Alt Title

Kementerian Makin Banyak, Mungkinkah untuk Kepentingan Rakyat?

Kementerian Makin Banyak, Mungkinkah untuk Kepentingan Rakyat?



Wacana kementerian gemuk sejatinya hanya memperbanyak pos-pos strategis. 

Para elit politik dan ekonomi untuk menjalankan agenda pribadinya memanfaatkan kekuasaannya


__________________________________


Penulis Irmawati

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Wacana kementerian gemuk mulai jadi perbincangan publik.  Direktur Riset dan Komunikasi Lembaga Survei Kedai Kopi Ibnu Dwi Cahyo menilai bahwa pemerintahan Prabowo dan Gibran memiliki susunan kabinet gemuk. Diketahui bahwa jumlah jajaran kementerian menjadi 44. Jumlah ini bertambah dari sebelumnya yang hanya berjumlah 34 kementerian saja. (antaranews.com, 18-09-2024)


Adapun kabinet gemuk harus diisi orang-orang yang memiliki kemampuan dan latar belakang pengalaman yang sama dengan kementerian yang akan dipimpin. Termasuk tokoh dengan latar belakang partai politik juga layak dipilih sebagai menteri jika memiliki pengalaman profesional di bidang yang sama dengan kementerian yang akan dipimpin.


Kebijakan Tak Layak


Kementerian yang gemuk akan membutuhkan banyak orang untuk mengisi posisinya. Konsekuensinya,  keputusan ini semakin menambah utang dan naiknya pajak karena kebutuhan untuk dana menteri semakin besar. 


Disisi lain, gemuknya jumlah kementerian memungkinkan jobdesk tiap kementerian tidak jelas. Lebih dari itu, besar kemungkinan dalam membuat kebijakan akan tumpang tindih. Akibatnya, pemerintahan tidak efektif dan efisien. 


Selain itu, gemuknya kementerian memperbesar celah terjadinya korupsi. Pasalnya, para pemegang kekuasaan ekonomi yang dominan dalam pengambilan keputusan politik sering kali memiliki kepentingan besar bahkan lebih mementingkan bisnis pribadi semata. Sementara itu, kepentingan rakyat terabaikan. 


Oleh karena itu, wacana kementerian gemuk sejatinya hanya memperbanyak pos-pos strategis para elit politik dan ekonomi untuk menjalankan agenda pribadinya dengan memanfaatkan kekuasaannya. Ini akan membebani negara tanpa memberikan solusi nyata terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat. Tentu saja ini sangat mengkhawatirkan karena rakyat yang menjadi korban. 


Akar Masalah


Inilah manifestasi sistem kapitalisme yang telah mencekram kuat negeri ini. Sistem kapitalisme meniscayakan keputusan jauh dari kepentingan rakyat. Sementara itu, kepentingan oligarki dan pemodal menjadi salah satu hal yang selalu diutamakan dalam setiap keputusan. 


Dalam sistem ini,  penguasa menjadi pemalak bagi rakyatnya. Hubungan antara penguasa dan rakyatnya ibarat hubungan tuan dan budak. Dengan demikian, kekuasaan hanya dijadikan alat untuk mengejar keuntungan pribadi dan kelompoknya bukan untuk kepentingan rakyat. Dengan berbagai pajak yang mencekik dan aneka pungutan yang memberatkan, negara memalak rakyatnya. Negara melepaskan tanggung jawabnya dalam urusan pendidikan dan kesehatan. Mengharamkan subsidi meski rakyatnya jelas-jelas sengsara dan menderita. 


Selain itu, memaksa rakyatnya untuk berkompetisi yang menunjukkan rakyatnya lemah. Sungguh sangat miris. Oleh karena itu, alih-alih regulasi dalam sistem ini memberikan kemaslahatan rakyat, berbagai regulasi yang dikeluarkan jauh dari kemaslahatan rakyat.


Solusi Islam 


Islam sebagai agama yang sempurna mengatur seluruh kehidupan manusia dalam berbagai aspek. Termasuk masalah pemerintahan. Islam membentuk secara efisien dan efektif sehingga pelaksanaan tugas negara berjalan secara maksimal. 


Dalam Islam, pemimpin adalah pelindung bagi rakyatnya dan orang-orang yang dipimpinnya. Kelak ia akan mempertanggungjawabkan di hari kiamat atas amanah kepemimpinannya. 


Adapun pemerintahan dalam Islam dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip yang menjunjung tinggi keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Selain itu, pejabat pemerintah dipilih bukan karena afiliasi politik atau kepentingan ekonomi melainkan berdasarkan kriteria amanah dan kompetensi yang dimiliki. 


Penguasa dalam Islam menjadikan negara sebagai riayah (Pengayom). Penguasa melakukan pengayoman dan pelayanan terhadap rakyatnya. Penguasa laksana pengembala (rain). Sebagaimana Rasul bersabda: "Sesungguhnya seorang pemimpin itu adalah perisai. Orang-orang berperang dibelakang dia dan berlindung kepada dia." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


Disisi lain, jumlah kementerian tidak berlebihan karena pemerintah fokus pada efektivitas dan efisiensi melayani rakyat. Terbukti dalam catatan sejarah pada masa Umar Bin Khattab mampu menjalankan pemerintahan dengan efektif meski dengan struktur yang sederhana. 


Setiap jabatan dalam sistem Islam memiliki fungsi yang jelas. Agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaannya maka diawasi dengan ketat. Apabila terbukti menyalahgunakan kekuasaan atau melakukan korupsi akan dihukum secara tegas. 


Penutup


Islam menghendaki setiap pemimpin menjadi suri teladan bagi rakyatnya. Seperti halnya Nabi saw. yang ditauladani oleh umatnya. Nabi saw. tidak akan disebut sebagai suri teladan yang baik jika tidak memiliki akhlak yang luhur. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an. 


"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan Ulil Amri di antara kamu. Lalu jika kalian berbeda pendapat terhadap suatu hal, kembalilah kepada Allah (Qur'an) dan Nabi (Sunnah) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Itu lebih penting (bagimu) dan konsekuensinya lebih baik." (Q.S An-Nisa: 59)


Demikianlah pengaturan sistem pemerintahan dalam Islam. Dengan sistem yang benar yakni penerapan Islam secara kafah mampu  menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dan berkah. Bukan sistem lain yang hanya memberikan kerusakan. Wallahualam bissawab [Dara/MKC]