Karut marut Pilkada di Sistem Demokrasi
Surat PembacaMasih banyak lagi kecurangan yang terjadi saat pilkada
Demi kepentingan pribadi dan golongan, rakyat dipermainkan dan dirugikan
_________________________
KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Dalam demokrasi, pemilu adalah peristiwa penting yang menjadi momentum rakyat dalam menentukan nasibnya selama lima tahun mendatang.
Pemilu pun dianggap sebagai pesta rakyat, seolah-olah rakyat bebas dari belenggu kehidupan. Namun, faktanya pemilu sering kali dikotori dengan perbuatan curang para calon pemimpin. Mereka yang ingin terpilih memiliki segala cara untuk memenangkan pemilihan, meskipun cara yang ditempuh tidak baik, bahkan melanggar ketetapan undang-undang pemilu.
Memang sangat disayangkan sebutan pesta rakyat, namun arti dan kenyataannya sangatlah berbeda. Sejatinya rakyat sangat berharap pada para pemimpin namun lagi-lagi hanya disuguhkan dengan iming-iming serta janji-janji manis yang datang pada saat pemilihan.
Ketika pemilihan usai semua janji manis itu ikut pergi. Rakyat hanya bisa merasakan pil pahit kenyataan, melihat satu per satu pemimpin yang terpilih melalaikan janji bahkan melakukan penyelewengan yang merugikan rakyat.
Penyelewengan di Sistem Demokrasi
Dilansir (tirto.id, 26-10-2024), Pilkada Jawa Tengah 2024 dikatakan ternodai akibat dugaan mobilisasi Kepala Desa (Kades) untuk memenangkan salah satu kandidat.
Nur Hidayat Sardini, seorang Pakar Politik Universitas Diponegoro (Undip) mengatakan bahwa mobilisasi sangat mungkin dilakukan oleh mereka yang ingin mendapat suara sebanyak-banyaknya dengan segala cara. (tirto.id, 26-10-2024)
Padahal aturan yang ditetapkan adalah ASN harus netral atau tidak memihak pada salah satu calon. Namun, justru mobilisasi ASN adalah salah satu jalan yang banyak dipakai.
Dari sumber REPUBLIKA.CO.ID, Minggu 27 Oktober 2024, KH. Zainut Tauhid Sa'adi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), menyampaikan bahwa sangat berlebihan dan melampaui batas kepatutan ketika seorang paslon berkampanye dengan menjanjikan masuk surga kepada para calon pemilihnya.
Tidak hanya itu, saat pilkada sangat rawan adanya politik uang. Rakyat disogok dengan sejumlah uang untuk mendapatkan suaranya. Kebutuhan uang ini tidaklah sedikit, anggaran pemilu tahun 2024 ditaksir mencapai Rp41 Triliun.
Anggaran ini telah disepakati pemerintah daerah bersama KPU, Bawaslu, TNI dan kepolisian setempat yang diikat dalam naskah perjanjian hibah. Tentu saja semua anggaran itu berasal dari uang rakyat yang diambil dari pajak dan lainnya.
Masih banyak lagi kecurangan yang terjadi saat pilkada. Demi kepentingan pribadi dan golongan, rakyat dipermainkan dan dirugikan. Tak ayal sering kali terjadi konflik horizontal, menyebabkan perpecahan hingga perkelahian.
Pemilihan dalam Islam
Berbeda dengan sistem demokrasi yang ribet dalam memilih pemimpinnya, Islam memiliki mekanisme yang praktis dan hemat biaya. Berawal dari pengangkatan khalifah oleh kaum muslimin atau oleh ahlul hali wal aqdi (perwakilan umat). Pemilihan bisa berasal calon-calon yang ditinggalkan khalifah terdahulu atau dari calon yang diajukan.
Selanjutnya khalifah yang terpilih akan mengangkat para pembantunya atau wakilnya secara langsung. Ada dua pembantu yang biasa diangkat khalifah yaitu mu’awin tanfidzi dan mu’awin tafwidhi. Mu’awin tanfidzi bertugas dalam bidang administrasi dan hanya boleh menjalankan tugas sesuai perintah khalifah, sedangkan mu’awin tafwidhi bertugas dalam bidang pemerintahan. Selain itu juga memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat, kecuali perwakilan yang dipilih oleh khalifah.
Para mu’awin membantu khalifah dalam semua perkara yang diurus negara. Tidak hanya mengurus satu bidang saja, tapi semua urusan. Berbeda dengan sistem demokrasi yang memiliki banyak menteri dan harus mengeluarkan anggaran yang besar.
Khalifah juga yang mengangkat para wali (Al wulat) pejabat setingkat gubernur. Mereka diangkat untuk membantu khalifah dalam memerintah dan mengurus suatu daerah atau negeri.
Wali dipilih oleh khalifah memiliki akad tertentu antara keduanya. Syarat menjadi wali sama dengan syarat bagi khalifah dan para pembantunya yaitu muslim, laki-laki, balig, berakal, merdeka, adil dan mampu.
Seorang wali akan bertanggung jawab di depan khalifah dan majelis syura, bertanggung jawab atas wilayah yang terbagi menjadi beberapa imalah (setingkat daerah).
Menjaga Keimanan dan Mencapai Rida Allah Swt.
Demikianlah pembentukan dan pemilihan pemimpin dalam Islam, yang sederhana namun penuh tanggung jawab dan amanah, karena keimanan yang mereka miliki. Tidak memerlukan biaya yang besar apalagi harus menyusahkan rakyat.
Mereka sadar semua beban tanggung jawab itu tidak mudah. Apalagi mengurusi urusan rakyat, yang tentunya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. di hari akhir nanti.
Oleh karena itu, tidak ada kecurangan ataupun intrik-intrik di dalamnya. Rasulullah saw. bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Pemimpin adalah pelayan umat, oleh karena itu wajib bagi pemimpin berusaha sekuat tenaga menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Dengan dorongan keimanan yang kuat akan membawanya pada sifat amanah dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin. Proses pemilihannya pun benar sehingga dalam menjalankan tugasnya pun benar.
Semuanya akan berpengaruh pada kemakmuran rakyat dan dapat meraih rida Allah Swt. Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]
Nurul Bariyah