Alt Title

Gadai SK Sejahtera Model Kapitalisme

Gadai SK Sejahtera Model Kapitalisme

 


Maka wajar dalam negara yang menerapkan kapitalisme, bank-bank konvensional menawarkan berbagai bentuk pinjaman. 

_________________________


Penulis Tinah Asri

Kontributor Media Kuntum Cahaya Aktivis Muslimah dan Pegiat Literasi 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Muncul trend baru di kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), pasca pelantikan beberapa minggu yang lalu. Anggota Legislatif terpilih di beberapa daerah tersebut ramai-ramai menggadaikan Surat Keterangan (SK) pengangkatannya ke lembaga keuangan alias bank untuk mendapatkan pinjaman uang dengan jumlah tertentu.


Ketua Sementara DPRD Kota Bandung, Agus Andi Setyawan mengatakan, kalau kebiasaan menggadaikan SK memang sudah menjadi hal yang lumrah dilakukan, tak terkecuali di kalangan anggota legislatif Kota Bandung.


"Tiap tahun biasa ada, tergantung keperluan masing-masing. Mungkin dari biaya kampanye besar kemarin. Atau ada hal yang harus dibereskan dengan gaji normatif bulanan, ini memang solusinya" kata Agus kepada media (IDN TIMES Jabar, 11-08-2024).


Gadai SK Untuk Apa?

Meskipun mereka baru saja dilantik, tidak sedikit anggota DPRD yang langsung menggadaikan SK. Alasannya pun bermacam-macam. Salah satunya untuk menutupi biaya kampanye yang harus mereka keluarkan saat pencalonan. Ada juga yang menggunakan uang hasil pinjaman untuk memenuhi kebutuhan lainnya.


Jika benar, uang hasil pinjaman digunakan untuk menutupi biaya kampanye, maka ini jelas-jelas menggambarkan, betapa mahalnya politik dalam sistem demokrasi kapitalis. Hanya untuk menjadi anggota legislatif daerah mereka harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit, bahkan sampai ratusan juta. Dalam negeri yang menerapkan sistem demokrasi kapitalis kriteria seorang pemimpin bukan karena kapasitas dan kemampuannya, tapi lebih kepada seberapa besar biaya yang mereka sanggup keluarkan.


Jujur, sebenarnya trend menggadaikan SK bukan hanya di kalangan anggota DPRD saja. Hal yang sama pun terjadi pada pegawai negeri sipil (PNS). Bahkan disinyalir lebih dari 75 persen SK PNS berada di pihak ketiga yakni perbankan. Ini juga menunjukkan betapa negara tidak serius dalam menyejahterakan rakyatnya. Bukan saja rakyat jelata, terhadap anggota DPRD dan PNS saja, yang notebene mereka adalah abdi negara. Negara tidak peka. Padahal di atas tanggung jawabnya semua urusan negara diserahkan. Artinya, mereka harus siap mendedikasikan sepenuh kemampuannya untuk negara. Apakah mungkin, mereka akan bekerja dengan serius jika setiap aktivitasnya selalu dibayang-bayangi dengan utang? Sementara di sisi lain, gaji yang mereka terima masih harus dipotong cicilan.


Sejahtera Semu dalam Kapitalisme

Inilah standar sejahtera semu ala kapitalisme yang ditawarkan pemerintah saat ini. Sejahtera yang didapat dari hutang. Rumah megah, mobil mewah, penampilan wah, sementara mereka resah, gelisah, akibat jeratan riba yang terus bertambah. Padahal, transaksi riba merupakan bentuk kezaliman yang merusak tatanan masyarakat. Orang bisa mengambil keuntungan dari penderitaan orang lain tanpa dibarengi dengan usaha. Pemilik modal pun bebas dalam mengembangkan hartanya, segala cara mereka tempuh, termasuk melipat gandakan uang yang mereka pinjamkan.


Dari sinilah awal hancurnya kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bahkan bernegara. Sayangnya, inilah konsekuensi yang kita rasakan akibat dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalis atas negeri ini. Maka wajar, dalam negara yang menerapkan kapitalisme bank-bank konvensional menawarkan berbagai bentuk pinjaman. Alhasil, hutang bank menjadi solusi yang menggiurkan bagi orang-orang yang sedang membutuhkan.


Padahal Allah Swt. melarang dengan tegas transaksi riba.

"Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS Al-Baqarah (2): 275


Sejahtera Menurut Islam

Sementara Islam mempunyai kriteria tersendiri tentang sejahtera, dan yang pasti bukan dari pinjaman riba. Memang, dalam pandangan Islam, aktivitas pinjam meminjam itu dibolehkan. Hukumnya sunnah memberi pinjaman kepada yang membutuhkan. Rasulullah saw. bersabda:

"Tidak ada seorang muslim yang memberikan pinjaman kepada seorang muslim sebanyak dua kali maka ia seperti bersedekah sekali." (HR Ibnu Hibban dan Ibnu Majah)


Meski begitu harus dilihat dulu alasannya, untuk apa seseorang harus meminjam uang. Apakah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya? Atau ada kebutuhan yang lain, seperti mengembangkan usahanya? Jika untuk memenuhi kebutuhan hidup, Islam telah mengatur bahwa negara yang harus bertanggung jawab terhadap terpenuhinya semua kebutuhan hidup masyarakat, seperti pangan, sandang, papan, termasuk juga kesehatan dan keamanan. 


Lain halnya jika pinjaman digunakan untuk mengembangkan usaha. Dalam negara yang menerapkan Islam secara kafah, fungsi bank diambil alih oleh baitulmal. Sehingga seseorang berhak mengajukan pinjaman ke baitulmal, dan tentu saja pinjaman tanpa bunga. Sama seperti ketika pemerintahan Khalifah Umar bin Al-Khatab, beliau memberikan pinjaman uang dari baitulmal kepada para petani di Irak untuk menggarap sawahnya sampai mereka berhasil panen. Sayang, semua itu hanya akan terwujud jika negara menerapkan Islam secara kafah dalam naungan negara khilafah. 

Wallahualam bissawab. [SM]