Ekonomi Islam Mampu Mengentaskan Kemiskinan
Analisis
Sistem ekonomi Islam menawarkan solusi menyeluruh
untuk mengatasi kemiskinan
______________________________
Penulis Aning Juningsih
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Muslimah
KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Pada sesi pertama KTT G20 di Brasil, 18 November 2024, Presiden Prabowo Subianto mengapresiasi Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva atas fokus KTT pada isu kemiskinan dan kelaparan.
Prabowo menekankan bahwa masalah ini menjadi tantangan nyata di Indonesia, negara dengan populasi terbesar keempat di dunia.
Sebagai prioritas nasional, Prabowo optimis Indonesia dapat berkontribusi dalam Aliansi Global Melawan Kemiskinan dan Kelaparan. Ia menargetkan pencapaian swasembada pangan dalam tiga tahun dan swasembada energi dalam empat tahun ke depan.
Saat ini, sekitar 733 juta orang masih kekurangan gizi meski dunia memproduksi hampir enam miliar ton makanan per tahun. Ketimpangan sosial yang besar menjadi perhatian utama dalam rangkaian KTT G20, sejalan dengan seruan Brasil melalui Aliansi Global untuk mengatasi kelaparan dan kemiskinan. (tempo.co, 19-11-2024)
Target Pengentasan Kemiskinan
Pada 2026, Presiden RI Prabowo Subianto menargetkan kemiskinan ekstrem di Indonesia turun menjadi 0 persen dengan angka kemiskinan keseluruhan ditargetkan mencapai 5 persen pada 2029, dari 9,03 persen tahun ini. Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin), Budiman Sudjatmiko, menyebutkan kemiskinan ekstrem saat ini berada di angka 0,8 persen.
Namun, tantangan besar muncul dari sektor pertanian, yang menjadi penyumbang terbesar kemiskinan ekstrem, menurut Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti. Sebanyak 47,94 persen penduduk miskin ekstrem bekerja di sektor ini, dengan sebagian besar tidak menerima upah atau hanya bekerja sebagai buruh tidak tetap.
Meski sektor pertanian masih menjadi penyerap tenaga kerja terbesar, hal ini tidak mencerminkan insentif yang tinggi, melainkan kesulitan sektor lain dalam menciptakan lapangan kerja. Ironisnya, kebijakan yang seharusnya mendukung pertanian, seperti subsidi saprotan, justru dikurangi, sementara impor dibuka lebar dengan kebijakan pajak nol persen. Ketimpangan ini mengancam produktivitas pertanian, mengingat para petani kerap terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan kelaparan, yang memengaruhi semangat serta kemampuan mereka untuk bekerja lebih optimal.
Lebih jauh, Budiman mengakui adanya tantangan lain berupa penduduk miskin dan miskin ekstrem yang belum terdata. Karena mereka hidup berpindah-pindah tanpa tempat tinggal tetap. Hal ini menunjukkan kemungkinan bahwa angka sebenarnya jauh lebih tinggi daripada yang tercatat resmi, memperumit upaya pengentasan kemiskinan dan kelaparan yang bergantung pada swasembada pangan sebagai strategi utamanya.
Kapitalisme Mustahil Mengentaskan Kemiskinan
Wacana pemerintah terkait pengentasan kemiskinan serta swasembada pangan dan energi patut diragukan keberhasilannya karena sistem kapitalis masih menjadi dasar pengelolaan ekonomi dan pemerintahan. Ada lima alasan utama yang membuat sistem ini tidak mampu secara efektif mengentaskan kemiskinan.
Pertama, sistem kapitalis menjadikan negara hanya sebagai pengatur regulasi tanpa peran signifikan dalam memenuhi kebutuhan rakyat. Hubungan antara pemerintah dan rakyat lebih mirip interaksi dagang, di mana rakyat membayar pajak untuk kebutuhan yang dijual negara. Mekanisme ini tidak menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar seluruh rakyat, mengingat tidak semua orang mampu membeli barang atau layanan yang diperlukan.
Kedua, kapitalisme menciptakan korporatokrasi, di mana keputusan negara didominasi oleh pemilik modal. Regulasi yang ada lebih menguntungkan korporasi ketimbang rakyat kecil. Contohnya adalah Undang-Undang Cipta Kerja, yang meski ditolak masyarakat luas, tetap disahkan demi keuntungan investor. Formulasi upah buruh dalam undang-undang ini bahkan menekan upah tenaga kerja, memperburuk kesejahteraan mereka.
Ketiga, pembangunan dalam sistem kapitalis bertumpu pada investasi. Pemerintah kerap beralasan bahwa upah buruh harus ditekan untuk menarik investor. Namun, investasi yang terus dikejar tidak signifikan dalam menciptakan lapangan kerja.
Bahkan kerusakan lingkungan akibat pembangunan infrastruktur lebih besar daripada manfaat lapangan kerja yang dihasilkan. Selain itu, tingginya angka PHK memaksa banyak tenaga kerja formal beralih ke sektor nonformal seperti pertanian dan perdagangan, yang menyerap tenaga kerja lebih banyak, tetapi tidak menjamin kesejahteraan.
Keempat, liberalisasi sumber daya alam (SDA) dalam sistem kapitalisme menyebabkan kekayaan alam, yang seharusnya dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat, justru jatuh ke tangan asing atau swasta. Tambang, gas, minyak, hingga potensi kelautan dikuasai oleh segelintir pemodal sehingga keuntungan tidak dinikmati oleh masyarakat luas. Kondisi ini memperburuk kemiskinan sekaligus menghambat upaya swasembada energi dan pangan.
Kelima, kapitalisme memungkinkan kapitalisasi sektor pertanian dari hulu ke hilir. Swasta menguasai saprotan (sarana produksi pertanian) seperti pupuk, benih, dan alat pertanian, sementara kebijakan pemerintah tidak berpihak pada petani. Alih fungsi lahan dan pengurangan subsidi saprotan menjadi penyebab utama kemiskinan di kalangan petani.
Selama kapitalisme tetap menjadi sistem yang mengendalikan dunia, pengentasan kemiskinan tidak hanya sulit dicapai di Indonesia tetapi juga secara global. Negara-negara kapitalis yang kaya justru menjadi pencipta ketimpangan, mengakumulasi keuntungan tanpa memikirkan dampaknya terhadap masyarakat miskin di dunia. Untuk benar-benar mengatasi masalah ini, diperlukan perubahan mendasar dalam sistem yang mendasari pengelolaan ekonomi dan pemerintahan.
G20:Kepentingan Negara-negara Supermakmur
Di sisi lain, kita juga tidak bisa berharap pada aliansi global yang lahir dari KTT G20. Karena, akar sejarah terbentuknya G20 sendiri tidak bisa lepas dari kepentingan negara-negara supermakmur sebab G20 terbentuk dalam G7 (AS, Inggris, Italia, Jepang, Kanada, Prancis, Jerman) sehingga kendali utama G20 tentu saja ada pada mereka. Tidak hanya itu, negara-negara lain yang bergabung dalam G20 hanya dijadikan sapi perah bagi hegemoni ekonomi negara maju.
Menurut Pakar Ekonomi Islam Arim Nasim mengatakan setidaknya ada tiga tujuan inti didirikannya G20. Pertama, supaya negara-negara maju dapat menginvestasikan uang mereka dinegara berkembang dengan cara mengeksploitasi SDA nya. Kedua, negara-negara maju bisa mendapatkan pasar besar bagi Produk-produk mereka dinegara berkembang. Ketiga, negara-negara maju mendapatkan buruh yang murah.
Lihat saja buktinya, sejak Indonesia bergabung dalam G20 pada tahun 1999, perekonomian Indonesia makin terpuruk, kelaparan, kemiskinan, gizi buruk, sampai konflik sosial juga makin parah.
Dengan demikian, dunia jangan berharap pada negara-negara maju karena mereka sama sekali tidak menghendaki kedamaian untuk umat manusia. Saat ini, perang yang terjadi di Ukraina dan genosida di Gaza Palestina bahkan tidak bisa dilepaskan dari kepentingan negara-negara supermakmur yang rakus sampai bisa melakukan segala cara untuk mempertahankan hegemoninya.
Ekonomi dalam Sistem Islam
Sistem ekonomi Islam menawarkan solusi menyeluruh untuk mengatasi kemiskinan, berbeda dengan kapitalisme yang dinilai gagal menciptakan kesejahteraan dan keadilan. Berikut adalah inti dari mekanisme yang ditawarkan:
1. Negara sebagai Pelayan Rakyat
Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan primer setiap individu, yaitu pangan, sandang, dan papan, melalui pendekatan:
- Mewajibkan kepala keluarga bekerja.
- Kerabat membantu jika ada anggota yang tidak mampu bekerja.
- Negara membantu jika kerabat tidak mampu.
- Mengandalkan kontribusi umat melalui dharibah atau sedekah jika kas negara kosong.
2. Regulasi Kepemilikan
Kepemilikan dibagi menjadi individu, umum, dan negara. Sumber daya alam (SDA) harus dikelola negara demi kepentingan publik, bukan swasta. Larangan riba memastikan distribusi kekayaan yang adil sehingga harta tidak hanya dikuasai oleh segelintir orang.
3. Sistem Keuangan yang Stabil
Baitulmal (lembaga keuangan negara) menjadi pengelola utama keuangan negara dengan pemasukan dari fai, kharaj, dan kepemilikan umum, tanpa bergantung pada pajak atau utang luar negeri. Pengeluaran disesuaikan dengan kebutuhan prioritas rakyat, bukan keuntungan pemilik modal.
4. Lapangan Kerja dan Upah Layak
Dengan SDA yang dikelola mandiri dan kebijakan yang independen, negara Islam mampu menciptakan banyak lapangan pekerjaan dengan upah layak sehingga buruh dan petani dapat hidup sejahtera.
5. Pendidikan Berkualitas
Pendidikan adalah kebutuhan dasar yang wajib disediakan oleh negara. Sistem pendidikan Islam berfokus pada pengembangan kualitas sumber daya manusia berbasis akidah, didukung oleh pendanaan dari Baitulmal.
Sistem ekonomi Islam dianggap lebih adil dan membawa keberkahan karena negara aktif melayani rakyat. Sebaliknya, kapitalisme dinilai memperburuk kemiskinan dan ketimpangan.
Oleh karena itu, umat disarankan untuk meninggalkan kapitalisme dan beralih ke sistem Islam agar kesejahteraan dan keberkahan dapat terwujud. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]