Alt Title

Sertifikasi Halal: Keuntungan Umat atau Kapitalisme?

Sertifikasi Halal: Keuntungan Umat atau Kapitalisme?




Negara bertanggung jawab untuk memberikan sertifikasi halal secara gratis

Karena tugas negara untuk melindungi semua kebutuhan rakyat


______________________________


Penulis Melta Vatmala Sari

Kontributor Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Isu terkait sertifikasi halal pada produk yang zatnya tidak halal menjadi halal. Hal ini ramai diperbincangkan di kalangan umat muslim. Mirisnya, berita ini dianggap aman oleh MUI karena zat halal hanya sebutannya yang mengandung barang yang tidak halal.


Inilah model sertifikasi halal dalam kapitalisme. Nama tak jadi soal asal zatnya halal. Sebenarnya akan berpengaruh buruk bagi orang yang mengonsumsinya, juga dapat membahayakan umat. Adanya sertifikasi halal ini menjadi ladang bisnis bagi orang yang memiliki modal dalam berinvestasi.

 

Berita terkini dari Kumparan.com, baru-baru ini beredar video berisi tentang adanya produk yang dinamakan tuyul, tuak, dan wine, yang akan diberikan sertifikasi halalnya. Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal mengakui adanya terkait isu ini yaitu:

 

Pertama, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Mamat Salamet Burhanudin menyatakan bahwa masalah ini berkaitan dengan penamaan produk, bukan soal kehalalan produknya. Artinya, masyarakat tidak perlu ragu bahwa produk bersertifikat halal terjamin halal karena telah melalui proses sertifikasi halal dan mendapatkan penetapan halal dari Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal sesuai mekanisme yang berlaku.



Kedua, dia mengatakan bahwa penamaan produk halal sudah diatur oleh undang-undang, seperti SNI 99004:2021 tentang persyaratan umum pangan halal dan Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 tentang penggunaan nama, bentuk, dan kemasan produk yang tidak disertifikasi halal.


Watak Kapitalisme Memengaruhi Sertifikasi Halal di Indonesia


Apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu, BPJPH dapat menerbitkan sertifikat halal segera. Seperti yang diatur dalam Pasal 33A(2) UU Ciptaker. Oleh karena itu, UU ini dianggap memungkinkan para produsen mendeklarasikan secara mandiri bahwa produk mereka halal.

 

Pemerintah sedang bekerja untuk membangun Kawasan Industri Halal (KIH) sebagai pusat halal global dan peraturan baru tentang sertifikasi halal ini akan membantu proyek ini. Adanya regulasi ini berarti pemerintah mengizinkan investasi KIH di Indonesia.

 

Mengizinkan investor untuk mendapatkan sertifikasi halal menunjukkan sifat asli kapitalisme demokrasi yang dianut oleh negara ini. Dengan kata lain, menghalalkan segalanya untuk mendapatkan keuntungan finansial. Apa pun yang dilakukan harus menghasilkan uang. Segala sesuatu akan dijual untuk mendapatkan keuntungan yang besar.

 

Kebijakan pemerintah selalu menguntungkan para investor dan pemodal. Rakyat tidak dipedulikan bahkan akan menjadi korban. Kaum muslimin harus lebih hati-hati lagi saat membeli barang-barang dengan sertifikat halal yang mudah diakses ini. Karena, bersertifikat halal pada akhirnya belum tentu halal secara syariat. Untuk mendapatkan keuntungan finansial dari investasi, negara-negara yang telah menerapkan ideologi kapitalisme demokrasi ini telah meninggalkan standar syariat halal.

 

Selain itu, fungsi ulama dianggap tidak penting. Sebagai satu-satunya tugas MUI adalah melegalisasi sertifikasi halal. Dengan kata lain, ulama menganggap setiap tindakan pemerintah sebagai tindakan yang sesuai dengan syariat.


Rezim akan melaksanakan fatwa ulama ketika itu menguntungkan. Jika tidak dapat menghentikan keinginan rezim, ulama diabaikan. Bahkan dibentuk lembaga baru seperti BPJPH untuk mempermudah sertifikasi halal. Padahal, pemerintah seharusnya bergantung pada para ulama untuk menyelesaikan masalah rakyat.

Sertifikasi Halal dalam Islam


Halal dan haram dalam Islam adalah masalah besar karena akan memengaruhi keselamatan kita di akhirat. Kita ingin berada di surga, negara bertanggung jawab untuk melayani rakyatnya dengan memberikan jaminan halal.

 

Negara harus turun tangan untuk mengawasi kehalalan dan kualitas barang konsumsi karena telah menjadi kebutuhan umum yang vital. Ini disebabkan oleh fakta bahwa pemimpin Islam bertindak sebagai pengurus rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda yang artinya: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)

 

Oleh sebab itu, negara bertanggung jawab untuk memberikan sertifikasi halal secara gratis. Karena tugas negara untuk melindungi semua kebutuhan rakyat. Negara harus menghindari pungutan dalam memberikan layanan. Sertifikasi halal akan dilakukan dari penentuan bahan hingga proses produksi dan distribusi, serta semua proses akan diawasi.


Baitulmal akan membayar proses pengawasan. Negara juga menghapus barang haram dari pasar agar orang tidak waswas dan ragu-ragu saat memilih bahan. Jika bisnis menggunakan metode zat haram dan membuat barang haram, negara akan memberikan sanksi tegas.

 

Negara juga memberikan sanksi bagi pedagang yang menjual barang haram kepada orang muslim dan bagi orang muslim yang mengonsumsi barang haram sesuai dengan syariat. Seperti jilid bagi mereka yang meminum khamr atau takzir bagi mereka yang memakan makanan yang mengandung babi. Apakah tidak rindu dengan sistem Islam? Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]