Alt Title

Kebijakan Pajak: Kebijakan Zalim Sistem Kapitalisme

Kebijakan Pajak: Kebijakan Zalim Sistem Kapitalisme

 


Kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen adalah cerminan ketidakadilan kapitalisme

yang membebani rakyat demi kepentingan fiskal negara


______________________


Penulis Etik Rositasari

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Mahasiswa Pascasarjana UGM


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Mulai 1 Januari 2025, pemerintah secara resmi akan memberlakukan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.


Penyesuaian tarif ini dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang sebelumnya sebesar 10% telah dinaikkan menjadi 11% sejak 1 April 2022 dan akan kembali meningkat menjadi 12% paling lambat pada 1 Januari 2025. 


Langkah tersebut merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan pajak demi mencapai target anggaran tahun 2025 yang tercantum dalam RAPBN sebesar Rp2.189,3 triliun. Namun, kebijakan ini menuai kritik karena dianggap memberatkan rakyat dan mencerminkan ketidakadilan kapitalisme.


Kebijakan pajak atas rakyat dalam berbagai barang dan jasa merupakan kebijakan yang lahir dari kapitalisme. Dalam sistem ini, penarikan pajak dengan segala konsekuensinya adalah sebuah keniscayaan. Kapitalisme menjadikan pajak sebagai salah satu sumber utama pendanaan pembangunan negara. Pajak dikenakan kepada semua pihak karena dianggap sebagai kewajiban kolektif masyarakat. Namun, penerapan sistem ini sering kali tidak adil, terutama bagi rakyat kecil.


Bentuk Kezaliman Kapitalisme


Negara dalam kapitalisme berperan sebagai regulator dan fasilitator yang kerap lebih berpihak kepada pengusaha daripada rakyat biasa. Hal ini tercermin dalam kebijakan yang memberikan keringanan pajak kepada perusahaan besar, sementara rakyat dibebani pajak yang terus meningkat.


Seperti dilaporkan oleh CNBC Indonesia, perusahaan besar mendapatkan insentif pajak, sedangkan masyarakat umum menghadapi kenaikan PPN hingga 12 persen. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan perlakuan yang jelas.


Lebih jauh, kenaikan PPN ini akan berdampak luas pada kehidupan masyarakat. Menurut laporan dari Kumparan, kenaikan PPN dapat memicu efek domino berupa kenaikan harga barang dan jasa. Akibatnya, daya beli masyarakat menurun, terutama bagi kelompok menengah ke bawah yang sudah terdampak oleh kondisi ekonomi global. Hal ini selaras dengan pernyataan Mahfud MD dalam Tempo yang menegaskan bahwa kenaikan PPN membuat rakyat semakin menjerit.


Kenaikan PPN ini juga menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam prioritas pembangunan negara. Sebagai contoh, ketika pemerintah fokus pada peningkatan penerimaan pajak dari rakyat biasa, fasilitas dan insentif justru diberikan kepada korporasi besar.


Hal ini tidak hanya memperlebar kesenjangan sosial, tetapi juga memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap kebijakan fiskal negara. Artikel Tirto menyoroti bahwa sejak zaman kolonial, pajak telah menjadi alat eksploitasi yang membebani rakyat kecil untuk kepentingan elite penguasa. (Tirto.id, 12-12-2024)


Di sisi lain, penerapan PPN yang menyasar kebutuhan dasar seperti makanan dan layanan pendidikan premium memperparah kondisi masyarakat. Ketika barang-barang kebutuhan pokok dikenakan pajak, rakyat harus menanggung beban ganda: meningkatnya biaya hidup dan berkurangnya akses terhadap layanan dasar. Dengan demikian, kebijakan ini menciptakan tekanan ekonomi yang tidak seimbang antara rakyat kecil dan kelompok kaya yang lebih mampu menyesuaikan diri dengan kenaikan biaya.


Sistem Perpajakan dalam Islam


Sistem ekonomi Islam menawarkan pendekatan yang lebih adil dan manusiawi. Dalam sistem ini, negara berperan sebagai raa'in (pengurus rakyat) yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan menciptakan kesejahteraan. Negara tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan, melainkan mengandalkan sumber kekayaan alam dan kepemilikan umum yang wajib dikelola untuk kepentingan rakyat.


Dalam Islam, sumber daya alam seperti minyak, gas, dan tambang adalah milik publik yang hasilnya harus digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Dengan pengelolaan yang sesuai syariat, sumber-sumber ini dapat menjadi pemasukan utama negara. Negara juga memiliki sumber pendapatan lain seperti zakat, fai', ghanimah, jizyah, dan kharaj yang cukup untuk mendanai kebutuhan rakyat secara individu per individu.


Pajak dalam Islam hanya dipungut sebagai solusi terakhir dan bersifat sementara. Dalam kitab Mutabanat Hizb ut-Tahrir, pajak atau dharibah didefinisikan sebagai kewajiban finansial yang diberlakukan dalam kondisi darurat ketika sumber pendapatan utama negara tidak mencukupi. Pajak ini hanya dikenakan pada individu yang mampu, yaitu mereka yang memiliki kelebihan harta setelah kebutuhan dasarnya terpenuhi. Penggunaan pajak juga dibatasi untuk keperluan mendesak seperti pembiayaan jihad, membantu rakyat miskin atau mengatasi krisis ekonomi.


Prinsip ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam Al-Qur'an: "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil." (QS. Al-Baqarah: 188)


Ayat ini menegaskan pentingnya keadilan dalam pengelolaan harta.


Selain itu, Rasulullah saw. bersabda: "Imam (pemimpin) adalah pengurus, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusannya." (HR. Bukhari dan Muslim).


Hadis ini menggarisbawahi tanggung jawab negara untuk memastikan kesejahteraan rakyatnya. Pendekatan ini berbeda dengan kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama dan memberlakukan kebijakan pajak secara berkelanjutan tanpa memperhatikan kondisi rakyat. 


Dalam sistem Islam, pajak hanya digunakan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan rakyat, sementara tanggung jawab utama negara adalah mengelola kekayaan yang telah ditetapkan syariat untuk kemakmuran seluruh masyarakat.


Khatimah


Kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen adalah cerminan ketidakadilan kapitalisme yang membebani rakyat demi kepentingan fiskal negara. Sistem ini tidak hanya memberatkan, tetapi juga menciptakan kesenjangan ekonomi yang semakin lebar.


Sebaliknya, sistem ekonomi Islam menawarkan solusi yang lebih adil, dengan menempatkan negara sebagai pengurus rakyat yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan mereka tanpa membebani pajak yang berlebihan.


Oleh karena itu, sudah saatnya kita mempertimbangkan kembali sistem yang diterapkan untuk memastikan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]