Alt Title

Anak dalam Bayang Kekerasan, Bukti Regulasi Tak Mempan

Anak dalam Bayang Kekerasan, Bukti Regulasi Tak Mempan




Beragam sanksi yang menjadi ancaman bagi para pelaku kekerasan terhadap anak

tampaknya tak mempan menghentikan kejahatan yang menimpa anak

______________________________

 

Penulis Ummu Zhafran

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Orang tua mana yang tak sayang dengan anak sekaligus buah hatinya, namun faktanya kasus kekerasan yang menimpa anak makin menggejala. Tak jarang pelakunya justru dari lingkaran terdekat macam ayah dan ibu, yang kandung ataupun sambung.


Mengutip kantor berita Antara Sultra, telah terjadi sebanyak 192 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Bumi Anoa, periode Januari-Juni 2024. Khusus untuk kota Kendari terdapat 23 kasus yang melibatkan anak dan perempuan. Dinas terkait pun mengakui jumlah itu hanya terhitung dari yang terlapor saja. (sultra.antaranews.com, 13-8-2024)

 

Inilah kondisi anak dalam bayang kekerasan. Fakta yang sangat memprihatinkan. Apalagi bila merujuk data Kementerian PPA, rumah tangga menjadi tempat kejadian tindak kekerasan terbesar yaitu 61,4 persen dari total 11.796 dan anak yang menjadi korban, data ini sepanjang Januari hingga September 2024. (tribunnews, 7-9-2024)

Regulasi Tak Menjamin Solusi


Memang bukan tak ada upaya yang dilakukan untuk mengatasi dan menghindarkan anak menjadi korban kekerasan. Ada berbagai produk perundangan yang silih berganti disahkan. Di antaranya UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak dengan dua pilar utama, yaitu pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak.


UU ini telah dua kali diubah melalui UU 35/2014 dan UU 17/2016. Melalui UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, negara bahkan mengamanatkan setiap daerah untuk melakukan berbagai upaya pemenuhan hak anak dan perlindungan anak. Wilayah yang memenuhi semua indikator yang dibutuhkan pun dapat dinobatkan sebagai Kota Layak Anak (KLA).

 

Namun seperti kata pepatah, hal tersebut seolah bagaikan menggantang asap alias sia-sia, karena tak menyentuh akar persoalan. Terwujudnya lingkungan yang kondusif dan aman bagi anak faktanya makin jauh dari kenyataan. Beragam sanksi yang menjadi ancaman bagi para pelaku tampaknya juga tak mempan.

Sekularisme Biang Masalah


Mengapa demikian? Jawabannya sungguh terpampang jelas di depan mata. Bahwa aneka kasus kekerasan pada anak memang bukan karena produk regulasi yang kurang banyak, melainkan terletak pada asas di mana regulasi tersebut bersandar. Asas inilah yang jadi penentu efektif tidaknya sebuah aturan.



Bukan rahasia lagi bila semua regulasi dan kebijakan negeri berangkat dari sekularisme, sebuah paham yang menolak cawe-cawe agama (baca: syariat) dari kehidupan. Alih-alih menoleh pada syariat guna mendapatkan solusi, justru tak segan membuat aturan sendiri.

 

Padahal jelas, sekularisme yang buatan manusia selalu gagal menumbuhkan rasa takut, malah menumbuhsuburkan kekerasan terhadap anak terus terjadi. Meski beragam sanksi telah ditetapkan mulai dari pemberatan hukuman pidana, denda, hingga kebiri. Tak heran, sebab mengabaikan aturan agama sama artinya dengan menuhankan materi dan hawa nafsu. Risikonya, jadi lupa akan fananya duniawi dan kekalnya hidup di akhirat kelak.

Berpikirlah Serius!


Apabila ingin menyudahi problem kekerasan terhadap anak, sudah saatnya meninggalkan sekularisme bila serius ingin problem kekerasan terhadap anak selesai. Kemudian mengadopsi syariat Islam yang kafah sebagai solusi. Sebab Islam bukan sekadar agama yang bicara soal spiritual, namun absen menyelesaikan masalah kehidupan yang aktual.

 

Islam merupakan way of life, petunjuk jalan hidup yang disampaikan Allah Swt. yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur kepada Rasulullah saw. melalui tuntunan wahyu.

 

Dalam Islam, anak yang belum balig wajib berada dalam pengasuhan orang tuanya sesuai tuntunan Islam, yaitu dengan pola asuh yang menghindarkan anak dari segala macam bahaya, lemah lembut, dan penuh kasih sayang. Rasulullah saw. bersabda, “Hendaknya kamu bersikap lemah lembut, kasih sayang, dan hindarilah sikap keras dan keji.” (HR. Bukhari)



Anak memang dibolehkan secara syariat untuk dipukul saat berusia 10 tahun jika masih enggan salat. Akan tetapi, hal tersebut semata untuk membangun kesadaran anak akan kewajiban salat. Selain itu, pukulan yang dimaksud adalah untuk mendidik bukan yang menyakitkan atau yang fatal akibatnya. Syariat pun merinci agar pukulan juga tidak diarahkan ke wajah maupun kepala, sebab bisa membahayakan bahkan mematikan. (Fatawa Nurun ala Darb (13/2))



Adapun hukuman bagi pelaku kekerasan akan dijatuhkan sesuai tindak kejahatannya. Ambil contoh kasus kekerasan seksual seperti pedofilia misalnya. Maka mengutip penjelasan cendekiawan muslim, Ustaz Ismail Yusanto, jika termasuk kategori zina, pelaku harus dijilid 100 kali bagi ghairu muhshan (belum menikah), jika sudah menikah (muhshan) maka dirajam sampai mati. Adapun jika terkategori dengan sesama jenis, maka pelaku dapat divonis hukuman mati.



Dengan pengaturan syariat di atas, dipastikan bayang kekerasan terhadap anak akan mampu diatasi. Karena, setiap orang akan berhitung besarnya risiko yang mengancam sehingga kejahatan dapat dicegah bahkan tak mustahil terhenti dengan sendirinya.


 
Alhasil dengan penerapan Islam yang kafah, maka niscaya membuka lebar pintu terwujudnya perlindungan keamanan dan kesejahteraan tak hanya bagi anak, juga buat orang tua, masyarakat hingga negara.

 

Tinggal kita, mau mengambil dan memperjuangkannya karena yakin akan keagungan Allah Swt. atau diam menyaksikan generasi yang juga aset masa depan terus tumbang jadi korban. Wallahualam bissawab. [EA/ MKC]