Gen Z dalam Kapitalisme Demokrasi: Terjerat Gaya Hidup Materialistik
Opini
Di era ketika media sosial menjadi pusat interaksi,
Gen Z terus-menerus terpapar pada gambaran kehidupan orang lain yang tampak sempurna
____________________________
Penulis Etik Rositasari
Kontributor Media Kuntum Cahaya/Pascasarjana UGM
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Generasi Z atau biasa disebut dengan Gen Z ialah sebutan untuk orang-orang yang lahir di antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an.
Yang mana merupakan generasi pertama yang memiliki akses internet dan smartphone sejak usia dini dan membuat mereka sangat dekat dengan dunia digital.
Menurut Pew Research Center, sekitar 95% dari mereka memiliki smartphone dan 45% mengaku hampir selalu online atau terhubung internet.
Fenomena Gen Z
Gen Z memiliki salah satu ciri khas dalam gaya hidup mereka, yakni media sosial memainkan peran penting dalam membentuk kebiasaan belanja mereka, sekitar 72% dari Gen Z lebih mungkin membeli produk yang dipromosikan oleh influencer. (Ypulse, 2021)
Banyak dari mereka yang lebih memilih pengalaman dibanding barang fisik, namun mereka tetap terpengaruh oleh gaya hidup materialistik.
Kesadaran sosial dan lingkungan semakin meningkat di kalangan Gen Z, dengan 62% dari mereka bersedia membayar lebih untuk produk yang berkelanjutan. (IBM, 2020)
Hal ini menciptakan ambivalensi dalam sikap mereka terhadap materialisme, di mana nilai-nilai konsumerisme bertentangan dengan keinginan untuk bertanggung jawab secara sosial. Fenomena inilah yang sering kita dengar dengan istilah Fear of Missing Out (FOMO).
Budaya dan Lingkungan yang Rusak
FOMO telah menjadi fenomena yang sangat berpengaruh dan menjadi salah satu tren signifikan bagi Gen Z. FOMO mencerminkan dampak besar interaksi berbasis teknologi terhadap psikologi dan perilaku komunikasi individu, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda.
Dengan akses yang luas ke berbagai platform seperti Instagram, TikTok, dan Snapchat, Gen Z sering terpapar pada konten yang menampilkan kehidupan orang lain yang terlihat ideal dan menarik. Hal ini menyebabkan mereka merasa tekanan untuk selalu terlibat dalam berbagai kegiatan sosial, acara, dan tren, menciptakan persepsi bahwa mereka harus "selalu hadir" dalam setiap momen yang dianggap penting.
Akar munculnya gaya hidup FOMO dalam Gen Z merupakan hasil kombinasi akibat pengaruh media sosial, kultur perbandingan sosial, dan tekanan dari norma-norma sosial yang kuat yang mana semua ini terjadi dalam konteks sistem liberal kapitalisme demokrasi.
Sistem rusak ini mengakibatkan Gen Z bergaya hidup bebas, hedonistik dan konsumerisme. Semua kesenangan dunia sesaat mendominasi dan menjadi prioritas utama.
Di era ketika media sosial menjadi pusat interaksi, Gen Z terus-menerus terpapar pada gambaran kehidupan orang lain yang tampak sempurna, mendorong mereka untuk membandingkan diri dan merasa tidak puas dengan kehidupan mereka sendiri.
Keterhubungan yang tinggi melalui teknologi menciptakan harapan untuk selalu terlibat. Sementara norma sosial yang menekankan pentingnya partisipasi dalam berbagai kegiatan semakin memperkuat perasaan FOMO.
Dampak Gaya Hidup Sekularisme
Dalam sistem liberal kapitalisme, individu didorong untuk mengejar kesuksesan dan status melalui nilai konsumtif dan pengalaman. FOMO menjadi salah satu dorongan bagi Gen Z untuk tidak hanya mengikuti tren, tetapi juga terlibat dalam budaya konsumtif yang semakin agresif. Sialnya hal ini justru sering kali berdampak negatif pada kondisi fisik hingga mental mereka.
Gen Z yang telah terpengaruh oleh gaya hidup rusak ini nantinya cenderung hanya menginginkan kemudahan. Mereka menginginkan penghasilan yang besar, ketenaran, dan kenyamanan hidup, tetapi enggan untuk bekerja keras.
Kondisi tersebut semakin diperparah oleh sekularisme yang memengaruhi cara pandang hidup mereka.
Regulasi dalam sistem kehidupan yang tidak memberikan perlindungan bagi Gen Z, namun justru menjerumuskan Gen Z pada lingkaran materiaslistik.
Keinginan untuk menjalani hidup yang enak dan nyaman namun diwujudkan melalui cara-cara yang tidak tepat, bahkan bertentangan dengan nilai-nilai agama. Gen Z berisiko menjauh dari nilai-nilai agama dan mungkin akan bekerja dalam bidang yang tidak sesuai, bahkan yang dilarang.
Dalam keadaan seperti ini, pola hidup hedonis, materialistis, dan kebebasan tanpa batas akan menguasai mereka. Mereka cenderung hidup semau mereka, asalkan kebutuhan hidup terpenuhi. Akibatnya, empati mereka akan menurun, terkesan egois, dan kurang peduli terhadap orang lain.
Bahaya Mengadang!
Akibatnya terjadi pengabaian potensi gen Z untuk berprestasi dan berkarya yang lebih baik, juga menghalangi potensinya sebagai agen perubahan menuju kebaikan. Apabila pola pikir yang keliru tentang pandangan kehidupan ini dibiarkan, konsekuensinya bisa berbahaya.
Sikap ini akan mengalihkan perhatian mereka dari kesulitan yang dialami masyarakat, termasuk masalah yang dihadapi umat muslim di seluruh dunia. Ketika Gen Z lebih fokus pada dunia mereka sendiri, mereka akan mengabaikan isu-isu seperti kemiskinan, kejahatan, dan penjajahan. Tentu saja, sikap seperti ini tidak dapat dibiarkan begitu saja.
Gen Z Wajib Paham Islam!
Sejatinya kehidupan yang tenang dan nyaman hanya dapat dicapai jika Gen Z bersedia mengadopsi Islam. Islam bukan sekadar agama ritual, melainkan sebagai sistem kehidupan yang menyeluruh.
Dengan penanaman akidah Islam, Gen Z akan memahami bahwa ketenangan sejati tidak bergantung pada pekerjaan atau kekayaan materi. Ketenangan seorang muslim diperoleh melalui keridaan Allah dalam segala aspek kehidupan, seperti dalam pekerjaan, penggunaan media sosial, dan interaksi dengan lingkungan, yang semuanya dilakukan atas dasar iman dan ketakwaan.
Pola pikir semacam ini hanya bisa terwujud jika Gen Z hidup dalam sistem yang mendukung, yaitu sistem Islam. Penerapan prinsip-prinsip Islam dalam semua aspek kehidupan akan memudahkan Gen Z memahami makna kehidupan yang sesungguhnya.
Reideologi Gen Z
Gen Z perlu memahami pentingnya Islam sebagai ideologi kehidupan. Diskusi mengenai ideologi harus diperdalam di kalangan pemuda oleh semua gerakan, partai, dan organisasi Islam. Hal ini penting karena ideologi merupakan kebutuhan dasar dalam hidup manusia.
Tinggi atau rendahnya orientasi hidup seseorang sangat bergantung pada ideologi yang dipegang.
Tanpa ideologi yang benar, potensi suatu generasi bisa dengan mudah dimanfaatkan oleh kepentingan musuh dan penjajah. Fenomena FOMO di kalangan Gen Z, merupakan satu contoh hasil dari propaganda negara berideologi kapitalisme yang menunjukkan betapa propaganda budaya yang muncul dari ideologi global.
Di sisi lain, Islam memandang pemuda memiliki potensi luar biasa dan kekuatan yang dibutuhkan umat terlebih sebagai agen perubahan menuju kebangkitan Islam.
Islam memiliki sistem terbaik untuk melejitkan potensi Gen Z, mengarahkan hidupnya sesuai dengan tujuan penciptaan dan mempersembahkan karya terbaik untuk umat dan Islam.
Potensi ini dibutuhkan untuk membangun kembali peradaban gemilang yang pernah dicapai umat Islam pada masa lalu dalam naungan Daulah Islamiyah. Potensi demografis Gen Z di negara-negara muslim saat ini bisa menjadi sumber daya besar untuk kebangkitan Islam. Wallahualam bissawab. [As/MKC]