Pemerintahan Baru, Harapan Baru atau Harapan Semu?
Opini
Mau berapa kali gonta ganti rezim atau penguasanya dengan orang yang berbeda
Jika sistemnya masih yang sama, negeri ini tidak akan mengalami perubahan menuju yang lebih baik
______________________________
Penulis Ummi Qyu
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Komunitas Rindu Surga
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Tanggal 20 Oktober 2024 resmi pergantian rezim pemerintahan baru dari era Jokowi ke presiden terpilih Prabowo Subianto. Beberapa anggota DPR baru sudah resmi dilantik, tetapi banyak muka lama di sana. Bahkan untuk jabatan ketua DPR masih orang yang sama. Yang lebih menarik, 60% anggota DPR adalah pengusaha dan 174 orang terindikasi terhubung dengan politik dinasti.
Walaupun formasi keanggotaannya tidak banyak perubahan, akan tetapi sebagian orang masih ada yang berharap dengan rezim yang baru ini. Tidak sedikit juga yang pesimis akan adanya perubahan terutama dari kalangan muslim yang kritis karena melihat orang-orang yang sama di dalamnya. Di mana mereka akan tetap melaksanakan sistem yang lama (status quo).
Karena jika kita cermati, rezim yang sebelumnya tidak menghasilkan perubahan secara signifikan. Mau berapa kali gonta ganti rezim atau penguasanya dengan orang yang berbeda, jika sistemnya masih yang sama, negeri ini tidak akan mengalami perubahan menuju yang lebih baik. Contohnya pada era Jokowi selama 2 periode (2014-2019 s/d 2019-2024) dengan segala janji semu dan program-program sudah terbukti tidak menjadikan negeri ini lebih baik, tetapi malah tambah mundur dan terpuruk.
Kekuasaan akan Bernasib Sama
Rezim pemerintahan baru dapat dipastikan bernasib sama. Di awal kepemimpinan Presiden Prabowo sekarang, akan membawa warisan yang sangat banyak berupa persoalan-persoalan yang harus diselesaikan, terutama di bidang ekonomi.
Begitu banyak orang-orang yang di-PHK, angka kemiskinan dan pengangguran yang terus meningkat, pajak yang tambah besar, beban pembayaran utang negara makin berat, penguasaan sumber daya alam (SDA) milik rakyat oleh segelintir orang (asing dan aseng) yang semakin tak terkendali, dan sebagainya.
Lain di bidang ekonomi, lain pula di bidang politik. Meski Prabowo memenangkan pemilu, tapi Prabowo tidak memiliki mayoritas legislatif yang solid. Di sisi lain, kekuasaan oligarki yang semakin mencengkeram, yang memiliki kedekatan dengan lingkungan politik akan mudah bagi mereka untuk menguasai.
Terlihat jelas dalam struktur politik dan ekonomi, di mana sebagian kecil konglomerat mengendalikan sektor-sektor strategis seperti SDA (pertambangan, perkebunan), infrastruktur dan perbankan. Kedekatan mereka juga akan memengaruhi kebijakan publik demi keuntungan pribadi dan kelompoknya.
Belum lagi persoalan di bidang hukum, sosial, pendidikan, dan lain-lain yang semakin ke sini semakin rumit dan kompleks. Oleh karena itu, kita tidak bisa berharap lagi pada sistem kapitalis sekuler ini. Karena tidak akan membawa perubahan yang hakiki.
Kekuasaan Islam Adalah Harapan Kita
Dalam Islam, hakikat kekuasaan adalah amanah. Yang mana akan menjadi beban bagi pemangkunya di dunia sekaligus bisa mendatangkan siksa di akhirat. Rasulullah saw. juga mengingatkan kepada pemegang amanah jabatan dan kekuasaan, agar tidak menipu dan menyusahkan rakyatnya.
Sikap kasih sayang penguasa ditunjukkan dengan upaya untuk selalu memudahkan urusan rakyatnya, menggembirakan mereka dan tidak menakut-nakuti mereka dengan kekuatan aparat dan hukum.
Penguasa atau pemimpin harus bersikap adil, yang ditunjukkan dengan kesungguhannya menegakkan syariat Islam di tengah-tengah masyarakat. Sebab, tidak ada keadilan tanpa penerapan dan penegakan syariat Islam. Maka dari itu, siapa pun penguasanya harus menjalankan pemerintahannya berdasarkan syariat Islam, agar terhindar dari penguasa yang zalim dan fasik.
Islam mengarahkan bagi pemangku kekuasaan untuk bertindak amanah. Ia juga wajib mengemban kekuasaannya di atas fondasi agama, yaitu Islam. Imam al-Ghazali rahimahullah menegaskan: "Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar. Karena itu sering dikatakan: Agama adalah fondasi, sementara kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki fondasi akan hancur. Apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap." (Abu Hamid al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I'tiqâd, 1/78)
Dalam Islam, kekuasaan harus diorientasikan untuk menegakkan Islam dan melayani berbagai kepentingan masyarakat, baik muslim maupun nonmuslim. Kekuasaan semacam itu akan terwujud hanya dalam institusi pemerintahan Islam. Yang mana di dalamnya menerapkan syariat Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan.
Pemimpin Islam akan mengatur berbagai urusan seluruh warga negaranya dengan syariat, seperti menjamin kebutuhan hidupnya, menyelenggarakan pendidikan yang terbaik dan terjangkau, menyediakan fasilitas kesehatan yang layak secara cuma-cuma untuk semua warga tanpa memandang kelas ekonomi.
Pemimpin Islam tidak akan menyerahkan SDA milik rakyat (tambang minyak, gas, batu bara, mineral, emas, perak, nikel) ke pihak asing, bahkan ke swasta sekalipun. Tetapi, akan dikelola untuk kesejahteraan seluruh warga negara. Selain itu, negara akan menjaga dan melaksanakan urusan agama lainnya seperti hudud untuk melindungi kehormatan, harta, dan jiwa masyarakat muslim maupun nonmuslim serta menyebarkan risalah Islam ke seluruh dunia.
Dari sini sangat jelas, bagaimana untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan juga keadilan bagi seluruh masyarakat muslim itu harus dicapai dengan perubahan yang hakiki, dengan cara menerapkan syariat Islam di dalamnya secara utuh dan menyeluruh, terutama dari segi ekonomi. Karena melalui sistem pemerintahan Islam, harapan akan kesejahteraan dan keberkahan akan terwujud. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]