Budaya Toleransi yang Menyesatkan Umat Jelang Nataru
Analisis
Wujud toleransi ini lebih kental dengan
mencampuradukan ajaran agama
_________________________
Penulis Tuti Sugiyatun,S.Pd.I
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Korlantas Polri menggelar Tactical Floor Game (TFG) untuk memastikan kesiapan pelaksanaan Operasi Lilin 2024.
Kakorlantas Polri Irjen Aan Suhanan mengatakan bahwa pelaksanaan TFG bertujuan untuk memantapkan konsolidasi dalam menghadapi libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) sehingga dapat dipastikan kelancaran, keamanan, dan kenyamanan masyarakat selama masa libur akhir tahun. (medcom.id, 15-12-2024)
Begitu pun Menteri Agama Republik Indonesia Nasaruddin Umar mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat untuk terus menjaga keharmonisan antarumat beragama menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru tahun ini.
Ia mengatakan harus memelihara hubungan baik sebagai warga bangsa yang hidup dalam keberagaman, menekankan pentingnya saling mendukung dan menghormati dalam merayakan hari besar keagamaan masing-masing. Menurutnya, perbedaan itu anugerah sesuatu yang membuat kehidupan kita lebih indah.(radarsampit.jawapos.com, 15-12-24)
Toleransi Kebablasan
Pada dasarnya pernyataan dari Kemenag sungguh tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Padahal kalau kita lihat, Kemenag sendiri adalah bagian dari kaum muslim. Ibarat adanya pengaburan identitas Islam pada masyarakat muslim saat momen peringatan Nataru dengan bingkai toleransi.
Contoh yang paling riil saja, sekarang sudah banyak terlihat pernak-pernik yang dipasang di berbagai tempat umum yang menggunakan dekorasi Natal, seperti di mall, supermarket, perkantoran, atau hotel. Ironisnya, para pegawainya menggunakan atribut seperti topi dan kostum sinterklas.
Selain itu, di malam misa natal, kaum muslim pun ikut dalam mengiringi ritual itu dengan selawatan. Kalau kita cermati, kaum muslim tersebut tentu sangat paham bahwa itu semua bertentangan dengan akidah Islam. Jika ada yang mengatakan semua ini adalah sebuah toleransi, maka toleransi seperti ini adalah toleransi yang kebablasan.
Tak hanya sampai di situ saja, ini juga akan bersambung pada saat tahun baru nanti. Banyak masyarakat dari kalangan muslim yang juga mengadakan acara-acara pada momen pergantian tahun. Bahkan tidak jarang mereka menyambut momen tahun baru ini dengan berbagai pesta yang lekat dengan aktivitas maksiat, seperti campur baur antarlawan jenis, pesta seks, narkoba, dan masih banyak lagi aktivitas berbau maksiat lainnya.
Berbagai aktivitas untuk menyambut Nataru dengan imbauan untuk menjalin dan menjaga toleransi ini benar-benar ditujukan kepada kaum muslim. Sering kali mereka mengira bahwa pemicu dari kekacauan berasal dari kaum muslim, sehingga selalu menjadi kambing hitam dan dituduh intoleran.
Padahal tuduhan tersebut sungguh tidak benar. Seperti kasus yang terjadi pada Juli 2024 di Papua, saat jemaah Gereja Kristen Indonesia (GKI) Penabur Jaya Asri melakukan aksi penolakan pembangunan Pondok Pesantren Mamba’ul Ulum Nur al-Fithrah di Perumahan Jaya Asri Entro, Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura, Papua.
Toleransi dalam Islam
Seruan toleransi saat menjelang Nataru ini sungguh sangat bertentangan dengan akidah Islam. Wujud toleransi ini lebih kental dengan mencampuradukan ajaran agama. Toleransi juga digambarkan berupa ucapan selamat hari raya dari kaum muslim kepada nonmuslim padahal itu adalah toleransi versi sekuler yang tentu saja maknanya keliru dan menyesatkan kaum muslim.
Jelas ini bukanlah toleransi dalam makna syariat yang kaum muslim pahami. Toleransi ini bisa merobohkan keimanan kaum muslim sehingga mereka mudah terbawa arus yang bertentangan dengan syariat Islam. Toleransi tersebut justru bertujuan mengacak-acak dan mengaburkan akidah umat Islam.
Sistem sekuler yang tegak saat ini mempunyai landasan kehidupan yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Dengan begitu nilai-nilai agama akan dipinggirkan dari pentas kehidupan dan interaksi sosial kemasyarakatan. Agama hanya diperbolehkan untuk mengatur ranah kehidupan pribadi saja.
Sistem sekularisme juga telah menyerang tiap lini kehidupan. Sekularisme juga merestui munculnya toleransi versi sekuler sehingga terjadi salah kaprah dan ditolelir sebagai pembenaran. Ironisnya, saat berupaya mengkritisi ini, mereka berargumen bahwa aktivitas tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM). Padahal dampak aktivitas sekuler itu sangat masif dan luas kepada seluruh individu di masyarakat.
Ditambah lagi dengan arus moderasi beragama yang digencarkan pemerintah di berbagai aspek kehidupan sehingga semua agama dianggap benar. Kondisi ini didukung oleh penyelenggaraan sistem pendidikan yang berpusat pada konsep liberal dan juga kental dengan moderasinya, seperti kurikulum merdeka, pendidikan vokasi, dan Kampus Merdeka. Moderasi juga telah mengubah makna hidup peserta didik menjauh dari motivasi akidah Islam.
Padahal Allah Swt. telah berfirman dalam QS. Al-Kafirun ayat 1-6 yang artinya, "Katakanlah, Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukku, agamaku."
Dengan begitu, sangatlah jelas seperti apa batasan toleransi menurut Islam. Islam tidak mengajarkan untuk bersikap intoleran. Jika ada yang menyatakan umat Islam intoleran, jelas itu adalah fitnah dan tudingan yang tidak berdasar. Islam telah mengajarkan perihal toleransi sejak Islam pertama kali datang.
Islam juga mengatur aspek-aspek kehidupan terkait hal-hal yang bertentangan atau melanggar hukum syarak, yaitu segala sesuatu yang bertentangan dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Aktivitas meyakini dan mengadopsi ajaran dari luar Islam adalah pelanggaran hukum syarak, termasuk dalam hal penggunaan atribut Natal, mengucapkan selamat hari raya Natal, menghadiri acara misa, maupun aktivitas perayaan pergantian tahun. Jadi sikap kaum muslim saat momen Nataru bukan soal toleran atau intoleran, tetapi tentang hukum aktivitas tersebut.
Maka toleransi jelang Nataru yang kebablasan ini nampak jelas mencampuradukkan ajaran Islam dengan Nasrani. Termasuk budaya dan tradisi yang menyertainya. Maka ini tidak layak untuk diambil oleh umat Islam karena aktivitasnya menyerupai (tasyabbuh) umat selain Islam sehingga dihukumi haram bagi setiap muslim yang melakukan perbuatan yang demikian.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, “Barang siapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka."
Islam memandang bahwa solusi dari permasalahan toleransi dan penyesatan akidah ini adalah dengan meyakini dan menerapkan aturan Islam kafah oleh negara. Negara memiliki peran penting untuk menjaga akidah umatnya.
Islam juga menjadikan para pemimpin dan pejabat senantiasa memberikan nasihat takwa sehingga menyuburkan keimanan di tengah-tengah umat. Dengan begitu, umat terkondisikan untuk tetap terikat dengan aturan Islam terutama dalam momen perayaan agama lain yang berpotensi membahayakan akidah umat seperti halnya momen Nataru.
Dengan menerapkan Islam secara kafah di tengah-tengah umat, maka kekhawatiran akan bahaya penyesatan akidah itu tidak akan terjadi. Dengan Islam kafah akidah umat akan sangat terjaga. Kaum muslim akan menjadi mulia dan berjaya kembali.
Hal ini sebagaimana firman Allah Swt. dalam Al-Qur'an Surah Ali Imran ayat 110 yang artinya, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahlul kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik."
Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]