Alt Title

Heboh Pagar Laut, Keadilan Sosial yang Terenggut

Heboh Pagar Laut, Keadilan Sosial yang Terenggut

 


Wilayah pantai seharusnya menjadi ruang publik

yang tidak boleh dibatasi ataupun dimiliki secara privat

_________________________


KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Dikutip dari news.detik.com (20-01-2025),  belakangan ini isu mengenai pagar laut di Kabupaten Tangerang, Banten, menjadi topik hangat di media sosial. Info terbaru, kawasan yang dipagari tersebut dikabarkan telah memiliki sertifikat.


Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengungkapkan bahwa pihaknya sedang melakukan investigasi terkait masalah tersebut. Pernyataan ini disampaikannya dalam acara di Aula PTSL, Jakarta, pada hari ini.


"Kementerian ATR/BPN telah menugaskan Dirjen Survei dan Pemetaan Pertanahan dan Ruang (SPPR), Bapak Virgo, untuk bekerja sama dengan Badan Informasi Geospasial (BIG). Langkah ini dilakukan guna memastikan posisi bidang-bidang tanah tersebut, apakah berada di dalam atau di luar garis pantai di kawasan Desa Kohod. Data pengajuan sertifikat yang diterbitkan sejak 1982 akan diverifikasi dengan data garis pantai terbaru hingga tahun 2024," jelas Nusron dalam keterangan tertulisnya, Senin (20-01-2025).


Berita yang sedang ramai diperbincangkan tentang adanya pagar laut misterius sepanjang 30 km di Tangerang Banten. Wilayah pantai seharusnya menjadi ruang publik yang tidak boleh dibatasi ataupun dimiliki secara privat, sesuai dengan Undang-Undang yang telah ditentukan Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pagar sepanjang 30 km tersebut diduga membatasi akses masyarakat dan nelayan ke laut, yang seharusnya menjadi hak milik bersama.


Selain itu, muncul juga dugaan bahwa sertifikat lahan tersebut bisa jadi diterbitkan tanpa memperhatikan data garis pantai atau aturan hukum yang sudah diterapkan. Hal ini memicu kontroversi karena dapat merugikan masyarakat sekitar, nelayan, dan lingkungan hidup di kawasan tersebut. Kini, investigasi mendalam dilakukan untuk memastikan kebenaran isu ini dan memastikan bahwa hak-hak masyarakat serta kelestarian lingkungan pesisir harus tetap terjaga.


Mengenai Hak Guna Bangunan (HGB) di dalam pandangan Islam, persoalan seperti itu tidak hanya dilihat dari sisi hukum dalam negara, namun juga dilihat dari sudut keadilan sosial, hak seluruh masyarakat, dan amanah dalam pengelolaan sumber daya alam.


Dalam Islam diajarkan bahwa bumi dan segala isinya adalah titipan dari Allah Swt. dan manusia diberikan tanggung jawab untuk mengelolanya dengan adil serta memelihara kemaslahatan bersama. Hal ini ditegaskan di dalam Al-Qur'an:


"Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.." (QS. Al-A'raf: 56).


Maka wilayah pesisir termasuk laut, dalam Islam termasuk dalam kategori kepemilikan umum (al-mulkiyyah al-ammanah), yang artinya sumber daya alam tersebut tidak boleh dimonopoli oleh suatu pihak tertentu sehingga membatasi akses bagi masyarakat yang bergantung padanya.


Rasulullah saw. bersabda:


"Kaum muslimin bersepakat dalam 3 hal: air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud)


Dalam konteks Hak Guna Bangunan (HGB) atau penerbitan sertifikat di wilayah pesisir, Islam menekankan bahwa pentingnya menilai suatu kebijakan apakah hal tersebut membawa manfaat bagi masyarakat luas atau malah merugikan. Apabila kebijakan ini membatasi akses masyarakat kecil, seperti nelayan, atau mengakibatkan kerusakan lingkungan, maka tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip keadilan yang diajarkan oleh Islam.


Islam juga mengajarkan bahwa pentingnya amar makruf nahi mungkar, yakni mengajak kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran. Dalam kasus ini, semua pihak baik itu pemerintah, masyarakat, maupun ulama, memiliki kewajiban moral untuk mengupayakan keadilan dan memastikan bahwa pengelolaan sumber daya di pesisir dilakukan secara adil, transparan, dan tidak merugikan pihak manapun itu.


Solusi terbaik adalah penerapan sistem Islam yang berlandaskan syariat. Dalam sistem ini, sumber daya alam seperti wilayah pesisir dan laut dianggap kepemilikan umum (al-milkiyyah al-ammah), yang dikelola oleh negara untuk kemaslahatan umat, bukan hanya untuk kepentingan pribadi atau korporasi saja.


Negara bertanggung jawab memastikan pengelolaan sumber daya alam dilakukan dengan adil, melindungi hak masyarakat kecil seperti nelayan, dan menjaga kelestarian lingkungan. Setiap kebijakan harus selaras dengan syariat, serta melalui musyawarah yang transparan untuk menjamin keadilan bagi seluruh pihak manapun.


Daulah Islam akan memastikan semua sumber daya alam menjadi berkah bagi seluruh umat tanpa merusak susunan sosial maupun lingkungan. Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]


Hasna Husna Husniyah

Aktivis Remaja