Food Estate: Harapan atau Kesengsaraan?
Analisis
Pengembangan kebijakan food estate ini seakan menjadi harapan
untuk masyarakat dengan terpenuhinya pangan dalam negeri
___________________________________
Penulis Lailatul Hidayah
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Pemerintah memandang bahwa perlunya pengembangan food estate sebagai cadangan logistik atau lumbung pangan nasional untuk menjaga berlangsungnya ketahanan pangan di Indonesia.
Program dari food estate tersebut yaitu budidaya tanaman dengan luas lebih dari 25 ha pada tahun 2021, 2022, dan tahun 2023 dikembangkannya food estate ini masing-masing seluas 400 ha.
Mengutip dari (cnn.indonesia.com, 16-08-2023), food estate masuk proyek prioritas strategis mengacu pada Perpres Nomor 108 Tahun 2022 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2023.
Dalam Perpres tersebut pemerintah menganggarkan Rp235,46 miliar untuk food estate. Sejak pemerintahan Jokowi, food estate telah dilaksanakan di beberapa provinsi di antaranya yaitu Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, NTT, Papua dan Papua Selatan.
Masing-masing wilayah memiliki tanaman-tanaman tertentu yang telah ditentukan oleh pemerintah. Misalnya di Kalimantan Tengah difokuskan tanaman padi, kelapa genjah, dan peternakan bebek.
Sumatra Utara dikembangkan tanaman hortikultura terutama bawang, di Jawa Tengah difokuskan tanaman hortikultura dan seterusnya. Lantas benarkah program ini dapat dijadikan harapan untuk mewujudkan ketahanan pangan yang akan menyejahterakan rakyat atau justru menyengsarakan?
Harapan atau Justru Kesengsaraan?
Pengembangan kebijakan food estate ini seakan menjadi harapan untuk masyarakat dengan terpenuhinya pangan dalam negeri dengan program budidaya setiap wilayah dengan luas lahan yang fantastis dan dana yang tidak sedikit.
Nyatanya, program ini banyak mengalami kegagalan, bahkan justru membuat rakyat makin sengsara. Dalam berjalannya program ini telah terjadi pembukaan hutan secara besar-besaran untuk ditanami tanaman pangan seperti padi.
Akibatnya terjadi kerusakan lingkungan seperti banjir dan longsor di wilayah tersebut, karena padi bukanlah tanaman yang dapat menyerap banyak air seperti halnya tanaman-tanaman keras di hutan. Selain itu, padi yang ditanam pun tidak tumbuh.
Hal ini telah membuat bencana terjadi dan membuang tenaga, waktu, dan anggaran yang dikeluarkan. Beberapa wilayah lainnya program ini juga tidak berjalan dikarenakan tanaman yang ditentukan pemerintah tidak sesuai dengan jenis tanah dan masyarakat pun seperti dipaksa untuk menanam tanaman yang menurut warga sekitar bukanlah yang menjadi kebutuhan masyarakatnya.
Seperti contoh kasusnya di Desa Ria-Ria Sumatra Utara yang masyarakat setempat keberatan dengan ketentuan pemerintah untuk memfokuskan menanam bawang merah, yang sebelumnya petani lebih memfokuskan untuk menanam padi.
Tak cukup sampai di situ, tanah milik masyarakat di desa tersebut juga dirampas paksa, dikutip dari (bbc.com, 04-10-2024). Para perempuan adat di Desa Ria-Ria berjuang di garda terdepan untuk mempertahankan tanah milik mereka yang dirampas untuk program food estate.
Namun, mengapa pemerintah tetap ingin melanjutkan program food esate ini setelah diketahui banyaknya kegagalan yang terjadi?
Food Estate untuk Siapa?
Adanya kebijakan program food estate pada nyatanya mangkrak dan lahan-lahan hutan yang seharusnya rimbun dengan pepohonan. Akibat dari kebijakan ini hutan menjadi gundul dengan adanya pembabatan hutan skala besar.
Misalnya saja kasus di Kalimantan Tengah, proyek Indonesia Cina telah mengembangkan lahan 1 juta hektar sawah untuk ditanami padi di lahan hutan. Cina sebagai penyedia alat dan teknologi pertaniannya, sedangkan para pengusahalah yang akan melaksanakan teknis pertaniannya.
Akhirnya padi pun tidak tumbuh dan yang ada hanyalah efek lingkungan disisakan yang akan berimbas pada masyarakat setempat berupa banjir dan tanah longsor. Padahal, para petani tersebut telah berulang kali menyampaikan bahwa tanaman padi tidak cocok untuk di lahan tersebut.
Jadi, bukan sebuah rahasia lagi bahwa program ini diciptakan bukan demi kesejahteraan rakyat. Berkedok kepentingan rakyat namun sejatinya agar masih ada rakyat yang menganggap pemerintah telah berusaha bekerja dan berupaya dalam menyejahterakan rakyat dengan penyediaan lumbung pangan untuk mencukupi kebutuhannya.
Politik demokrasi kapitalisme-lah yang menjadi akar masalah dari ketidaktersediaan pangan yang cukup untuk masyarakat. Karena siapa pun pemimpinnya, tidak akan bisa lepas dari jeratan oligarki atau para pemilik modal.
Karena mereka telah membiayai kampanye para pemimpin yang akan mencalonkan diri sehingga wajar jika tidak ada penguasa atau pemimpin dalam sistem kapitalisme yang serius melayani dan bertanggung jawab untuk kepentingan rakyatnya.
Justru kebijakan dibuat hanya untuk kepentingan dan kesejahteraan oligarki atau pemilik modal tersebut. Lantas, sistem seperti apakah yang akan menjamin kesejahteraan rakyat? Dan bagaimana cara Islam menyolusi masalah ketahanan pangan bagi rakyat tanpa harus menyengsarakan rakyat?
Cara Islam Mewujudkan Kedaulatan Pangan
Sistem Islam tidak akan mendahului kepentingan oligarki di atas kepentingan rakyat. Karena pemimpin dalam Islam wajib menjadi pelayan bagi rakyat dan menjadikan kedaulatan berada di tangan syarak.
Kebijakan yang dikeluarkan haruslah sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh hukum syarak dan tidak akan pernah diputuskan berdasarkan hawa nafsu manusia yang rakus dan tamak. Aturan dari Allah adalah yang paling sempurna yang cocok untuk mengatur kehidupan manusia seluruhnya.
Tidak ada biaya politik dalam sistem Islam sehingga pemimpin dalam Islam adalah pemimpin yang bebas dari keterikatan dengan oligarki dan para pemilik modal. Hanya akan tunduk pada perintah Allah dan Rasul-Nya dalam membuat sebuah kebijakan.
Berikut mekanisme negara dengan sistem Islam dalam mewujudkan kedaulatan pangan:
1. Penyediaan lahan pertanian oleh negara. Negara akan menyediakan lahan pertanian dengan tetap menjaga agar tidak terjadi alih fungsi lahan. Negara tidak membiarkan tanah yang menganggur, karena Islam juga telah mengatur terkait hukum pertanahan. Distribusi tanah hanya untuk orang yang mampu mengelolanya dan ada larangan untuk menelantarkan tanahnya lebih dari 3 tahun.
2. Penyediaan alat-alat dan faktor produksi oleh negara. Negara wajib memiliki kemandirian dalam penyediaan alat-alat dan faktor produksi untuk menunjang kebutuhan para petani sehingga dalam mengelola lahannya dapat menggunakan alat dan tekonologi yang mumpuni bisa terjangkau oleh petani. Hasil pertanian pun akan lebih maksimal dalam pengadaan produksi.
3. Penyediaan anggaran oleh negara. Negara memiliki tempat penyimpanan harta yang disebut Baitulmal. Baitulmal memiliki sumber-sumber pemasukan di antaranya yaitu pos fai, kharaj, pos kepemilikan umum, dan pos zakat. Baitulmal inilah yang akan menunjang kebutuhan masyarakat khususnya para petani untuk menyediakan pangan yang cukup untuk kebutuhan seluruh rakyat dalam negara tersebut.
Sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh penguasa hari ini, yang menggunakan anggaran yang berasal dari pajak rakyat, bahkan merampas lahan rakyat yang diakui sebagai tanah milik pemerintah. Selain itu hasilnya nihil, bahkan yang tersisa hanyalah kerusakan lingkungan.
4. Negara wajib memperhatikan aspek lingkungan. Negara tidak akan menyerahkan pada swasta maupun asing untuk mengelola lahan dalam negara. Namun, mengelolanya sendiri atau diserahkan kepada rakyat dengan luas lahan yang ditentukan oleh negara dan diberlakukan kebijakan yang ketat terhadap amdal serta memastikan terjaganya kelestarian lingkungan.
Demikian pengaturan sistem Islam yang diterapkan dalam skala negara, yang akan menjadi harapan sebenarnya untuk rakyat, Islam akan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Terlihat dari bagaimana negara menerapkan aturan Islam yang dapat menyejahterakan semua masyarakatnya baik muslim maupun nonmuslim selama berada dalam naungannya. Serta hewan-hewan dan tumbuhan pun merasakan kerahmatan dari penerapan Islam, dengan terjaganya kelestarian lingkungan dan alamnya. Wallahualam bissawab. [SM/MKC]