Berantas Korupsi dengan Syariat Islam, Bukan dengan Argumentasi
OpiniLahirnya para pemimpin korup adalah buah dari sistem saat ini
Yaitu kapitalisme sekularisme
___________________________
Penulis Dewi Lesmana
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Dakwah
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Presiden Prabowo Subianto mengatakan tingkat korupsi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Dengan tegas dia mengatakan bahwa dirinya akan membasmi koruptor yang telah merugikan negara.
“Tingkat korupsi di negara saya sangat mengkhawatirkan. Dan itulah mengapa saya bertekad untuk menggunakan seluruh tenaga, seluruh wewenang yang diberikan kepada saya oleh konstitusi untuk mencoba mengatasi penyakit ini,” kata Prabowo secara daring dalam Forum Internasional World Governments Summit Kamis 2025 (13-02).
Prabowo menilai bahwa korupsi adalah biang kerok semua kemunduran di sektor pendidikan, penelitian, dan pengembangan. “Menurut saya korupsi adalah akar dari semua kemunduran di sektor-sektor,” ujarnya. Mantan Menteri Pertahanan ini dengan tegas mengatakan janjinya untuk membasmi korupsi yang didukung oleh banyak pihak.
Hanya saja, janji akan membasmi korupsi tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Visi misi yang Prabowo sampaikan pada Debat Pertama Pilpres 2024. Yang pada saat itu dirinya berjanji akan memperbaiki pemerintahan, salah satunya membasmi korupsi sampai ke akarnya. Seketika berubah haluan saat dirinya sudah terpilih menjadi presiden pada Desember 2024. Dirinya melontarkan perkataan ke publik untuk memaafkan para koruptor asalkan bersedia bertobat.
Terlebih di acara HUT ke-17 Gerindra di Sentul, Jawa Barat pada Sabtu 15 Februari 2025 lalu, Prabowo mengatakan bahwa dirinya berhasil lolos dan terpilih menjadi presiden berkat dukungan dari partai koalisi serta dukungan dari presiden sebelumnya yaitu Jokowi.
Hal ini jelas mengisyaratkan bahwa janji Prabowo untuk memberantas para koruptor tidak sungguh-sungguh. Pada Tahun 2022 lalu KPK menyebut bahwa para pelaku korupsi itu adalah para abdi negara atau pejabat pemerintahan yang memiliki jabatan penting dalam pemerintahan. Penyebab tindak korupsi yang dilakukan pun beragam.
Ini semakin membuktikan bahwa peran negara telah hilang. Saat ini negara telah tunduk kepada para pengusaha yang memiliki banyak uang. Menilik pernyataan Prabowo yang berjanji ingin membasmi korupsi nyatanya tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Ditambah lagi sekarang pernyataannya telah berubah dari yang tadinya akan membasmi korupsi dan para koruptor, sekarang ketika sudah jadi presiden bilang bahwa pelaku korupsi cukup dimaafkan saja dengan catatan orangnya mau tobat.
Dengan demikian, janji Prabowo itu adalah sebuah janji semata tanpa ada keinginan untuk menjalankannya secara nyata alias hanya argumentasi penuh ilusi janji bapak presiden. Para pemimpin saat ini adalah orang-orang yang tidak bisa memegang amanah. Mereka menggunakan jabatannya hanya untuk memenuhi hawa nafsu saja. Kebanyakan dari mereka berbondong-bondong ingin menjadi pejabat hanya untuk memenuhi hasrat ketamakan mereka.
Seharusnya sebagai wakil umat, mereka menjadi jembatan dalam menyelesaikan persoalan umat. Akan tetapi, kenyataannya umat hanya dibutuhkan di musim pemilu saja untuk meraih suara rakyat. Lahirnya para pemimpin korup ini adalah buah dari sistem kapitalisme sekularisme.
Saatnya untuk membuang sistem sekuler kapitalisme dan kembali kepada syariat Islam. Islam adalah sebuah ideologi yang tidak hanya mengurusi perkara ibadah ruhiyah saja, melainkan akidah siyasi (politik). Sudah seharusnya sistem ini diterapkan sebagai aturan kehidupan manusia seluruhnya. Sistem Islam ini dapat diterapkan apabila kembali tegak dalam Daulah Islamiah.
Dalam kitab Daulah Islamiyah, Syekh Taqiyudin An-Nabhani menyebutkan bahwa negara Khilafah-lah yang akan mewujudkan kembali kehidupan Islam di tengah masyarakat. Tentu setelah dilakukan upaya dakwah yang memahamkan umat dengan ideologi Islam secara sempurna yang akan melahirkan umat yang berpikir cemerlang dan mendalam.
Dalam sistem Islam, tidak akan ada celah bagi siapa pun untuk melakukan tindak kejahatan korupsi. Dengan menerapkan sanksi yang tegas dan memberi efek jera kepada pelaku kejahatan. Dalam Islam, ada sistem sanksi yang berperan sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebusan) dengan tujuan agar seseorang yang tidak melakukan pelanggaran hukum tidak akan melanggar lagi. Apabila sanksi ini diterapkan, maka bisa menjadi penebus dosanya.
Sanksi hukum untuk pelaku korupsi tidak sama dengan sanksi bagi pencuri, yaitu potong tangan. Dalam QS. Al-Maidah ayat 38 disebutkan bahwa sanksi untuk pelaku korupsi (khianat) adalah takzir, di mana jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Sanksinya bisa ringan, seperti diberi wejangan atau diingatkan oleh hakim, bisa juga penjara, membayar denda, diumumkan di ruang publik, hukuman cambuk, hingga hukuman yang tegas, yakni hukuman mati. Tata cara pelaksanaan hukuman mati bisa dengan digantung atau dipancung.
Berat dan ringannya sanksi hukum takzir ini tergantung pada seberapa berat dan ringannya tindakan kejahatan yang dilakukan (Syekh Abdurrahman al-Maliki rahimahullah, An-Nizhamu al-Uqubat fii al-Islam).
Begitulah cara Islam untuk memberantas tindak kejahatan korupsi. Sejatinya, jabatan atau kekuasaan merupakan amanah bagi para pemangkunya yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Ini adalah beban tanggung jawab yang sangat berat karena bisa mendatangkan siksaan di akhirat apabila amanah tersebut disalahgunakan.
Dengan demikian, membasmi tindak kejahatan korupsi tidak cukup dengan kata-kata atau sekadar janji semata. Melainkan harus ada upaya keras dan tegas yang dilakukan oleh seorang pemimpin negara, salah satunya dengan menetapkan sanksi hukum yang tegas yang memberikan efek jera pada pelaku sekaligus memberi contoh bagi umat agar tidak melakukan kejahatan yang sama. Bukan hanya sekadar komitmen tanpa ada kerja nyata. Wallahualam bissawab. [Ttr/Dara/MKC]