Kebijakan Pajak dan Peran Pemimpin dalam Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat
Opini
Profil penguasa yang salih akan mampu mengemban amanah
sebagai ra’in atau pengurus rakyat seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah
______________________
Penulis Lailatul Hidayah
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini sebab pemerintah berencana akan menaikkan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen di awal tahun 2025.
Namun, pada tanggal 31 Desember 2024 malam, Presiden Prabowo mengumumkan kenaikan PPN 12 persen berlaku hanya untuk barang mewah yang selama ini merupakan objek dari Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan selain itu, tarif PPN masih tetap 11 persen. (Kompas.id, 03-01-2025)
Meski pemerintah telah mengumumkan PPN 12 persen hanya untuk barang-barang mewah, fakta di lapangan harga-harga barang selain barang mewah tetap naik. Misalnya, jasa bangun dan merenovasi rumah, pembelian kendaraan bekas, jasa asuransi, pengiriman paket, jasa agen wisata dan perjalanan keagamaan, bahan pokok makanan dan minuman serta yang lainnya telah mengalami kenaikan harga.
Ketidakjelasan di awal akan barang yang terkena PPN 12 persen inilah yang menyebabkan penjual melakukan antisipasi dengan memasukkan PPN 12 persen pada semua jenis barang. Ketika harga sudah naik, tak bisa dikoreksi meski aturan menyebutkan kenaikan PPN hanya untuk barang mewah saja. Sementara, negara tampak berusaha memihak pada rakyat.
Sebagaimana pernyataan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati. Ia menyatakan paket kebijakan insentif dan stimulus pemerintah tetap berlaku meski kenaikan tarif pajak pertambahan nilai menjadi 12 persen hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah (Tempo.co, 02-01-2025)
Adapun paket kebijakan insentif dan stimulus yang diberikan pemerintah, antara lain pajak penjualan rumah seharga Rp2 miliar akan ditanggung 100 persen oleh pemerintah, beras 10 kg untuk 16 juta keluarga, insentif PPN untuk kendaraan hybrid dan kendaraan listrik.
Kemudian pelaku UMKM dengan omset di bawah Rp500 juta per tahun tidak perlu membayar PPh. Selain itu, insentif lainnya yakni untuk pelanggan di bawah 2.200 VA akan mendapatkan diskon listrik 50 persen.
Insentif dan Stimulus PPN, Benarkah Meringankan Hidup Rakyat?
Dengan menyebutkan berbagai insentif dan stimulus, pemerintah mengeklaim program bantuan tersebut untuk meringankan hidup rakyat. Tampak sekali negara memaksakan kebijakan dengan membuat narasi seolah berpihak pada rakyat. Namun sejatinya, abai terhadap penderitaan rakyat padahal sudah maklum diketahui bahwa kenaikan pajak pasti akan membuat ekonomi rakyat tertekan.
Bantuan-bantuan pemerintah hanya bersifat temporer. Seperti, diskon listrik 50 persen dan bantuan beras 10 kg untuk 16 juta keluarga berlaku hanya 2 bulan yaitu sampai bulan Februari 2025. Serta insentif untuk mobil listrik dan PPN rumah diskon 100 persen berlaku 6 bulan saja. Semua insentif tersebut sama sekali tidak akan menghilangkan beban masyarakat.
Kebijakan ini menguatkan profil penguasa yang populis otoriter. Seperti inilah profil pemimpin dalam sistem kapitalisme. Dalam kapitalisme, hubungan antara negara dan rakyat hanya hubungan bisnis belaka. Konsep kepemimpinan ini menghasilkan penguasa krisis empati dan peduli terhadap kehidupan rakyatnya. Mereka tega mengeluarkan kebijakan yang menambah penderitaan rakyat.
Sistem kapitalis telah nyata membuat masyarakat hidup dalam kesengsaraan dan jauh dari kata sejahtera sebab fakta pemimpin dalam kapitalisme sejatinya akan selalu disetir oleh para pengusaha. Mereka adalah pemilik modal yang telah berjasa dalam memenangkan pemilu yang biayanya tidaklah murah.
Realitas demikian membuat kita frustasi untuk memiliki pemimpin yang dicintai rakyatnya. Mustahil memiliki pemimpin yang tulus dalam melayani rakyatnya semata karena Allah. Sistem ini hanya melahirkan pemimpin yang penuh pencitraan semata. Lantas, sistem pemerintahan seperti apa yang dapat mewujudkan pemimpin yang sepenuhnya mengurusi urusan umat?
Desain Pemimpin yang Dicintai Rakyatnya
Profil penguasa yang salih akan mampu mengemban amanah sebagai raa’in atau pengurus rakyat seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah sehingga kepemimpinan akan membawa kerahmatan dan kebaikan untuk rakyatnya.
Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Syakhsiyyah Islamiyah jilid II pada bab “Tanggung Jawab Umum” menjelaskan bahwa tanggung jawab seorang pemimpin terhadap dirinya sendiri dan rakyat agar menjadi sosok pemimpin yang saleh.
Tanggung jawab penguasa yang berkaitan dengan hal-hal yang wajib dipenuhi oleh seorang penguasa adalah dia harus memiliki kekuatan, ketakwaan, lemah lembut terhadap rakyat dan tidak menimbulkan antipati.
Maksud dari kekuatan yang dimiliki penguasa adalah kekuatan kepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah) yakni aqliyyah (pola pikir) dan nafsiyyah (pola sikap) yang dipengaruhi Islam. Kekuatan ini akan melahirkan seorang pemimpin yang memiliki kekuatan akal yang mumpuni juga sikap kejiwaan yang tinggi, sabar, tidak emosional atau tergesa-gesa dalam membuat kebijakan. Dengan demikian, ketika ia membuat kebijakan akan fokus pada kemaslahatan yang mampu menyejahterakan rakyat.
Sikap yang harus dimiliki oleh seorang penguasa adalah ketakwaan. Kekuatan kepribadian Islam yang dibalut dengan ketakwaan membuat pemimpin selalu berhati-hati dalam mengatur urusan rakyatnya. Penguasa seperti ini cenderung untuk taat pada aturan Allah Taala. Bukan berbuat karena keuntungan duniawi semata. Semisal terkait pajak, pemimpin dalam Islam akan mengikuti aturan Islam. Pemimpin hanya diperbolehkan memungut dharibah pada kondisi tertentu yang sifatnya temporer, bukan sebagai sumber pemasukan utama negara.
Kesadaran pemimpin dalam melayani rakyat atas dasar dorongan keimanan, membuat pemimpin bersikap lembut terhadap rakyatnya. Dia tidak akan bersikap antipati pada rakyat dan tidak membuat rakyat menderita sebagaimana kapitalisme hari ini. Apalagi syariat Islam mewajibkan penguasa hanya menerapkan aturan Islam saja.
Allah mengancam penguasa yang melanggar aturan Allah yang berhukum kepada selain hukum Allah dengan sebutan sebagai orang-orang kafir (QS. Al-Maidah: 44), sebagai orang-orang fasik (QS. Al-Maidah: 45) dan sebagai orang-orang zalim (QS. Al-Maidah: 47).
Dengan profil pemimpin seperti ini, pemimpin akan dicintai rakyatnya dan dia juga mencintai rakyatnya. Beginilah sosok pemimpin yang lahir dalam sistem Islam. Bukankah pemimpin seperti ini yang diinginkan oleh rakyat? Wallahualam bissawab (Eva-Dara/MKC)