Menggugat Tanggung Jawab Negara dalam Menjamin Keamanan Obat dan Pangan
OpiniTanggung jawab negara
dalam mengurusi rakyat patut dipertanyakan
_____________________________
Penulis Fatimah Al Fihri
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Apoteker Alumni UGM
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Sejumlah wilayah di Indonesia tengah digegerkan oleh kasus Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan (KLBKP) akibat konsumsi jajanan la tiao asal Cina.
Beberapa daerah yang melaporkan adanya keracunan massal yaitu Lampung, Sukabumi, Wonosobo, Tangerang Selatan, Bandung Barat dan Pamekasan. Adapun korban keracunan mayoritas anak-anak yang duduk di bangku sekolah dasar (SD). (cnbcindonesia.com, 02-11-2024)
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merespons kejadian ini dengan melakukan penarikan terhadap 73 produk la tiao yang terdaftar di BPOM hingga dipastikan aman beredar.
Kepala BPOM Taruna Ikrar mengatakan hasil uji laboratorium dari produk la tiao ditemukan adanya indikasi kontaminasi bakteri Bacillus cereus. Bakteri ini dapat menghasilkan senyawa yang bersifat racun untuk tubuh. Gejala keracunan yang dialami dapat berupa sakit perut, pusing, mual dan muntah. (kompas.com, 02-11-2024)
Potret Buram Keamanan Pangan
Sebelum kasus keracunan la tiao ini menyeruak, Indonesia pernah mengalami kasus keracunan yang serupa yakni keracunan obat sirup pada anak-anak. Kasus ini terjadi pada tahun 2022, diawali dengan munculnya lonjakan kasus Gagal Ginjal Akut (GGA) yang dialami oleh anak pada bulan Agustus hingga Oktober.
Kasus ini diduga kuat disebabkan oleh tingginya cemaran zat kimia berbahaya yaitu Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) pada pelarut obat sirup yang beredar. Cemaran ini diduga muncul karena penggunaan pelarut Propilen Glikol (PG) dan Poli Etilen Glikol (PEG) melebihi ambang batas aman.
Etilen Glikol dan Dietilen Glikol adalah senyawa yang berbahaya jika dikonsumsi oleh tubuh. Karakteristiknya yang manis, menjadikan EG dan DEG kerap disalahgunakan sebagai bahan pelarut obat.
Etilen Glikol apabila masuk ke tubuh akan mengalami proses metabolisme oleh enzim kemudian menghasilkan asam glikolat dan asam oksalat. Asam oksalat yang membentuk kristal inilah yang mengakibatkan kerusakan pada ginjal.
Sampai dengan tanggal 5 Februari 2023, kasus gagal ginjal anak telah mencapai angka 326 kasus yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Sebanyak 204 anak dilaporkan meninggal dunia, sedangkan sisanya telah sembuh dan 6 orang masih menjalani perawatan.
Meskipun sebelumnya telah ditetapkan tersangka atas kasus ini yaitu PT Afi Farma, PT Tirta Buana Kemindo, PT Fari Jaya, CV Anugrah Perdana Gemilang, dan CV Samudera Chemical. Dengan adanya penambahan dua kasus baru pada tahun 2023 ini menimbulkan pertanyaan besar, “Apakah obat-obatan sirup yang telah terverifikasi aman menurut BPOM itu benar-benar aman?’’
Kala itu BPOM dan jajaran kementerian lainnya (kementerian kesehatan dan kementerian perdagangan) bersikap defensif seolah-olah tidak mau disalahkan. Hal ini juga diungkapkan oleh anggota komisi VI DPR Andre Rosiade dalam rapat dengar pendapat di BKN (03-11-2022). Ia menuturkan bahwa kepala BPOM Penny Lukito seolah-olah melempar tanggung jawab dengan menyalahkan kemendag.
BPOM berdalih pihaknya tidak dapat melakukan pengawasan terhadap produk pelarut PG dan PEG yang diimpor oleh industri farmasi karena kedua produk tersebut masuk ke Indonesia tanpa melalui Surat Keterangan Impor (SKI) yang dikeluarkan oleh BPOM.
Dalam arti lain, kedua produk tersebut tidak tergolong kategori pharmaceutical grade yang memiliki tingkat kemurnian tinggi. BPOM menegaskan PG dan PEG tidak masuk ke Indonesia melalui SKI melainkan melalui kemendag karena tergolong non pharmaceutical grade (produk non farmasi).
Di sisi lain, kemendag berdalih obat impor yang masuk ke Indonesia sudah merupakan rekomendasi dari kemenkes. Kemendag tidak dapat mengeluarkan izin impor jika belum ada rekomendasi dari kemenkes.
Adapun terkait impor bahan baku PG dan PEG, komoditas tersebut tidak termasuk ke dalam komoditas larangan terbatas (lartas) sehingga kemendag tidak mengatur importasi komoditas tersebut.
Pada akhirnya, meskipun telah ditetapkan tersangka atas kasus ini, publik bisa menilai sikap para lembaga negara ini sangat tidak pantas dipertontonkan. Kasus ini telah merenggut ratusan nyawa anak-anak tetapi lembaga negara alih-alih menampilkan sikap tanggung jawabnya, justru mengedepankan sikap saling tuduh dan menyalahkan.
Padahal keamanan obat dan pangan sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara karena menyangkut hajat hidup seluruh warga negara. Sayangnya, harapan tersebut masih sangat jauh karena kasus serupa kembali terulang dengan maraknya keracunan produk la tiao asal Cina.
Harus seberapa banyak korban berjatuhan agar negara benar-benar serius menjamin keamanan pangan warga negaranya?
Tanggung Jawab Negara
Dengan adanya kasus KLB keracunan pangan untuk kedua kalinya, hal ini membuktikan bahwa negara tidak melakukan introspeksi atas kejadian sebelumnya.
Negara seharusnya menjalankan fungsi pengawasan pangan dengan sebaik-baiknya terutama untuk bahan pangan impor. Misalnya dengan melakukan uji kelayakan secara menyeluruh sehingga dapat dipastikan aman sebelum beredar ke masyarakat. Jika negara tidak menjalankan fungsi pengawasan ini dengan baik dan benar, maka tanggung jawab negara dalam mengurusi rakyat patut dipertanyakan.
Inilah bukti ketika negara dalam sistem sekularisme hanya berperan sebagai regulator, bukan pengurus rakyat. Paham sekuler yang diadopsi oleh negara telah memisahkan agama dari kehidupan bernegara sehingga negara hanya berperan mengawasi saja, tidak benar-benar turun tangan mengatasi problematik rakyatnya.
Acapkali negara berlepas tangan terhadap kepengurusan rakyat ini. Dalam kasus gagal ginjal anak, lembaga negara saling tuduh dan lempar tanggung jawab.
Penjatuhan sanksi hanya dibebankan kepada pelaku usaha atau perusahaan farmasi saja. Sementara pejabat negara tidak turut bertanggung jawab atas kelalaian mereka dalam meloloskan produk obat impor.
Hal yang sama terjadi dalam kasus keracunan la tiao. Alih-alih berbenah untuk melakukan uji kelayakan produk pangan impor, negara justru ‘kecolongan’ untuk kedua kalinya.
Polanya selalu sama yaitu ada kejadian dulu atau ada korban dulu barulah dilakukan pengujian kelayakan. Setelah itu barulah dilakukan pencabutan izin edar. Jika pola seperti ini terus diulang-ulang, rakyatlah pihak yang paling dirugikan. Seharusnya negara menjalankan peran preventif, selain peran kuratif.
Sistem Islam Mengurus Umat
Dalam Islam, negara berkewajiban melakukan kepengurusan rakyatnya termasuk menjamin keamanan obat dan pangan yang dikonsumsi oleh rakyatnya.
Negara Islam akan menetapkan kebijakan keamanan pangan dengan mekanisme berikut:
Pertama, mengeluarkan kebijakan yang mengatur regulasi industri makanan, minuman, dan obat-obatan agar memenuhi standar halal dan tayyib (baik) serta aman. Termasuk di dalamnya pengaturan terkait uji kelayakan bahan baku impor, uji cemaran toksin dan mikroba, dan standar proses pembuatan pangan yang baik.
Kedua, melakukan pengawasan secara detail terhadap produk pangan dan obat-obatan baik sebelum beredar di masyarakat maupun setelah beredar di masyarakat. Sebelum beredar, harus dipastikan produk pangan dan obat-obatan lolos uji kelayakan. Setelah beredar, harus dipastikan tidak ada oknum-oknum nakal yang mengoplos produk dengan menambahkan senyawa kimia berbahaya.
Ketiga, melakukan edukasi secara berkala melalui fasilitas layanan kesehatan, media sosial, dan penyebaran pamflet/leaflet. Informasi mengenai pangan dan obat-obatan yang halal dan tayyib harus dipastikan sampai ke seluruh lapisan masyarakat.
Keempat, menjatuhkan sanksi yang tegas kepada pelaku yang menyalahi aturan tanpa pandang bulu. Hukum harus ditegakkan secara adil, tidak boleh tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Pejabat negara apabila terbukti bersalah maka akan dihukum sesuai aturan yang berlaku.
Demikian cara Islam menyelesaikan permasalahan KLBKP. Islam mewajibkan negara hadir sebagai pelayan rakyat, tidak hanya sebagai regulator. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]