kafah. Promosi toleransi dan pluralisme oleh Paus merupakan bagian dari moderasi di Dunia Islam yang diaruskan Barat untuk mencegah Islam ideologis yang mereka sebut IsIam radikal. 


Penting bagi Barat kampanye ini untuk menjaga eksistensi hegemoninya di dunia Islam, tujuannya adalah agar tidak mendapatkan perlawanan atas penjajahannya dari umat IsIam. Ideologi IsIam yang mengharamkan penjajahan mendorong meletusnya perlawanan terhadap Barat. Hal ini tentu mengancam Barat, agenda kedatangan Paus mengukuhkan penjajahan Barat di Indonesia dikondisikan agar umat jauh dari agamanya sehingga jauh dari kebangkitan.


Islam memiliki konsep toleransi bukan kebablasan ala Barat yang didasari dari keyakinan tentang kebenaran dinul Islam. Sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam QS Ali-Imran: 19

"Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah  ialah Islam.


Rasulullah saw. Juga bersabda dalam hadis riwayat Ad-Daruquthni beliau bersabda, "Islam itu tinggi dan tidak akan ada mengalahkan ketinggiannya." Umat IsIam oleh karenanya, tidak boleh menyamakan dengan agama lain, apalagi mengikuti ibadahnya, aturannya, pakaiannya, maupun kebiasaannya.


Allah Swt. berfirman dalam QS Al-Kafirun ayat 6 "Untukmu agamamu dan untukku agamaku."


Umat IsIam tidak boleh terjebak narasi-narasi yang dibangun oleh Barat seperti toleransi, moderasi, dan dialog antaragama. Orang-orang kafir tidak akan pernah rida hingga umat Islam mengikuti ideologi mereka.


Saatnya umat IsIam harus kembali pada syariat Islam kafah mewujudkan tegaknya Khilafah untuk melindungi mereka dari kezaliman musuh. Penerapan syariat Islam secara kafah dalam naungan khilafah menjadikan Islam menjadi umat terbaik yang akan menggelorakan dakwah jihad ke luar negeri. Khalifah (pemimpin Islam) bukan untuk berdialog antaragama atau bermesraan dengan Paus, tetapi untuk mendakwahkan Islam dan merealisasikan janji Allah Swt. yaitu membebaskan Roma.


Ketika Rasulullah saw. ditanya "Dua kota ini, manakah yang akan dibuka lebih dahulu Konstantinopel atau Roma?" Rasulullah menjawab, "Kota Heraklius dibuka lebih dahulu, yaitu Konstantinopel."

Wallahualam bissawab. [EA]