Alt Title

Wakil Rakyat Resmi Dilantik, Benarkah Melayani Kepentingan Publik?

Wakil Rakyat Resmi Dilantik, Benarkah Melayani Kepentingan Publik?



Sebab pada gilirannya

suara rakyat seolah tak lebih dari sekadar formalitas belaka

______________________________


Penulis Ummu Zhafran

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Wakil rakyat seharusnya merakyat

Jangan tidur waktu sidang soal rakyat


Masih ingat penggalan lirik di atas? Ya, lagu berjudul Wakil Rakyat karangan penyanyi legendaris Iwan Fals ini kembali bergema. Apalagi di musim hajatan demokrasi digelar tahun ini. Wakil rakyat memang seharusnya merakyat dan menyuarakan aspirasi rakyat. Bila tidak, publik berhak bertanya. Lantas siapa yang diwakili?

 

Tentu rakyat berharap semoga lima tahun ke depan suara mereka tak disia-siakan. Setidaknya harapan itu diletakkan di pundak 45 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara yang dilantik beberapa waktu lalu. (sultra.antaranews.com, 7-10-2024)  

Politik Transaksional


Bukan rahasia lagi jika ongkos politik yang harus dibayar selama proses pemilihan punya rekam jejak yang fantastis. Sejak lama diketahui secara umum rumus yang berlaku, siapa kuat finansial dialah yang berpeluang besar terpilih.

 

Hal ini diakui sendiri oleh salah satu mantan cawapres yang gagal terpilih di pilpres lalu. Dalam suatu kesempatan ia mengungkap bahwa caleg miskin pasti masa depannya agak suram. Sebab biaya politik untuk lolos melenggang ke Senayan saja misalnya, tak kurang dari Rp40 miliar. (detiknews, 11-8-2023)

 

Maka sejak dulu pula aroma oligarki kapitalis pemilik modal masif menguar di udara. Para kandidat di level mana pun yang kesulitan biaya, tak segan menggandeng pihak penyandang dana akibat tuntutan ongkos politik yang dibutuhkan. Terjadilah yang dinamakan politik transaksional, siapa, kontribusi berapa, dan apa imbalannya jika sudah mencapai posisi yang diinginkan. Kini bahkan tak sedikit oligarki dengan modalnya sendiri terjun langsung dalam kontestasi.

 

Senada dengan hal ini, pengamat politik Rocky Gerung  juga pernah melontarkan pernyataan, bahwa dalam demokrasi acap kali calon pemimpin yang memiliki intelektualitas dinihilkan oleh pemimpin yang hanya bermodal elektabilitas tapi memiliki modal besar. Bahkan tak ragu menuding bahwa pemilik amplop tebal selalu mendahului yang otaknya tebal. (rmol.id, 3-1-2022)

Sungguh tudingan yang lugas, sesuai realitas dan tanpa basa-basi.

 

Bila demikian, akankah harapan rakyat menjadi kenyataan? Sukar dibayangkan. Sebab pada gilirannya suara rakyat seolah tak lebih dari sekadar formalitas belaka. Dampaknya pun cukup berbahaya. Antara lain bisa dirasakan lewat lahirnya berbagai kebijakan maupun perundangan yang dianggap merugikan rakyat.


Omnibus Law atau UU Cipta Kerja misalnya, dinilai memberatkan kepentingan oligarki dan asing. Bagaimana tidak, undang-undang ini disahkan justru di tengah badai penolakan publik yang turun ke jalan melakukan aksi hingga berjilid-jilid.

 

Contoh lainnya yang kini sedang banyak mendapat sorotan, yaitu UU IKN. Sama halnya dengan Omnibus Law, UU yang menetapkan pemindahan ibukota ini juga tak luput dari dugaan memihak oligarki. Terlihat dari pemberian Hak Guna Usaha (HGU) selama 190 tahun.

 

Politik transaksional dan politik balas budi pun tumbuh bak pinang dibelah dua. Keduanya membuahkan sikap maju tak gentar membela yang membayar, bukannya pantang mundur menyuarakan kepentingan rakyat.

 

Terlebih lagi tugas utama parlemen dalam bingkai demokrasi adalah membuat produk hukum yang sayangnya tak berbasis agama. Maka dapat ditemukan kebijakan yang justru menyalahi aturan agama seperti dibolehkannya minuman keras (miras) di area pariwisata sedangkan miras sudah jelas haram hukumnya.


Miris, sebab bukankah kepemimpinan dan pelayanan kebutuhan publik adalah amanah yang kelak bakal dipertanggungjawabkan?
 

Sabda Rasulullah saw., "...Seorang pemimpin adalah pemimpin bagi rakyatnya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya...”(HR. Bukhari)

Amanah yang Hakiki


Sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk negeri, sangat layak untuk merujuk pada Islam. Tentu karena Islam menjawab semua problematik kehidupan, tanpa kecuali. Dalam Islam, amanah kepemimpinan ditujukan untuk menolong agama Allah.

 

Sebagaimana doa yang diajarkan Allah Swt. pada Nabi saw., “Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (QS. Al-Isra’: 80)

 

Maka kekuasaan di level mana pun dan dalam bentuk apa pun dalam Islam sejatinya untuk menjaga penerapan syariat Islam yang kafah hingga menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia, tanpa kecuali. Begitu pula jika amanah sebagai bagian dari Majelis Umat, misalnya.

 

Majelis Umat yang merupakan representasi rakyat dalam Islam memang kerap disandingkan dengan parlemen dalam sistem demokrasi. Kenyataannya sungguh sangat bertolak belakang. Jika yang disebut terakhir berwenang membuat aturan sendiri sesukanya, Majelis Umat justru hadir menjaga seluruh perangkat negeri berjalan dalam koridor syariat yang notabene datang dari Allah Swt. melalui Rasulullah saw..

 

Caranya, dengan melakukan musyawarah dan muhasabah terhadap penguasa. Dalilnya ditetapkan berdasarkan perilaku Rasulullah saw. dan para sahabat. Terdapat beberapa sahabat tertentu yang paling sering diajak bermusyawarah di masa Rasulullah saw., utamanya dalam hal yang mubah terkait persoalan teknis. Mereka berjumlah tujuh dari kaum Anshar dan tujuh lainnya dari kaum Muhajirin.      

 

Dari Ali bin Abi Thalib ra: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Tak seorang nabi pun sebelumku kecuali diberi tujuh pemimpin (kaum), pembantu yang mulia. Aku telah diberi empat belas pembantu, pemimpin yang mulia, tujuh dari Quraisy dan tujuh dari Muhajirin.” (HR. Ahmad).



Tetapi secara luas, syariat memberikan hak bagi setiap orang untuk menyampaikan pendapat, aspirasi, koreksi dan usulan kepada negara, yang dipimpin khalifah beserta seluruh jajarannya. Mereka dapat menggunakan hak itu secara langsung, ataupun mewakilkannya kepada orang lain dengan tetap berada dalam koridor penerapan syariat kafah. Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]