Alt Title

Guru Sejahtera Hanya dengan Kenaikan Tunjangan, Benarkah?

Guru Sejahtera Hanya dengan Kenaikan Tunjangan, Benarkah?

 



Jika kita perhatikan, kebijakan perihal kenaikan tunjangan guru ini bisa dikatakan mendadak 

dan tak sebanding dengan pemberlakuan PPN 12% pada Januari 2025


____________________


Penulis Tuti Sugiyatun,S.Pd.I

Kontributor Media Kuntum Cahaya

        

KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Pemerintahan yang baru telah mengumumkan bahwa akan ada kenaikan tunjangan bagi guru non-ASN yang sudah sertifikasi. Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Heru Purnomo, memberikan penjelasan usai Presiden Prabowo Subianto mengumumkan kenaikan gaji guru.


Presiden mengatakan bahwa guru berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) akan mendapatkan tambahan penghasilan sebesar satu kali gaji pokok. Sementara bagi guru non-ASN tunjangan profesinya akan meningkat menjadi Rp2 juta per bulan. Hal tersebut disampaikan dalam acara perayaan puncak Hari Guru Nasional di Velodrome, Jakarta Timur, Kamis, 28 November 2024. (Tempo.com, 28-11-2024)


Kenaikan Tunjangan Bersyarat

         

Pengumuman ini sontak membuat senyum bahagia para guru baik ASN maupun non-ASN. Ini merupakan angin segar bagi para guru yang menganggap salah satu kebijakan memihak pada nasib guru.


Hal ini diberikan sebagai “kado manis” bagi para guru pada peringatan Hari Guru Nasional 25 November lalu. Presiden menegaskan kebijakan ini adalah bagian dari langkah nyata pemerintah memberikan penghargaan yang layak kepada guru atas kontribusi mereka dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

Lalu dengan kenaikan tunjangan ini, apakah guru akan lebih sejahtera? Karena besaran tunjangan hanya sebatas nominal yang sangat minim. Misalnya untuk guru ASN, kenaikan tunjangannya senilai satu bulan gaji dan guru non-ASN kenaikan tunjangan sebesar Rp500.000 per bulannya, yang mana sebelumnya Rp1.500.000 menjadi Rp2.000.000 per bulan.


Bagi  guru ASN mungkin sudah menjadi kebijakan setiap tahunnya ada kenaikan. Selain itu, tidak dibebani dengan persyaratan-persyaratan lain karena itu sudah masuk kebijakan dari pemerintah. Akan tetapi, bagi guru non-ASN untuk mendapatkan tunjangan itu harus melalui tahapan yang panjang seperti harus sudah lulus PPG (sertifikasi), memiliki 24 jam mengajar (jam tatap muka dengan peserta didik).


Adapun durasi satu jam mengajar adalah sekitar 35-45 menit disesuaikan dengan jenjang pendidikan peserta didik. Pada realitasnya, banyak guru non-ASN yang telah lulus PPG, namun tidak mendapatkan gaji sebesar itu karena jam mengajarnya masih kurang dari 24 jam.

         

Tidak hanya itu, meski pemerintah akan melaksanakan program PPG bagi 806.486 guru ASN dan non-ASN pada 2025 nanti, namun ada syarat yang harus dipenuhi. Mereka harus memenuhi kualifikasi pendidikan Diploma IV (D4) atau Sarjana (S1). Artinya, para guru non-ASN yang tingkat pendidikannya masih di bawah D4 atau S1 tidak akan bisa mendapatkan kenaikan tunjangan.


Sedangkan untuk menempuh pendidikan diploma atau sarjana menjadi guru, rakyat harus berupaya sendiri. Dengan demikian, kenaikan tunjangan guru tersebut tidak benar-benar berbuah kesejahteraan bagi mereka, malah menambah kesedihan bagi guru non-ASN yang belum memenuhi persyaratan tersebut.

        

Jika kita perhatikan, kebijakan perihal kenaikan tunjangan guru ini bisa dikatakan mendadak dan tak sebanding dengan pemberlakuan PPN 12% pada Januari 2025. Belum lagi adanya inflasi yang berdampak pada peningkatan biaya hidup karena melonjaknya berbagai bahan pokok. Artinya, kenaikan tunjangan guru seolah tak berarti karena biaya kebutuhan hidup mengalami kenaikan. 


Ditambah biaya tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, keamanan, transportasi, dan komunikasi. Dengan gaya tarik ulur gaji guru ini justru mengungkap bahwa kapitalisme hanya  memosisikan guru tidak ubahnya seperti pekerja saja sebagaimana para buruh bagi industri. 


Dengan kata lain, gaji guru adalah faktor produksi dalam roda ekonomi yang berputar di sektor pendidikan yang bersifat komersial dan kapitalistik. Nasib guru sudah dianggap membaik dengan adanya tambahan tunjangan yang jumlahnya sangat minim padahal jasa guru tak bisa dinilai dengan nominal sebesar apa pun.

         

Memang tidak dimungkiri bahwa kenaikan gaji guru adalah salah satu faktor penunjang dari pendidikan berkualitas. Namun, dalam kapitalisme saat ini guru akan berjuang sendiri. Terlebih guru hanya dipandang sebagai bagian dari faktor produksi saja. Posisi guru terdampak sangat signifikan karena kapitalisme telah menempatkan pendidikan sebagai komoditas ekonomi belaka. 


Dengan begitu, kapitalisme saat ini mengganggap pengelolaan pendidikan adalah sebuah bisnis dari penguasa kepada rakyatnya. Akibatnya, biaya pendidikan pun sangat mahal dan harus dibayar oleh rakyat. Sebagaimana berjalannya sebuah mesin produksi, gaji guru sebagai faktor produksi harus dibuat serendah mungkin agar nominal keuntungan yang diperoleh bisa lebih besar. 


Bahkan nasib guru jauh lebih memprihatinkan. Bukan hanya persoalan gaji, dengan adanya beban pekerjaan yang banyak maupun aspek administratif yang rumit makin menambah beban para guru. 


Pada dasarnya, penentu dari kualitas pendidikan tidak hanya keberadaan seseorang guru, melainkan harus ada kurikulum yang menunjang dari pemerintah bila memang benar-benar berniat tulus untuk mencerdaskan bangsa. Juga ada faktor lain berupa sinergi proses pendidikan di antara individu peserta didik, keluarga, sekolah, dan masyarakat.


Walaupun sekolah berkelas dengan biaya yang mahal dan kurikulum internasional sebenarnya tidak menjamin kualitas para peserta didiknya bisa menjadi generasi emas. Sebaliknya akan menjadi generasi yang kapitalistik karena dari awal sampai akhir berproses pada gaya kapitalisme.

        

Semua ini sangat jelas menunjukkan bahwa pemerintah tidak memosisikan dirinya sebagai penanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan. Wajar jika nasib guru dan murid sama-sama di ujung tanduk karena penguasa abai dalam mengurusi urusan rakyatnya.


Mahalnya biaya pendidikan dijadikan standar penentu kualitas pendidikan padahal pendidikan mahal saat ini tidak selalu berkorelasi positif terhadap kualitas generasi, melainkan hanya semakin deras arus komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan. Ini berarti dalam kapitalisme, kesejahteraan guru tidak akan mungkin didapatkan, malah semakin terpuruk dengan tugasnya yang seabrek.


Peran Negara Menyediakan Pendidikan Berkualitas

       

Memang benar ketika kita menginginkan pendidikan yang berkualitas tenyata memerlukan upaya dan biaya besar untuk mewujudkannya. Namun, semua itu bisa terjadi jika pemerintah berperan penuh selaku penanggung jawab urusan rakyat. Terlebih, pendidikan adalah kebutuhan pokok rakyat. Jika biaya pendidikan mahal, rakyat khususnya kalangan ekonomi lemah akan terhalang dalam mengakses pendidikan. 


Dengan begitu, negara semestinya menyelenggarakan pendidikan sepenuhnya untuk rakyat secara cuma-cuma. Pendidikan seolah fasilitas umum untuk rakyat. Negara akan memberikan pelayanan terbaik, mulai dari penyediaan guru yang berkualitas, menyediakan infrastruktur, sarana, prasarana, fasilitas pendidikan, serta menganggarkan seluruh pembiayaannya yang berasal dari kas negara. 


Negara akan membayar gaji para guru dengan layak, negara akan memperhatikan dan memastikan agar tiap individu rakyat bisa hidup sejahtera karena sudah terpenuhi kebutuhan pokoknya berupa sandang, pangan, dan papan. Selain itu, kebutuhan publik seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, dan transportasi diposisikan sebagaimana fasilitas umum sehingga semua disediakan oleh negara secara gratis.

         

Demikian gambaran pendidikan yang ada pada sistem Islam. Islam mengharuskan negara bertanggung jawab penuh menjamin kemaslahatan umum, termasuk pendidikan. Dalam Islam, negara bukan sebagai regulator, melainkan peri’ayah (pengurus) dan penanggung jawab atas urusan rakyatnya. 


Dengan begitu, siapa pun yang terpilih menjadi penguasa atau pemimpin, ia adalah pemimpin yang amanah dan adil, serta akan menghabiskan seluruh waktunya untuk mengatur hajat hidup rakyatnya.

       

Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda: “Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Kemudian dari hadis yang lainnya juga menyeru bahwa, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)           


Kalau kita tengok sejarah, gaji guru pada masa Kekhilafahan Abbasiyyah sangat besar jika dibandingkan dengan zaman sekarang. Gaji para pengajar di masa itu sekitar 83,3 dinar/bulan.  Dengan nilai 1 dinar sama dengan 4,25 gram emas dan harga emas saat ini sekitar Rp1 juta/gram. Berarti, gaji guru pada masa itu sekitar Rp425 juta/bulan.


Pada saat itu, guru benar-benar sejahtera. Berbeda dengan era kapitalisme. Walaupun tunjangan guru naik, namun tetap saja tidak sejahtera. Pasalnya, setiap kenaikan gaji selalu diikuti dengan kenaikan BBM, bahan pokok dan lain sebagainya termasuk juga pajak. 


Itulah  gambaran perbedaan kesejahteraan guru pada masa peradaban Islam dan di era kapitalisme. Para guru benar-benar dimuliakan dan dihargai jasa-jasanya, tidak dipandang sebelah mata. Bahkan guru diposisikan sebagai pahlawan dengan tanda jasa seutuhnya. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]