Mengakhiri Ketimpangan Energi dalam Perspektif Islam
Surat PembacaPenyediaan listrik di bawah kapitalisme tidak dilihat sebagai kewajiban negara
untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat
_________________________
KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Kebutuhan akan listrik di tengah pesatnya pembangunan menjadi kebutuhan dasar yang tidak bisa diabaikan.
Sayangnya hingga triwulan pertama 2024, masih ada 112 desa di Indonesia yang belum teraliri listrik. (Tirto.id, 2024)
Selain itu, sekitar 22.000 kepala keluarga (KK) di Jawa Barat juga mengalami nasib serupa. Calon Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, bahkan menjadikan isu ini sebagai salah satu program unggulannya dalam Pilkada 2024, dengan target penyelesaian dalam dua tahun jika terpilih. (BeritaSatu.com, 2024)
Fakta ini menunjukkan betapa pentingnya listrik bagi masyarakat. Tidak hanya sebagai kebutuhan rumah tangga, tetapi juga sebagai pendorong aktivitas ekonomi, pendidikan, dan layanan kesehatan. Namun, kondisi ketimpangan akses listrik ini menggambarkan kegagalan tata kelola energi di Indonesia yang masih berorientasi pada kapitalisme.
Listrik sebagai Komoditas dalam Kapitalisme
Penyediaan di bawah kapitalisme, listrik tidak dilihat sebagai kewajiban negara untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Sebaliknya, listrik menjadi komoditas yang dikelola oleh korporasi dengan orientasi utama pada keuntungan.
Liberalisasi tata kelola listrik semakin memperburuk situasi. Penyediaan listrik di daerah terpencil sering diabaikan karena dianggap tidak menguntungkan secara ekonomi, mengingat biaya infrastruktur yang tinggi.
Ketimpangan ini semakin diperparah dengan kebijakan tarif listrik yang tidak terjangkau oleh sebagian masyarakat. Negara justru seperti "memalak" rakyat melalui tarif listrik yang mahal, pajak tambahan, hingga denda jika terjadi keterlambatan pembayaran. Akibatnya, masyarakat di pedesaan tidak hanya terisolasi secara geografis, tetapi juga terkendala dalam mengakses kebutuhan dasar seperti listrik.
Pandangan Islam: Listrik adalah Milik Umum
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang listrik sebagai salah satu harta milik umum yang harus dikelola negara demi kemaslahatan rakyat. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw., "Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api." (HR. Abu Dawud)
Api dalam hadis ini secara luas diartikan sebagai energi, termasuk listrik. Oleh karena itu, negara dalam sistem Islam bertanggung jawab penuh untuk mengelola sumber daya energi, termasuk listrik, agar manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh rakyat tanpa terkecuali.
Beberapa prinsip pengelolaan listrik dalam Islam adalah:
1. Pengelolaan oleh Negara
Listrik harus dikelola langsung oleh negara, bukan diserahkan kepada pihak swasta. Hal ini untuk memastikan bahwa kepentingan rakyat menjadi prioritas utama, bukan keuntungan korporasi.
2. Layanan Merata
Negara wajib memastikan bahwa setiap individu, baik di perkotaan maupun di pelosok desa, memiliki akses yang sama terhadap listrik. Tidak ada diskriminasi berdasarkan lokasi geografis atau kemampuan ekonomi.
3. Listrik Murah atau Gratis
Dalam Islam, layanan publik seperti listrik disediakan dengan harga murah atau bahkan gratis. Negara bertanggung jawab menggunakan sumber daya yang dimilikinya untuk memastikan hal ini terwujud.
4. Infrastruktur Berkualitas
Negara harus menyediakan infrastruktur yang memadai dan berkualitas untuk mendukung distribusi listrik yang efisien. Ini termasuk pembangunan pembangkit listrik di daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau.
Solusi Nyata dengan Sistem Islam
Islam tidak hanya memberikan visi tentang bagaimana seharusnya listrik dikelola, tetapi juga menyediakan solusi yang nyata. Sistem ekonomi Islam memberikan peluang bagi negara untuk memiliki sumber pendapatan yang besar, seperti hasil pengelolaan sumber daya alam, zakat, dan kharaj. Dengan sumber pendapatan ini, negara mampu menyediakan layanan listrik yang murah atau gratis kepada rakyatnya.
Selain itu, Islam melarang privatisasi sumber daya alam dan infrastruktur penting, termasuk listrik. Negara bertindak sebagai pengelola yang amanah, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, bukan untuk mencari keuntungan.
Kesimpulan: Kembali ke Sistem Islam
Ketimpangan akses listrik di Indonesia adalah cerminan kegagalan sistem kapitalisme dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Selama listrik dipandang sebagai komoditas dan bukan hak, ketidakadilan ini akan terus terjadi.
Islam menawarkan solusi yang berbeda. Dengan mengelola listrik sebagai milik umum, memberikan layanan merata, dan menjadikannya sebagai hak dasar rakyat, sistem Islam mampu menjamin kebutuhan energi terpenuhi tanpa diskriminasi.
Sudah saatnya kita kembali mempertimbangkan tata kelola yang berbasis syariat Islam untuk mewujudkan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. Wallahualam bissawab. [SM/MKC]
Endah Dwianti, S.E., CA, M. AK.
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pengusaha