Alt Title

Dana Pendidikan Melimpah di Sistem Islam

Dana Pendidikan Melimpah di Sistem Islam

 


Berbeda dengan Islam, pendidikan dipandang sebagai salah satu hak setiap rakyat

yang wajib dipenuhi dengan layanan terbaik

_________________________


Penulis Umi Lia

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Member Akademi Menulis Kreatif


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Ketua Komisi X DPR RI Saeful Huda, dalam acara diskusi publik bertema "Menggugat Kebijakan Pendidikan" menyampaikan bahwa Komisinya menolak usulan Menteri Keuangan Sri Mulyani, terkait kebijakan 20 persen anggaran pendidikan yang mengacu pada APBN (Anggaran Belanja Negara).


Menkeu mengusulkan agar anggaran wajib (mandatory spending) untuk pendidikan dikaji ulang. Menurutnya, seharusnya 20 persen itu dari pendapatan bukan dari belanja karena cenderung tidak pasti. Namun jika pendapat itu diikuti, maka akan ada potensi penurunan anggaran pendidikan sebesar Rp130 triliun. Hal ini akan mengakibatkan kualitas layanan pendidikan di Indonesia ikut menurun. (rri.co.id, 8/9/2024)


Bima Yudistira selaku Direktur Excecutive Centre of Economic and Law Studies (Celios), menilai bahwa kebijakan mandatory spending ini penting untuk jangka panjang dan seharusnya tidak diubah. Ia menjelaskan meski anggaran pendidikan sering dievaluasi karena dianggap tidak tepat sasaran bahkan ada indikasi korupsi, bukan  berarti dana tersebut harus dikurangi. Menurutnya yang perlu dilakukan adalah memperbaiki efektivitas program bukan mengurangi pembiayaannya secara keseluruhan.


Negara Abai dalam Mengurus Pendidikan


Adanya upaya pengurangan anggaran pendidikan menunjukkan lepas tangannya negara dalam memenuhi hak rakyat dalam mendapatkan jaminan pendidikan terbaik dan terjangkau. Skema pembiayaan sekarang saja masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan jaminan pemberian layanan gratis atau murah, adil, dan merata. Maka jika kembali dikurangi, rakyat akan semakin kesulitan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi di negeri ini.


Pemerhati kebijakan publik Dr. Rini Syafri, menilai bahwa akar masalah dari kisruhnya anggaran pendidikan adalah akibat ideologi kapitalis yang diterapkan pemerintah. Biaya yang mahal, kualitas fasilitasnya kurang memadai, guru dan dosen kurang dari segi mutu dan jumlahnya, standar kurikulum yang selalu berubah-ubah dan lain-lain, menjadi problem yang tidak kunjung tersolusikan. Sementara, negara hanya berperan sebagai regulator yang melayani kepentingan para pemilik modal.


Inilah pendidikan yang berjalan di bawah paradigma kepemimpinan sekuler kapitalis, yang jauh dari paradigma riayah atau pengurusan dan junnah atau perlindungan. Pemerintah memandang kepengurusan terhadap rakyat tak ubahnya sebagai lahan bisnis/dagangan. Penguasa sebagai penjual, sedangkan rakyat  pembelinya. Karena dalam pandangan sistem ekonomi ini, ilmu adalah jasa yang legal dikomersialisasi oleh siapa pun termasuk pihak swasta. Menuntut ilmu yang merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi rakyat dianggap peluang bagi para pemilik modal untuk menghasilkan pundi materi.


Memang masih ada sekolah negeri yang dibiayai dari APBN, namun kualitasnya di bawah institusi yang didirikan pihak swasta dan jumlahnya tidak memadai. Bahkan untuk pendidikan tinggi negeri sudah menjalankan skema pembiayaan mandiri yakni Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) dan negara mengurangi anggaran untuk kampus.


Pendidikan dalam Sistem Islam


Berbeda dengan Islam, pendidikan dipandang sebagai salah satu hak setiap rakyat yang wajib dipenuhi dengan layanan terbaik dan menjadi hak setiap warga  baik muslim maupun nonmuslim, kaya ataupun miskin. Seorang penguasa adalah  pelayan atau pengurus (raa'in) yang berkewajiban menyediakan semua itu secara cuma-cuma. Maka tidak akan dikenakan biaya, terlebih menjadikannya sebagai ladang bisnis untuk pemasukan negara.


Dalilnya adalah perbuatan Rasul saw. yang menetapkan tebusan tawanan perang (orang kafir) dengan mengajari anak-anak kaum muslim. Padahal tebusan tersebut merupakan ghanimah yang menjadi hak seluruh warga. Beliau kemudian memanfaatkannya dalam rangka menyediakan pendidikan bagi rakyat secara gratis sebagai upaya  mencerdaskan rakyat. Negara juga menyediakan anggaran khusus dari Baitulmal untuk pembayaran gaji guru.


Islam tidak pernah melarang berdirinya sekolah-sekolah swasta. Sebab tidak menutup kemungkinan ada di antara warganya yang kaya dan ingin berwakaf mendirikan sekolah, mengupah guru, dan lain-lain. Hanya saja kurikulum yang berlaku di sekolah atau kampus swasta harus sama dengan yang diadopsi negara yaitu berdasarkan akidah Islam.


Dengan paradigma ini dalam seluruh proses yang berjalan, maka negara tidak memungut biaya sepeser pun kepada peserta didik. Karena memiliki politik anggaran yang mengacu pada aturan ekonomi Islam yang didukung sistem-sistem lainnya untuk mewujudkan tujuan ini.


Dalam sistem ekonomi Islam seluruh pembiayaan pendidikan diambil dari Baitulmal yakni dari pos fa'i, kharaj dan pos kepemilikan umum (milkiyah 'ammah). Selain itu, ada juga yang sangat berperan dalam pembiayaan pendidikan yaitu dari individu yang kaya dan cinta ilmu. Mereka menyediakan sekolah gratis, membiayai riset, dan lain-lain. Individu muslim yang kaya didorong memiliki motivasi ruhiyah dengan memberikan hartanya untuk kemajuan generasi.


Baitulmal adalah sebuah lembaga keuangan besar yang tidak melakukan pemungutan pajak dan mengambil utang luar negeri sebagai pendapatan. Pos pemasukan terbesarnya berasal dari harta kepemilikan umum, harta milik negara, dan penyaluran zakat mal. Dengan pendanaan semacam ini, maka akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat luas dan bukan melayani dunia bisnis yang memang kental dengan orientasi profitnya. 


Oleh karena itu, hanya dalam negara yang menerapkan aturan Islam kafah pendidikan gratis berkualitas akan dapat diwujudkan. Alhasil mampu mencetak ulama, ilmuwan, mujtahid, dan mujahid dalam jumlah yang besar dan membawa umat pada kemuliaan dalam naungan sebuah sistem kepemimpinan. Wallahualam bissawab. [SM/MKC]