Alt Title

Cegah Kawin Anak, Proyek Global Rusak Keluarga Muslim

Cegah Kawin Anak, Proyek Global Rusak Keluarga Muslim


Sudah seharusnya pemerintah lebih fokus pada kebijakan-kebijakan yang mencegah anak terjerumus pergaulan bebas, bukan menyibukkan diri mencegah perkawinan anak.

____________________________


Oleh Etik Rositasari

Kontributor Media Kuntum Cahaya, Mahasiswa Pascasarjana UGM


KUNTUMCAHAYA.com, Analisa - Membangun sebuah keluarga yang sejahtera dan harmonis tentu menjadi impian setiap orang. Faktanya, tidak sedikit rumah tangga yang tak bisa bertahan diterpa derasnya problematika kehidupan.

 

Berbagai polemik terkait pasangan maupun anak termasuk bagaimana jaminan pendidikan dan kesehatan yang bermutu menjadi tantangan tersendiri dalam kehidupan berumah tangga. Hal tersebut akhirnya mendasari pemerintah menggalakkan program pencegahan perkawinan anak. Yang menjadi pertanyaan, sejauh mana program tersebut efektif mewujudkan kesejahteraan keluarga?


Upaya Pemerintah Cegah Kawin Anak

Telah jamak diketahui bahwa pencegahan perkawinan anak menjadi salah satu program pokok pemerintah yang sangat digencarkan dewasa ini. Hal ini tercermin dari diratifikasinya berbagai peraturan yang mengatur sanksi pidana dalam perkawinan anak termasuk UU No. 23/2002, UU No.35/2014 tentang Perlindungan Anak serta UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.


Selain pelibatan aturan yang bersifat legal, ambisi pemerintah dalam mencegah perkawinan anak juga ditunjukkan dalam berbagai upaya lain seperti penggalakan edukasi, baik melalui seminar maupun workshop yang diperuntukkan bagi calon pengantin, penghulu hingga anak sekolah. 


Sebagaimana dikutip dari kanal kemenag.go.id (19/09/24), ratusan pelajar dari MAN 1 dan 2 Semarang beserta sejumlah sekolah swasta lain mengikuti Seminar Nasional Cegah Kawin Anak yang diselenggarakan di Semarang pada Kamis, 18 September 2024. Kegiatan tersebut dimaksudkan sebagai upaya melahirkan agen perubahan untuk mencegah perkawinan anak. 


Dalam seminar tersebut, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK, Woro Srihastuti Sulistyaningrum menggarisbawahi pentingnya peran remaja berkualitas dalam menyongsong bonus demografi. Untuk mewujudkan hal ini, pendidikan dan kesehatan perlu menjadi prioritas utama. 


Woro juga menekankan pentingnya mencegah pernikahan anak melalui penerapan batas usia pernikahan yang wajar secara ketat. Menurutnya, pernikahan anak menjadi salah satu halangan terbesar dalam mencapai bonus demografi di samping masalah sosial lain seperti putus sekolah. 


“Namun, jika kita dihadapkan dengan isu-isu negatif seperti putus sekolah dan pernikahan dini, maka bonus demografi tidak akan tercapai,” jelasnya.


Sementara itu, di waktu dan lokasi berbeda, pemerintah juga mengadakan workshop “Gerak Penghulu Sejuta Catin Siap Cegah Stunting Zona 1” yang diikuti oleh 1.276 penghulu se-Jawa Barat.

 

Dalam workshop yang digelar pada Selasa, 17/9/24 ini, Toto Supriyanto selaku Ketua Tim Kepenghuluan Bidang Urais Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat menyampaikan 7 poin penguatan intervensi kolaboratif oleh penghulu. Salah satu dari ketujuh poin tersebut menyebutkan bahwa penghulu wajib mencatat dan menolak nikah sebab usia di bawah umur untuk kemudian dilakukan intervensi kolaboratif (pangandaran.kemenag.go.id 17/09/24).


Tak berhenti sampai disitu, pemerintah juga gencar membuat berbagai program yang fokus menyasar pencegahan perkawinan anak. Program-program tersebut meliputi  Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (STRANAS PPA), Rencana Aksi Nasional Peningkatan Kesejahteraan Anak Usia Sekolah dan Remaja (RAN-PIJAR), Bimbingan Perkawinan Pranikah Remaja Usia Sekolah (BRUS) dan lain sebagainya. 


Benarkah Menyasar Akar Masalah?

Pemerintah menilai maraknya perkawinan anak saat ini merupakan salah satu determinan yang menghambat terwujudnya generasi berkualitas. Dalihnya, fenomena tersebut seringkali menghambat pendidikan anak hingga menyebabkan putus sekolah. 


Selain itu, kawin anak juga sering dikaitkan dengan tingginya angka perceraian, KDRT, stunting hingga kematian ibu dan bayi. Hal ini dikarenakan anak dibawah umur yang melakukan perkawinan dianggap belum matang secara psikologis sehingga akan memicu terjadinya berbagai macam hal negatif dalam pernikahan.


Anggapan tersebut mendorong pemerintah seakan begitu gencar menyerukan slogan “cegah kawin anak”. Tak tanggung tanggung, pemerintah bahkan merekrut para remaja menjadi agen pencegah perkawinan anak. Bukan hanya melalui edukasi, pembentukan wakil dan duta seperti duta Genre (Generasi Berencana) hingga pemanfaatan peer group bahkan dilakukan dalam upayanya meminimalisir angka perkawinan anak. 


Sejatinya, jika ditelisik, anggapan pemerintah bahwa perkawinan anak akan memicu hal negatif dan menjatuhkan kualitas generasi merupakan kesimpulan yang serampangan serta membahayakan. Sebab, pada faktanya tak sedikit individu “cukup umur” yang mengalami polemik dalam biduk rumah tangganya bahkan hingga berujung perceraian. 


Oleh karena itu, alih-alih menuduh perkawinan anak sebagai dalang begitu saja, perlu adanya data obyektif dan bisa dipertanggungjawabkan terkait relasi antara perkawinan anak dengan terjadinya problematika pernikahan. Jika tidak, maka tuduhan pemerintah tersebut berpotensi akan menjadi tuduhan sentimen yang menyesatkan.  


Di sisi lain, dewasa ini remaja justru dihadapkan pada derasnya arus pornografi dan berbagai kebijakan yang pro seks bebas. Tontonan-tontonan tak mendidik dan mengundang syahwat justru menjadi sajian harian yang mewarnai beranda media berbagai kalangan termasuk para remaja. 


Sementara itu, peraturan demi peraturan yang mendorong kepada kemaksiatan juga semakin banyak dilahirkan, seperti legalisasi zina by consent (persetujuan) dan lain sebagainya.  


Alhasil, fenomena ini sungguh menjadi sebuah ironi. Di tengah cita-cita Indonesia Emas 2045, kita malah semakin tenggelam dalam problematika generasi. Menikah dini dihalangi, gaul bebas dan zina justru difasilitasi.


Berangkat dari hal tersebut, kita bisa mengetahui bahwa selama ini pemerintah telah salah menangkap akar masalah, sehingga solusi yang ditawarkan pun diragukan efektifitasnya. Bukannya berfokus meningkatkan kualitas pemuda dengan melakukan evaluasi pada lingkungan sosial dan pergaulan mereka, pemerintah justru melakukan upaya reaktif melalui pencegahan perkawinan anak. 


Padahal sumber utama permasalahan rumah tangga saat ini justru dipicu karena lingkungan pergaulan yang mendukung serta mendorong terjadinya kemaksiatan dan jauhnya individu dari nilai agama. Maka, sudah seharusnya pemerintah lebih fokus pada kebijakan-kebijakan yang mencegah anak terjerumus pergaulan bebas, bukan menyibukkan diri mencegah perkawinan anak. 


Apalagi ternyata program pencegahan perkawinan anak ini merupakan salah satu amanat SDGs yang dijadikan proyek nasional dalam RPJMN 2020-2024 bersandingan dengan pengentasan stunting. Perlu diketahui, sebagaimana program-program lain yang diinisiasi oleh Barat, SDGs termasuk di dalamnya pencegahan perkawinan anak, sejatinya berpijak pada paradigma Barat bukan Islam. Tak heran jika program tersebut menyimpan hidden agenda yang nyata-nyata bertentangan dengan syariat Islam. 


Sebagai contoh, di antara target yang akan dicapai dari pencegahan pernikahan anak adalah angka perkawinan anak turun dari 11,2% di tahun 2018 menjadi 8,74% di tahun 2024. Bukan tak berpengaruh, target ini akan berdampak kepada berkurangnya angka kelahiran dalam keluarga muslim, bahkan dalam jangka waktu lebih panjang akan menghancurkan bangunan keluarga muslim.


Satu Solusi: Islam

Berbicara mengenai problem generasi termasuk kontroversi mengenai program pencegahan kawin anak ini, sejatinya tak bisa dilepaskan dari pengaruh sekulerisme yang menjangkiti pemikiran pemuda saat ini. Paradigma yang meminggirkan peran agama dalam kehidupan ini membuat para pemuda semakin asing dengan aturan agama. 


Alhasil, tak ada lagi yang membatasi mereka melakukan perbuatan maksiat termasuk melakukan tindak kriminal, terlibat pornografi hingga terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Dengan demikian, impian mewujudkan pemuda berkualitas yang siap mengarungi biduk rumah tangga pun seakan semakin jauh dari kenyataan. 


Hal ini diperparah dengan lambatnya langkah pemerintah menutup sumber sumber kemaksiatan, termasuk situs pornografi dan media lain yang memicu syahwat. Malah, pemerintah justru seolah membuka peluang zina dengan dibuatnya berbagai aturan yang cenderung melegalkan tindakan amoral tersebut.


Menyelesaikan polemik pemuda saat ini, tak bisa hanya sekedar membatasi usia perkawinan. Kita membutuhkan solusi yang lebih komprehensif dan menyasar pada akar masalah, sebagaimana yang termaktub dalam Islam.


Di dalam Islam, pemuda dibentuk menjadi individu yang bertakwa melalui penerapan sistem pendidikan yang dilandaskan pada akidah Islam. Dampaknya, alih-alih gemar bermaksiat, para pemuda akan sibuk berlomba-lomba melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat dan menjaga dirinya dari perbuatan dosa.


Azam untuk menghindari perbuatan maksiat membuat para pemuda senantiasa membekali diri dengan ilmu syar’i termasuk yang berkaitan dengan sistem pergaulan antara laki-laki dan perempuan seperti kewajiban menutup aurat, pelarangan khalwat, kewajiban menundukkan pandangan dan lain sebagainya. Alhasil, mereka pun akan terhindar dari pergaulan bebas dan segala dampak yang menyertainya. 


Selanjutnya, negara yang menerapkan syariat Islam secara kafah akan secara optimal mengatur arus informasi yang masuk ke masyarakat melalui media. Kehadiran media akan dikembalikan kepada hakikat fungsinya yaitu sebagai sarana edukasi dan dakwah, dan menutup pintu gerbang masuknya perbuatan maksiat seperti pornografi dan pornoaksi yang memicu syahwat.  


Negara juga akan menerapkan larangan tegas berkaitan dengan hal-hal maupun perbuatan yang mendekati zina. Hal ini dikarenakan Islam secara jelas mengharamkan pergaulan bebas, perzinaan, bahkan sekadar mendekati zina (pacaran). 


Demi menjaga terjaganya ketaatan kepada Allah Swt. negara juga tidak segan menetapkan hukuman yang menjerakan seluruh pelaku kemaksiatan termasuk pelaku zina. Negara melalui aparatur pemerintahan akan memberlakukan hukuman cambuk bagi pelaku zina yang belum menikah sebanyak 100 kali cambukan. Hal ini didasarkan dari firman Allah Swt. dalam QS An-Nur [24]: 2,


الزّانِيَةُ وَالزّانى فَاجلِدوا كُلَّ وٰحِدٍ مِنهُما مِا۟ئَةَ جَلدَةٍ ۖ وَلا تَأخُذكُم بِهِما رَأفَةٌ فى دينِ اللَّهِ إِن كُنتُم تُؤمِنونَ بِاللَّهِ وَاليَومِ الءاخِرِ ۖ وَليَشهَد عَذابَهُما طائِفَةٌ مِنَ المُؤمِنينَ.

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman".


Sementara itu, bagi pelaku zina yang telah menikah, negara memberlakukan hukuman rajam hingga mati. Ketegasan aturan Islam ini akan membuat masyarakat gentar untuk melakukan kemaksiatan sehingga kontrol terhadap lingkungan sosial akan berjalan secara efektif. 


Demikian aturan Islam mengatur problematika generasi muda saat ini. Dibandingkan program cegah kawin anak yang bernuansa sekuler, problem pemuda akan jauh lebih efektif saat aturan Islam lah yang dijadikan solusi. 

Wallahualam bissawab. [AS]