Alt Title

Hancurnya Kehormatan Perempuan Akibat Demokrasi

Hancurnya Kehormatan Perempuan Akibat Demokrasi



Lepasnya tanggung jawab pemerintah itulah yang memaksa individu

terutama perempuan, harus berjuang sendiri menjaga kehormatan

_________________________


Penulis Daun Sore

Kontributor Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Bukan lagi menjadi kasus yang viral, kasus kekerasan terhadap perempuan sudah menjadi kasus statis yang tengah melanda masyarakat khususnya kaum muslim sebagai penduduk mayoritas Indonesia.


Kasus ini bukan lagi terjadi beberapa kali, namun sudah menjadi kriminalitas yang berulang setiap tahunnya bahkan hampir setiap bulan. Banyak korban perempuan yang berjatuhan tanpa penanganan yang efektif.


Bahkan dalam pemantauan Komnas Perempuan, kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama dan berasrama tergolong tinggi dibandingkan lembaga pendidikan secara umum.


Pondok pesantren saat ini sudah dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat normal. Ponpes yang benar-benar menjalankan nilai-nilai Islam pun seolah tertutupi akibat potret kerusakan yang terus melanda di lembaga pendidikan yang katanya berbasis agama dan keimanan tersebut.


Selain di pondok pesantren yang katanya berasas agama Islam, tak dimungkiri kasus kekerasan pada perempuan ini sungguh meledak di kalangan masyarakat umum, baik di tingkat pendidikan maupun kelompok pekerja.


Dilansir dari Kompas.com pada Senin, 07 Oktober 2024, kekerasan fisik dan seksual pada perempuan berusia 15-64 tahun lebih tinggi di kalangan mereka yang berpendidikan sekolah menengah atas (SMA) ke atas dibandingkan dengan yang berpendidikan sekolah menengah pertama (SMP) ke bawah.


Dapat diambil contoh pada kasus yang tengah viral mengenai penganiayaan dan pemerkosaan remaja penjual gorengan yang berusia 18 tahun. Diliput oleh detik.com dari detiksumut pada Rabu, 11 September 2024, NKS (inisial korban) ditemukan tewas terkubur dalam kondisi tangan terikat dan tanpa busana pada Minggu petang. Kuat dugaan, remaja perempuan yang sehari-hari menjual gorengan keliling kampung itu menjadi korban pembunuhan dan pemerkosaan.

 

Tak hanya itu, dikutip dari Kompas.com (Senin, 07 Oktober 2024), prevalensi kekerasan fisik juga lebih banyak terjadi di kalangan perempuan yang bekerja dibandingkan dengan yang tidak bekerja.


Pada 2024, kekerasan terhadap perempuan dari pasangan maupun bukan pasangan mencapai 25,6 persen di kelompok pekerja, sedangkan di kelompok tidak bekerja sebesar 22,7 persen. Kekerasan yang terjadi sangat kompleks, mulai dari kasus penghinaan, penganiayaan, sampai pada pelecehan seksual.


Ketidakpahaman Hakikat Hidup


Kasus yang seolah terstruktur dan hukuman yang tidak setimpal bagi para pelaku ini dipastikan tidak akan pernah bisa dihentikan. Para pelaku tidak akan pernah merasakan efek jera akibat hukuman yang sangat lemah jika bertatapan dengan uang dan harta.


Seolah merendahkan harga diri korban bahwa tindak kejahatan yang dialami dapat mudah ditutupi dan dibersihkan dengan seonggok materi dunia.


Belum lagi kontribusi pemimpin dan kelompok rezim yang hanya mengandalkan mulut tanpa sebuah aksi perjuangan yang nyata. Calon pemimpin yang hanya mengandalkan suap demi mendapat suara rakyat. Program yang dibuat hanya dipuja di awal, pun tampak diciptakan tanpa akal dan solusi yang bersifat takzir atau memberi efek jera. 


Mengenai kasus kekerasan pada perempuan, calon presiden RI, Prabowo Subianto dan wakil presiden Gibran Rakabuming Raka, membuat program yang berkaitan bahwa salah satu cara yang menjadi konsen calon tersebut yakni pembangunan kesejahteraan keluarga.


Agar tidak lagi bermunculan masalah tersebut, mereka menekankan langkah preventif dengan membangun kesejahteraan ekonomi keluarga, dengan lapangan pekerjaan makin dibuka luas. (surakarta.suara.com, 15 Desember 2023)


Tidakkah para calon pemimpin itu berpikir dengan normal? Tindak kriminalitas ini terjadi mengakar subur dari bibit kapitalisme demokrasi. Sistem yang sudah salah di awal, apa pun aturan baru yang dibuat akan tetap berujung pada kesalahan fatal.


Coba bayangkan, jika lapangan pekerjaan dibuka lebar, baik laki-laki maupun perempuan diberikan hak bekerja, apakah tidak menimbulkan masalah baru semisal dalam hubungan rumah tangga. Mulai dari perasaan narsistik antarpasangan sampai KDRT akibat tidak adanya sosok di dalam rumah untuk mengurus anak. 


Berselimut pancasila sebagai ideologi negara namun tidak dijadikan acuan dalam hukum, semua hanya dijadikan pajangan yang fungsi utamanya sebagai estetika, bukan dasar negara. Lantas untuk apa?


Permasalahan terstruktur ini tentu memiliki banyak peran, baik dari rakyat maupun yang katanya pemimpin rakyat. Rakyat yang muslim bahkan belum mengetahui hakikat hidupnya di dunia untuk apa.


Sebagian yang sudah paham dan berusaha taat akan agamanya, terus diterjang kemaksiatan di manapun mereka berada. Di dalam juga di luar rumah karena tidak ada peran kontrol bagi masyarakat.


Lepasnya tanggung jawab pemerintah itulah yang memaksa individu terutama perempuan, harus berjuang sendiri menjaga kehormatan yang nyaris hilang di zaman ini.


Sistem yang Tidak Pernah Memberikan Solusi


Sistem yang dibentuk atas dasar kebuasan nafsu manusia tidak akan pernah menghadirkan solusi atas seluruh permasalahan di berbagai bidang. Di awal terlihat menjanjikan, namun di akhir hanyalah kehancuran tak terbendung yang makin menyesatkan.


Bertumpah ruah korban di dalam negeri akibat sistem yang tidak menjamin perlindungan nyata. Entah itu masyarakat yang benar-benar korban atau mengorbankan diri demi materi dunia.


Manusia akan sulit menemukan jalan keluar atas masalahnya dikarenakan hilang peran pemimpin yang dapat menaungi dan memikirkan penuh umatnya.


Yang ada hanya pemimpin kotor bertopeng visi misi menarik, ketika sudah terpilih mereka akan dengan senang hati membuka topeng dan menunjukkan sifat asli. Layaknya pencuri dengan taktik manisnya yang siap menghunus kala korban berhasil direnggut.


Upaya yang Bisa Dilakukan 


Roda kehidupan itu berputar, ada masanya manusia naik ada masanya ia terpuruk. Roda kehidupan umat sungguh terpuruk di bawah penjajahan Barat.


Jika roda pernah di atas, tentu sudah ada sistem yang membuat roda itu mampu di atas, dan realitasnya sistem Islamlah yang pernah memimpin dunia sehingga bagian roda pernah ada di atas dalam kurun waktu yang lama. Roda kembali turun saat sistem Barat mengambil alih dan menghancurkan seluruh kehidupan dengan kebengisan di atas kebengisan.


Sudah lama roda dunia ini ada di bawah, saatnya umat bersatu memutar roda itu agar kembali naik dan berjaya. Satu-satunya yang mampu memutar kehidupan umat hanyalah sistem Islam. Penerapan sistem Islam secara menyeluruh akan menyelamatkan kehidupan manusia, bukanlah sistem demokrasi. 


Allah yang menciptakan manusia, tentu Allah tahu hukum dan peraturan yang terbaik untuk manusia itu apa. Bukan dibuat oleh manusia yang memiliki akal terbatas dan hanya berpusat pada pemuasan hawa nafsu saja.


Islam yang merupakan sistem sahih, akan mampu menjaga kehormatan perempuan dengan segenap jiwa. Seperti yang terjadi pada kekhalifahan Umar di mana Bani Qainuqa melecehkan perempuan secara verbal di pasar, pada saat yang bersamaan Umar bin Khattab langsung membawa pasukan menuju lokasi dan menghukum Bani Qainuqa tersebut. 


Apalagi hal yang berbau penganiayaan dan pelecehan fisik. Sistem sanksi yang tegas dalam Islam akan memberikan efek jera kepada pelaku bahkan mampu mencegah agar tidak ada lagi orang-orang yang berbuat serupa. 


Sampai di sini, apakah yakin masih akan mempertahankan sistem kufur buatan nafsu manusia yaitu kapitalisme demokrasi ini? Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]