Alt Title

Konteks Panas Wacana Kementerian Gemuk

Konteks Panas Wacana Kementerian Gemuk

 



Pemerintahan yang terbangun dari dalam habitat politik transaksional

bagaimanapun harus siap dituntut untuk merangkul semua partai politik

______________________________


Penulis Siti Mukaromah

Aktivis Dakwah


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Bagi-bagi jatah kursi kekuasaan dan proyek pembangunan merupakan hal lumrah dan sudah menjadi rahasia umum di dalam politik demokrasi.


Dikutip dari (antaranews.com, 08-09-2024) pengamat sebut pemerintahan Prabowo Gibran layak miliki kabinet gemuk. Ibnu Cahyono Direktur Riset dan Komunikasi Lembaga Survei KedaiKOPI menilai, pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Raka yang akan dilantik pada Oktober mendatang layak memiliki susunan kabinet yang banyak atau gemuk. Beredar wacana menyebutkan, yang akan mendampingi pemerintahan Prabowo-Gibran berjumlah 44 kementerian. Ini bertambah jumlah yang sebelumnya hanya sebanyak 34 kementerian.

Parpol-parpol nonkoalisi dengan dalih rekonsiliasi dan perdamaian ramai-ramai merapat ke pusaran kekuasaan hingga membentuk sebuah koalisi besar. Secara ideologis bukan hanya parpol yang ada irisan, yang selama ini berseberangan bahkan semisal PKS pun nyatanya tidak mau ketinggalan. Walhasil, yang tegak kekuasaan sekarang nyaris tanpa parpol oposan yang bertindak sebagai penyeimbang.

Ilusi Kabinet Zaken


Konteks panas dalam wacana kementerian gemuk yang sekarang mulai dibicarakan pihak pemerintah dalam hal ini memberi jaminan, bahwa kabinet yang akan dibentuk jauh dari nuansa bagi-bagi kekuasaan. Kabinet jajaran menterinya berasal dari kalangan ahli atau profesional bukan representasi dari suatu parpol mereka menyebutnya, sebagai "Kabinet Zaken."

Hanya saja, bahwa model Kabinet Zaken seperti itu sebagian pengamat mengatakan, merupakan ilusi dan hampir mustahil dipakai pada koalisi yang over kapasitas. Pemerintahan yang terbangun dalam habitat politik transaksional, bagaimanapun harus siap dituntut untuk merangkul semua partai politik. Meski benar-benar dipilih karena keahlian dan bukan orang partai tetapi mereka adalah orang-orang yang direkomendasikan oleh parpol dan akan tetap patut dicurigai.

Walhasil, yang akan muncul adalah pseudo zaken alias seolah-olah zaken. Model Kabinet Zaken secara teori dipandang sebagai model yang ideal karena bisa menghindari terjadinya multifungsi kabinet dan memaksimalkan kinerja dari para menteri anggota kabinet. Bahkan penggunaan model ini disebut-sebut akan menjamin kerja kementerian yang gemuk justru bisa lebih efektif karena ada fokus kerja yang tersentral.

Sistem Politik Sekuler Liberal


Pada sistem politik sekuler liberal hari ini bagaikan mimpi di siang hari karena masalahnya berharap ada "makan siang gratis." Pasalnya, parpol dan orang-orang aktif berpartai dibentuk justru dalam rangka menjadikannya sebagai kendaraan atau batu loncatan. Akhir tujuannya adalah memenuhi syahwat kekuasaan, yang dengannya jalan memperoleh materi menjadi terbuka lebar. Bagaimana bisa jadi dipercaya ada partai yang mendukung kekuasaan niatnya tulus ikhlas lillahi Taala?

Semua narasi tersebut hanyalah kamuflase untuk menutupi borok yang sudah berurat akar. Bahkan, titik kritisnya menjadi sangat banyak dan saling berkelindan. Soal efisiensi bukan hanya sekadar kerja yang konsekuensinya akan berimplikasi pada fisikal negara. Tidak kalah berbahaya ada hal lain yaitu terbuka lebarnya pos-pos kerusakan. Mengingat selama ini nyaris seluruh pos jabatan selalu dimanfaatkan parpol untuk bagi-bagi remah kekuasaan level internal. Sementara, urusan kapasitas dan kapabilitas sering kali diabaikan dan akhirnya rakyatlah yang menjadi korban.

Jika kinerja pemerintahan menjadi kacau balau di tiap level, tidak heran karena jabatan tidak dipegang oleh ahlinya. Dari tahun ke tahun yang paling menonjol kasus korupsi justru merajalela pada taraf membudaya.

Misalnya, berbagai pencapaian di sepanjang sepuluh tahun pemerintahan Presiden Jokowi banyak pengamat yang mengatakan lebih asik memamerkan di bidang "infrastruktur." Padahal di sisi lain, "sukses" membawa pemberantasan korupsi di Indonesia ke titik nol alias tidak meningkat sama sekali. Hasil laporan pemantauan tren korupsi 2023 yang dirilis 19 Mei 2024, jumlah kasus korupsi terus meningkat setiap tahun sejak periode kedua Jokowi. Nyaris jumlahnya melonjak 3 kali lipat dari hanya 271 kasus pada 2019 menjadi 791 kasus pada 2023. Setidaknya, ada enam menteri, satu wakil menteri dan sebelas gubernurnya terjerat kasus megakorupsi.

Semestinya masyarakat belajar, bahwa berharap perubahan dengan mempertahankan sistem demokrasi sekuler liberal akan hanya berujung kekecewaan. Jelas, kerusakan bukan hanya pada person kepemimpinan, tetapi lebih pada sistem aturan yang diterapkan. Sistem inilah yang membuat sosok jahat bisa berkamuflase seolah jadi pahlawan bagi rakyat, sementara sosok yang baik bisa terjerumus dalam kerusakan. Kehidupan masyarakat ujung-ujungnya jauh dari kebaikan.

Sistem dalam Islam


Satu-satunya memperbaiki kerusakan adalah mengembalikan kehidupan Islam dengan menegakkan seluruh aturan Allah dalam naungan Daulah Islam, sistem yang di atas tiga pilar. Yakni, individu-individu yang bertakwa, melaksanakan nahi mungkar, serta konsisten negara yang menerapkan aturan IsIam kafah dalam seluruh aspek kehidupan. Akidah sebagai landasan tegaknya negara dan kepemimpinan menjadi faktor utama yang menjamin berjalannya fungsi-fungsi kekuasaan. Islam menetapkan penguasa adalah pelayan (raain) sekaligus pelindung (junnah) bagi satu per satu rakyatnya. Pemimpin (khalifah) di dalam Islam bertanggung jawab atas terjaganya nyawa, harta, akal, kehormatan, dan akidah setiap warga negara.

Pengangkatan baiat khalifah (pemimpin) dalam IsIam mencakup kesiapannya untuk melaksanakan syariat tersebut. Tugasnya yang berdimensi akhirat secara alami mencegah peluang konflik kepentingan dari siapa pun yang mewakili umat untuk mengangkatnya. Baik para tokoh umat, partai politik, atau yang terlibat proses dalam kontestasi khalifah. Karena jabatan khalifah dan para pembantunya amanah yang berat, cuma layak diterima oleh mereka yang memenuhi syarat-syarat in'iqad. Yakni seorang muslim yang bertakwa, adil, merdeka, dan punya kapabilitas untuk melaksanakan tupoksinya berdasarkan tuntunan syariat.

Mengingat fungsi mereka adalah tangan kanan yang baik buruknya akan ia pertanggungjawabkan sehingga jabatan apa pun dalam sistem Islam juga jauh dari makna duniawi. Oleh karenanya, fenomena perburuan jabatan tidak akan ada lagi sebagaimana yang terjadi sekarang. Wajar, jika masyarakat dalam sistem IsIam dari zaman ke zaman mampu tampil sebagai umat pilihan. Selama belasan abad bahkan selalu menjadi pionir peradaban cemerlang. Sistem pemerintahan Islam tidak mengenal kementerian. Di bawah tuntunan akidah dan syariat khalifah bertanggung jawab atas semua tupoksi kepemimpinan.

Khalifah boleh mengangkat pembantunya sesuai kebutuhan. Apakah melaksanakan fungsi kekuasaan kepala daerah, fungsi keamanan atau militer seperti amirul jihad, fungsi hakim, maupun fungsi administrasi, seperti para duta, pengurus Baitulmal, kepala departemen kemaslahatan umat, departemen kemediaan, dan lain-lainnya. Semuanya diangkat benar-benar sesuai kebutuhan sehingga amanah kepemimpinan berjalan efektif dan efisien.

Peluang penyimpangan akan sangat sempit, karena masyarakat IsIam adalah masyarakat cerdas dengan syariat. Amar makruf nahi mungkar terbuka lebar di pintu-pintu warga negara secara individual, jemaah, maupun parpol. Apalagi, struktur dalam kekhalifahan ada majelis umat yang siap mengawal penguasa dalam fungsinya disebut "Mahkamah Mazalim" memiliki kewenangan untuk memecat khalifah yang melenceng dari hukum syarak.

Masihkah umat IsIam masih menutup mata dari solusi yang pernah terbukti pernah membawa Islam kepada kejayaan dan kesejahteraan ini? Wallahualam bissawab. [SJ/MKC]