Tradisi Baca Al-Qur’an, Akankah Pejabat Insaf?
Surat Pembaca
Di masa pemerintahan Islam, negara aman dan sejahtera
karena menerapkan sistem (peraturan) sesuai petunjuk Al-Qur’an
______________
KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Sejatinya setiap muslim ketika membaca dan mendengarkan Al-Qur’an hati merasa tenang, begitu pun yang dirasakan oleh Ketua Umum Partai Golkar ketika mendengar lantunan ayat suci Al-Qur’an.
Selain rasa tenang mengharapkan ada kebaikan yang dihasilkan dalam pola sikap para pembaca. Namun, apakah cukup sekadar membaca Al-Qur’an dapat mengubah pola sikap seseorang?
Dikutip dari Tribunnews.com (19-01-2025) Bahlil Lahadalia selaku Ketua Umum Partai Golkar memberikan apresiasi kepada Partai Golkar yang telah melakukan tradisi membaca ayat suci Al-Qur’an. Hal tersebut disampaikan saat pidatonya dalam perayaan HUT ke 65 MKGR (Organisasi Kemasyarakatan Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong) pada Sabtu, 18-01-2025 di Hotel Shangri-La, Jakarta.
Adiel Kadir selaku kader Partai Golkar mengaku hal tersebut sudah biasa (tradisi) dilakukan di partai Golkar. Bahlil menilai tradisi ini sangat bagus untuk dilakukan dan diharapkan akan berpengaruh terhadap insafnya para pejabat. Bahkan beliau mengusulkan agar hal tersebut dilakukan juga di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar negara ini menjadi aman.
Hal tersebut wajar disampaikan, melihat sebenarnya banyak pejabat saat ini yang bisa membaca Al-Qur’an. Namun sayangnya, hal tersebut tidak berpengaruh sama sekali dalam pola sikap perilaku para pejabat. Maka tak heran banyaknya para pejabat yang masih terjerat hukum. Mulai dari penyalahgunaan kekuasaan, korupsi sampai tindakan kriminal.
Al-Qur’an Petunjuk Hidup
Indonesia merupakan negara mayoritas muslim, tak terkecuali para pejabat yang kini bertugas mengurusi seluruh urusan rakyat. Namun sayangnya, membaca Al-Qur’an saja harus diperintahkan untuk menjadi tradisi bukan atas kesadaran setiap individu. Terlebih ketika mengharapkan tradisi tersebut dapat berpengaruh terhadap pola sikap pejabat agar insaf.
Sesungguhnya Al-Qur’an bukanlah sekadar kitab suci yang hanya dibaca semata. Namun, Al-Qur’an adalah petunjuk bagi setiap muslim. Maka tidaklah cukup jika hanya sekadar dibaca, tetapi wajib untuk dipahami, diamalkan, dan diterapkan dalam seluruh kehidupan termasuk dalam hal mengatur pemerintahan.
Sebagaimana dalam firman Allah Swt. dalam surah Al-Baqarah ayat 2,
ذَٰلِكَ ٱلْكِتَٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ
"Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi orang yang bertakwa."
Jelaslah bahwa Allah Swt. menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi setiap muslim yang bertakwa bukan sekadar dibaca saja. Memanglah benar membaca Al-Qur’an merupakan salah satu ibadah yang diperintahkan untuk setiap muslim. Bahkan ketika membacanya setiap huruf akan diberikan 10 kebaikan. Namun, ketika mengharapkan dengan membaca dapat memengaruhi sikap dan perilaku tidaklah benar karena pola sikap dan perilaku dipengaruhi oleh pemahaman setiap individu.
Sebagaimana ketika individu membenci seseorang pastilah itu karena ia memiliki pemahaman buruk terhadap seseorang tersebut sehingga menghasilkan rasa benci. Maka sikap dan perilakunya akan menujukkan rasa kebencian.
Berbeda halnya jika mencintai seseorang, ia memiliki pemahaman yang baik sehingga menghasilkan rasa cinta. Maka sikap dan perilakunya akan berbeda dengan orang yang membenci. Inilah yang menunjukkan jika ingin mengubah perilaku seseorang maka harus diawali dengan mengubah pemahamannya.
Saat ini kasus yang menimpa para pejabat seakan tiada habisnya. Banyak di antara mereka yang terjerat hukum, membuktikan bahwa Al-Qur’an hanya sekadar dijadikan bacaan semata, belum sampai untuk dipahami dan diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan.
Sama halnya dengan mengharapkan menjalankan tradisi membaca Al-Qur’an di DPR dapat berpengaruh terhadap keamanan negara juga tidak akan berhasil. Mengapa? Karena hal itu tidak berpengaruh sama sekali dengan sistem yang diterapkan saat ini yaitu demokrasi kapitalisme.
Kapitalisme adalah ideologi yang memisahkan agama dari kehidupan sekaligus memisahkan agama dari pemerintahan. Agama dijadikan hanya sekadar mengatur ibadah ritual semata tanpa berpengaruh terhadap kehidupan apalagi pemerintahan.
Maka ketika mengharapkan negeri ini aman, tak hanya memperbaiki individunya saja, tetapi harus sepaket dengan sistem yang diterapkan. Ibaratnya seorang yang ahli mengemudi mobil tidak akan mampu mengendarai mobil yang rusak tanpa memperbaiki mesinnya terlebih dahulu.
Hal ini terbukti pada era keemasan Islam terdahulu. Al-Qur’an benar-benar mampu memengaruhi pikiran dan perilaku para pejabat untuk taat kepada Allah Swt. sehingga menghasilkan para pejabat yang bertanggung jawab, adil, dan senantiasa mengutamakan kepentingan umat dari kepentingan pribadinya.
Maka tak heran jika negaranya pun menjadi aman dan sejahtera karena negara menerapkan sistem (peraturan) sesuai dengan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]
Aini Rahmalia, S.Si