Pajak Baru di Tahun Baru: Harapan Baru Indonesia?
Surat Pembaca
Pungutan yang bersifat wajib itu
tidak pandang bulu terhadap kondisi rakyat
________________________
KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Per tanggal 1 Januari 2025, pemerintah Indonesia resmi menaikkan pajak menjadi 12% sesuai dengan amanat undang undang (UU) harmonisasi perpajakan (HPP) yang disahkan 2021 lalu.
Beberapa alasan di balik kenaikan tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) ini di antaranya untuk meningkatkan pendapatan negara, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, dan menyesuaikan dengan standar pajak internasional.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu mengatakan bahwa penyesuaian tarif PPN tersebut sudah melalui pembahasan mendalam antara Pemerintah dengan DPR serta telah mempertimbangkan berbagai aspek yang melibatkan akademisi dan praktisi. (kumparan.com, 21-11-2024)
Menteri Keuangan Negara Indonesia Sri Mulyani meyampaikan bahwa PPN 12% hanya akan dikenakan untuk barang mewah, sebagai contoh bahan makanan premium, jasa pendidikan premium, pelayanan kesehatan medis premium, serta pelanggan listrik 3.500-6.000 volt ampere. (nasionalkontan.com, 30-12-2024)
Di sisi lain, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengatakan bahwa tarif pajak 12% akan berlaku ke semua barang, tidak hanya barang mewah. Tentunya penyesuaian tarif pajak ini menuai berbagai penolakan di masyarakat. Mulai dari kalangan mahasiswa, buruh, hingga pengusaha. Petisi penolakan kenaikan PPN yang diinisiasi oleh Bareng Warga telah ditandatangani sebanyak 197.753 orang hingga akhir tahun kemarin (cnn.com, 28 Des 2024). Akademisi dari ITS dan Umsida juga turut berkomentar terkait hal ini.
Tidak hanya sektor ekonomi, rantai pasok industri juga akan akan mengalami perubahan signifikan karena kenaikan biaya produksi hingga menghambat laju inovasi di sektor industri, komentar Dr. Ir. Arman Hakim Nasution M.Eng selaku dosen sekaligus Kepala Pusat Kajian Kebijakan Publik Bisnis dan Industri ITS. Beliau menggarisbawahi pentingnya kajian akademik sebelum pembuatan kebijakan publik (its.ac.id). Menanggapi hal yang sama, Kepala Unit Sekretariat Umsida mengungkapkan beberapa efek negatif dari kenaikan PPN tersebut diantaranya kenaikan biaya hidup, inflasi dan pengurangan daya beli.(umsida.ac.id)
Kapitalisme dan Pajak
Salah satu ungkapan terkenal dari Benjamin Franklin, bapak pendiri Amerika Serikat, yaitu "Tidak ada yang pasti di dunia ini, selain kematian dan pajak." Hal tersebut menunjukkan bahwa pajak adalah suatu hal yang niscaya dalam kapitalisme.
Pada 2024, total pendapatan negara Indonesia mencapai Rp2.802,3 triliun dengan sekitar Rp2.309,9 triliun atau 82,4% berasal dari pajak (Goodstats, 12 Juli 2024). Dengan adanya penyesuaian pajak, pendapatan di tahun 2025 diperkirakan meningkat menjadi Rp2.996,9 triliun dengan sekitar Rp2.423 triliun atau 80,9% berasal dari penerimaan pajak. (presidenri.go.id, 16 Agustus 2024)
Alhasil, dapat terlihat pembiayaan negara ini sangat bergantung pada pajak. Di samping itu, negara juga memiliki utang luar negeri yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Kementerian Keuangan RI mencatat APBN mengalami defisit sebesar Rp309,2 triliun per Oktober 2024.
Hakikat Pajak
Ketika pajak menjadi sumber pembiayaan ekonomi negara, hakikatnya rakyat sedang membiayai seluruh kehidupannya sendiri. Dengan kata lain, negara berlepas tangan atas tanggung jawabnya mengurusi rakyat.
Negara hanya hadir sebagai fasilitator dan regulator untuk menyesuaikan kepentingan rakyat dengan kepentingan para pemilik modal (kapital) sehingga tak jarang kebutuhan rakyat biasa terabaikan. Rakyat menjadi sasaran pungutan wajib konsekuensi posisinya sebagai warga negara dan menjadi tulang punggung perekonomian negeri ini.
Pajak jelas menyengsarakan rakyat. Pungutan yang bersifat wajib itu tidak pandang bulu terhadap kondisi rakyat. Setiap orang yang memiliki penghasilan, melakukan kegiatan usaha dan memiliki harta terhitung sebagai wajib pajak sesuai dengan UU no 6 tahun 1983. Tanah, bangunan, kendaraan, dan berbagai barang juga tidak lepas dari pajak pertambahan nilai (PPN).
Mirisnya, para pengusaha besar diberikan banyak keringanan pajak melalui berbagai kebijakan, namun tidak untuk rakyat kecil. Alasan di balik itu adalah untuk meningkatkan investasi para pengusaha atau pemodal dengan harapan bisa membuka peluang lapangan pekerjaan dan bermanfaat untuk rakyat. Namun faktanya, lapangan pekerjaan tetap terbatas dan jumlahnya tidak sebanding dengan para pelamar kerja.
Pajak dalam Pandangan Islam
Tidak seperti negara kapitalis, negara Islam memiliki pandangan yang berbeda terkait sumber pendapatan negara dan pajak. APBN negara Islam didapatkan dari beberapa pos seperti: harta rampasan perang (anfal, ganimah, fai, dan khumus); pungutan dari tanah yang berstatus kharaj, jizyah (pungutan dari nonmuslim yang tinggal di negara Islam), harta milik umum, harta milik negara, ‘usyur (harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri), harta tidak sah para penguasa dan pegawai negara atau harta hasil kerja yang tidak diizinkan syarak, khumus barang temuan dan barang tambang, harta kelebihan dari (sisa) pembagian waris, harta orang-orang murtad, dharibah, dan harta zakat.
Negara juga akan mengatur mana kepemilikin individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan milik umum, sehingga harta tidak akan berkumpul hanya pada beberapa orang/ badan. Seluruh keuangan negara akan diatur oleh Baitulmal dan akan dikeluarkan untuk membayar hak-hak rakyat sesuai kondisi masing-masing.
Dalam Islam, hukum asal menarik pajak dari rakyat adalah haram. Namun, ada kondisi-kondisi darurat yang membolehkan pemerintah memungut pajak dari rakyatnya. Hal itu terjadi ketika harta di Baitulmal tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Pajak juga tidak akan dikenakan ke semua individu, melainkan hanya pada pihak yang kaya. Pemungutan pajak selain dalam kondisi tersebut dianggap sebagai kezaliman. Dengan demikian, pendapatan negara yang bertumpu pada pajak merupakan suatu kezaliman terhadap rakyat dan tidak sesuai dengan syariat Islam. Wallahualam bissawab. [SM/MKC]
Vina
Mahasiswa Profesi Gizi UGM