Nepotisme Merambah Senayan, Rakyat Makin Terabaikan
OpiniDi dalam sistem Islam
negara memiliki struktur perwakilan dari rakyat yang dinamakan Majelis Umat
_______________________
Penulis Wiwin
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Berdasarkan hasil riset Litbang Kompas (tirto.id, 2-10-24), ditemukan 220 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) periode 2024-2029 yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan pejabat publik atau tokoh politik nasional. Hubungan kekerabatan itu berupa hubungan suami, istri, anak, keponakan, atau yang lainnya.
Hubungan kekerabatan yang paling banyak adalah anggota legislatif yang terpilih merupakan anak pejabat atau mantan pejabat. Hal ini menunjukkan bahwa politik kekerabatan atau nepotisme sangat kental di Gedung DPR/MPR RI yang berlokasi di Senayan, Jakarta.
Contoh nyata nepotisme adalah anggota legislatif baru terpilih Diah Pikatan, ia merupakan anak Puan Maharani, ketua DPR RI dari PDIP. Ahmad Muzani juga lolos menjadi anggota legislatif bersama istrinya, Himmatul Aliyah. Keduanya merupakan kader dari partai Gerindra. Ada lagi Mulan Jameela dan suaminya yaitu Ahmad Dhani, dan banyak lagi yang lainnya.
Litbang Kompas melaporkan bahwa kecenderungan nepotisme di Majelis Permusyawaratan Rakyat RI (MPR RI) makin meningkat dari periode ke periode. Kekerabatan politik pada anggota MPR RI periode 2014-2019 terdeteksi 31,4% dari seluruh anggota.
Pada MPR RI periode 2019-2024 ada 38,4%, dan periode 2024-2029 mencapai 38,9%. Artinya dari tahun ke tahun nepotisme semakin kuat di Senayan. Tidak cukup kepala keluarga yang jadi anggota dewan, istri, anak, bahkan keponakan pun jika ada kesempatan ingin jadi anggota dewan.
Bahaya Nepotisme di Lembaga Perwakilan Rakyat
DPR RI adalah badan legislatif dalam sistem pemerintahan demokrasi. Lembaga ini bertugas membuat undang-undang bersama eksekutif (pemerintah), mengesahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diajukan pemerintah serta melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan. Anggota dewan merupakan wakil rakyat, yang bertugas menyampaikan aspirasi dari rakyat.
Banyaknya hubungan kekerabatan antara para anggota dewan, bahkan dengan pemerintah, tentu akan menimbulkan pertanyaan, akankah ada diskusi untuk saling mengoreksi, atau berjalankah sistem pengawasan di DPR? Yang paling mungkin justru saling mendukung dan melindungi.
Hal ini terbukti bahwa saat ini, tidak ada pihak oposisi dalam pemerintahan. Semua partai menjadi koalisi (pendukung) pemerintah. Fungsi pengawasan tidak dapat berjalan dengan penuh ketegasan dan transparan. Lalu siapa yang berpihak kepada rakyat?
Kuatnya kekerabatan juga menjadi penyebab mundurnya calon legislatif terpilih hasil pemilu. Seperti yang terjadi pada caleg terpilih dari PDIP yaitu Arteria Dahlan.
Beliau terpilih dalam pemilu, namun ketua partai PDIP telah mengganti Arteria dengan Romi Soekarno yang tidak lain merupakan kerabat Puan Maharani.
Analis Politik Dedi Kurnia Syah dari Indonesian Political Opinion melihat langkah menjadi anggota dewan dengan cara mengganti caleg hasil pemilu, sebagai preseden buruk karena hal itu menunjukkan kesewenang-wenangan ketua partai.
Pemilihan caleg seperti itu juga menunjukkan bahwa pencalonan caleg anggota dewan bukan berdasarkan kapasitas dan kualitas, tapi berdasarkan kedekatannya dengan ketua partai. Bisa dilihat kedaulatan rakyat kalah oleh kedaulatan partai.
Demikianlah, dalam sistem demokrasi sekuler kita sulit mengharapkan adanya kesungguhan di dalam mengurus urusan rakyat oleh pemerintah maupun oleh anggota legislatif.
Yang ada, para pejabat itu hanya mewakili kepentingan partai, keluarga dan kelompoknya saja. Rakyat hanya penting saat pemilu. Setelah pemilu selesai, rakyat kembali diabaikan.
Karena dalam sistem sekuler tidak ada batasan halal haram. Peran agama ditiadakan, sehingga mereka boleh melakukan segala cara untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan. Termasuk politik uang, baik ketika jelang pemilu maupun saat sudah menjadi anggota dewan. Alhasil, tidak aneh jika lahir para politisi yang korup dan menjilat
Perwakilan Umat dalam Sistem Islam
Indonesia dengan penduduk mayoritas muslim seharusnya belajar pada sejarah pemerintahan Islam. Di dalam sistem Islam, negara memiliki struktur perwakilan dari rakyat yang dinamakan Majelis Umat.
Anggota Majelis Umat adalah orang-orang yang mewakili kaum muslim untuk memberikan pendapat yang akan menjadi rujukan bagi pemerintah dalam berbagai urusan.
Rasulullah saw. sering meminta pendapat dengan beberapa orang dari kaum Muhajirin dan Anshar yang mewakili kaumnya. Aktivitas Majelis Umat juga berfungsi untuk mengoreksi para pejabat pemerintahan, kemudian akan dilaporkan kepada khalifah. Hal ini berlangsung sejak masa Khulafaur Rasyidin dan para khalifah berikutnya.
Majelis Umat tidak memiliki kewenangan anggaran dan membuat undang-undang. Karena anggaran dikelola oleh badan tersendiri yaitu Baitulmal, sedangkan undang-undang dalam Islam berasal dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Artinya, bahwa aturan yang diterapkan itu adalah aturan yang langsung dari Sang Pencipta yaitu Allah Swt.. Aturan ini wajib diterapkan dan dijalankan dengan penuh ketaatan oleh pemerintah dan masyarakat.
Pemilihan dan penentuan anggota Majelis Umat didasarkan pada dua asas, yaitu pertama, mereka yang terpilih adalah para pemimpin dari kelompoknya atau mereka merupakan representatif dari umat yang ada.
Kedua, kalangan nonmuslim pun mempunyai hak untuk memilih wakilnya di Majelis Umat untuk menyampaikan pendapatnya, apabila terjadi kezaliman dari pemerintah akibat kurangnya pelayanan publik.
Para anggota Majelis Umat diberikan wewenang menjadi penyambung lidah bagi umat agar pemerintah benar-benar melaksanakan mengurus urusan umat (riayatusy syu'unil ummah).
Mereka sadar bahwa duduknya mereka dalam Majelis Umat adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.. Wallahualam bissawab. [MGN/MKC]