Alt Title

Polemik Sertifikasi Halal ala Kapitalisme

Polemik Sertifikasi Halal ala Kapitalisme



Sertifikasi ala kapitalisme telah menjadikan nama suatu produk tak jadi masalah

asal zatnya itu halal

______________________________


Penulis Nurlina Basir, S.Pd.I

Kontributor Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Indonesia adalah salah satu negeri muslim terbesar di dunia saat ini. Jumlah penduduk muslimnya mencapai 245,93 juta jiwa atau 87,08% dari jumlah penduduk (data Kemendagri). Dengan jumlah tersebut mengharuskan adanya penyediaan produk-produk yang terjamin halal terjual di pasaran, seperti kebutuhan hidup berupa makanan, minuman, pakaian dan sebagainya.

 

Namun, perbincangan soal sertifikasi halal pada produk-produk dengan nama sebutan yang tidak halal, serta mengambil nama-nama buruk seperti setan, tuyul, tuak, beer, wine dan yang semisalnya. Ternyata ada yang secara zatnya termasuk kategori halal. Misalnya, mie setan pedas, bakso setan, atau diambil dari nama yang terkesan tidak senonoh.

 

Pemberian nama seperti beer dan wine yang jelas-jelas minuman beralkohol atau minuman keras justru diberikan label halal. Akhirnya berdampak pada penerimaan masyarakat, mirisnya hal tersebut dianggap biasa. Sebagai seorang muslim tentu saja keadaan ini mengkhawatirkan.

 

Sertifikasi ala Kapitalisme


Sertifikasi ala kapitalisme telah menjadikan nama suatu produk tak jadi masalah asal zatnya itu halal. Padahal berpotensi menimbulkan kerancuan yang dapat membahayakan. Karena persoalan halal haramnya suatu benda dalam pandangan Islam merupakan hal prinsip yang sangat berkaitan dengan akidah seorang muslim.

 

Nama suatu produk pun harusnya sudah menggambarkan perihal kandungannya (zatnya). Sebagai konsumen, kita sudah paham bahwa itu aman. Sudah menjadi rahasia umum ketika sertifikasi menjadi ladang bisnis untuk meraup keuntungan.

 

Negara yang menganut sistem ekonomi kapitalisme sekularisme akan menjadikan ini sebagai sesuatu yang menghasilkan. Adanya batas waktu sertifikasi akan membuat sebuah usaha mengabaikan kehalalan dan keamanan.

 

Islam Sangat Memperhatikan Kehalalan Sesuatu

 

Islam merupakan agama sempurna yang mengurus segala aspek kehidupan dunia hingga akhirat. Ia juga memiliki aturan tentang benda atau zat, ada yang halal dan ada pula yang haram. Halal berarti boleh dan haram berarti harus ditinggalkan. Setiap yang dilarang pasti ada keburukan di dalamnya yang berpotensi tertolaknya amalan baik seseorang.



Perintah Allah Swt. dalam Al-Qur'an adalah memakan sesuatu yang halal dan baik yang terdapat di  bumi ini. (baca: QS. Al-Baqarah [2]: 168)



Secara fitrah, manusia membutuhkan setiap asupan yang mengandung dua sifat yaitu halal dan tayibah. Halal dalam pemahaman para ahli fikih adalah dilihat dari segi zat dan prosesnya. Sedangkan tayibah, berdasarkan penjelasan dr. Zaidul Akbar, beliau menulis dalam buku JSR yaitu apabila makanan tersebut aman, baik dan tidak menimbulkan masalah apa pun jika dikonsumsi, baik jangka pendek maupun jangka yang panjang dan dapat memberi manfaat bagi tubuh manusia.

 

Tubuh kita akan memberikan respons 'menolak' ketika diberikan yang haram. Alhasil, timbul berbagai keluhan kesehatan yang skalanya kecil maupun besar.  

 

Makanan yang haram dari segi zatnya adalah bangkai, hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah Swt., khamr, babi dan turunannya. Sementara yang terkategori haram berdasarkan prosesnya dapat dilihat dari makanan yang diperoleh dengan cara yang haram seperti korupsi, menipu, suap dan lain-lain.

 

Kaum muslimin berkeyakinan bahwa setiap yang dimakan akan menjadi daging di dalam tubuh dan akan memengaruhi pola tingkah laku. Ini adalah salah satu peringatan Allah Swt.. You are what you eat.

 

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari hal yang dimurkai Allah (haram) dan neraka adalah paling tepat untuknya.” (HR. Musnad Ahmad 13919)

 

Jaminan Halal Adalah Tugas Negara


 

Oleh karena itu, peran negara adalah memastikan setiap produk yang beredar di masyarakat adalah barang halal secara zatnya. Ini adalah bentuk perlindungan pemimpin kepada rakyatnya.

 

Salah satu tugas dari sepuluh tugas Imam yang disampaikan oleh Imam Al Mawardi, dalam kitab beliau yaitu Ahkam Sulthaniyah adalah menegakkan hukum dengan tegas agar segala yang dilarang oleh Allah Swt. tidak mudah dilanggar dan memelihara hak-hak hamba-Nya agar tidak mudah diselewengkan dan diremehkan.

 

Jadi negara Islam wajib menjamin kehalalan dan ketayiban sesuatu yang akan dikonsumsi oleh manusia secara umum. Begitu pun pendidikan yang berbasis akidah Islam wajib diberikan kepada masyarakat agar mereka senantiasa sadar bahwa apa pun yang dilakukan dalam kehidupannya, kelak akan dipertanggungjawabkan.



Sertifikasi halal adalah layanan yang harus diberikan oleh negara dalam Islam dengan biaya yang murah bahkan gratis. Sebab ketika masyarakat yang punya usaha dibebankan pembiayaan yang tinggi kepada mereka, bisa jadi membuatnya enggan untuk mengurusnya, akhirnya tidak mementingkan kehalalan produknya. Apalagi pengawasan minim dilakukan kepada pelaku usaha, maka ini akan sangat memberikan peluang. 



Untuk itu, para kadi yang telah ditunjuk oleh negara harus melakukan pengawasan secara rutin setiap harinya. Pengawasan itu dilakukan di berbagai tempat seperti pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, ataupun pabrik. Para kadi akan melakukan pengawasan dan pengecekan pada produksi dan distribusi produk untuk memastikan kehalalan produk, juga tidak adanya kecurangan (ghaban) dan kamuflase (penyamaran).



Kalaupun ada yang melakukan itu, maka sanksi tegas harus diberikan untuknya. Sanksi yang memberikan efek jera tentunya. Keputusan dikembalikan kepada kadi untuk menjatuhkan hukuman sebagai lembaga yang memiliki wewenang tersebut.

 

Tentu kehidupan tersebut harus diwujudkan dalam bentuk perjuangan mengembalikan kehidupan Islam secara menyeluruh, sebagaimana Allah Swt. menyuruh kita untuk melakukannya. Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]