Carut Marut Efisiensi Anggaran, Layanan Publik Jadi Korban?
OpiniPemangkasan anggaran sebagian besar justru menyasar alokasi dana
yang diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat
_________________________
Penulis Etik Rositasari
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Mahasiswa Pascasarjana UGM
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Memasuki 100 hari kepemimpinan Presiden dan Wakil Presiden Prabowo-Gibran, publik digegerkan dengan terbitnya kebijakan pemangkasan anggaran yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025.
Efisiensi dalam Kapitalisme
Langkah efisiensi anggaran yang kontroversial tersebut ditempuh konon untuk membiayai program kampanye makan bergizi gratis (MBG) serta sebagai modal investasi yang akan ditanamkan di Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), sebuah lembaga superholding BUMN bentukan presiden yang baru saja didirikan.
Dalam pidatonya pada peringatan HUT ke-17 Partai Gerindra, Sabtu (15-2-25), Presiden Prabowo mengumumkan rencana efisiensi anggaran yang akan dilakukan dalam tiga tahap utama (kompas.com, 16-2-2025)
Tahap pertama mencakup penghematan sebesar Rp300 triliun dari pos Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BABUN). Selanjutnya, tahap kedua berasal dari pemangkasan anggaran di seluruh kementerian dan lembaga (K/L), yang telah diselesaikan pada 14 Februari 2025 sesuai dengan Instruksi Presiden 1/2025. Target efisiensi anggaran awalnya ditetapkan sebesar Rp306,7 triliun, namun kemudian meningkat menjadi Rp308 triliun.
Pada tahap ketiga, efisiensi anggaran akan diperoleh dari peningkatan penerimaan dividen BUMN, yang diproyeksikan mencapai Rp300 triliun pada tahun 2025. Dari jumlah tersebut, Rp100 triliun akan dikembalikan kepada BUMN dalam bentuk penyertaan modal negara (PMN).
Presiden menegaskan bahwa kebijakan efisiensi ini bertujuan untuk mengoptimalkan pengelolaan keuangan negara. Namun, langkah ini menuai kontroversi karena dinilai bertentangan dengan prinsip kesejahteraan publik dan berisiko mengganggu layanan dasar.
Ekonom sekaligus pakar kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, juga mengingatkan bahwa pemangkasan anggaran yang dilakukan tanpa perencanaan matang dapat berdampak negatif terhadap kinerja kementerian dan lembaga negara. (metrotvnews.com, 16-2-2025)
Menilik Arah Efisiensi Anggaran
Sejak efisiensi anggaran diterapkan, masyarakat mulai merasakan dampak kebijakan tersebut secara nyata. Bagaimana tidak, pemangkasan anggaran sebagian besar justru menyasar alokasi dana yang diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat.
Beberapa dampak yang dirasakan antara lain pengurangan program perlindungan sosial yang selama ini menjadi penyokong bagi kelompok masyarakat kurang mampu, pemotongan dana penelitian yang semakin memperparah ketertinggalan Indonesia dalam bidang inovasi dan pengembangan ilmu pengetahuan, serta pelaksanaan program MBG yang minim kejelasan dan sarat kontroversi. (tirto.id, 13-2-2025)
Dampak tersebut menunjukkan bahwa rakyatlah yang menjadi pihak pertama yang harus berkorban dalam strategi efisiensi anggaran, sementara sektor-sektor lain tetap memperoleh porsi anggaran yang besar.
Ironi Pemangkasan
Ironi dari kebijakan efisiensi anggaran semakin terlihat ketika sektor-sektor tertentu tetap mendapatkan prioritas anggaran yang besar. Salah satunya adalah anggaran pertahanan untuk pengadaan alutsista, yang tidak tersentuh dalam kebijakan pemangkasan ini. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: Mengapa anggaran yang berdampak langsung bagi kesejahteraan rakyat justru dipotong, sementara sektor lain tetap mendapatkan porsi penuh?
Realitas ini semakin memperjelas bahwa kebijakan efisiensi anggaran tidak dilakukan dengan prinsip keadilan dan keseimbangan. Kondisi ini justru memperkuat sistem korporatokrasi, di mana kebijakan lebih berpihak pada kepentingan pemodal dan oligarki dibandingkan kepentingan rakyat banyak.
Penguasa adalah Raa’in, Bukan Pedagang
Dalam Islam, seorang pemimpin memiliki tanggung jawab yang besar terhadap kesejahteraan rakyatnya. Rasulullah ﷺ
bersabda:
"Imam (pemimpin) itu adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR. Bukhari & Muslim)
Seorang pemimpin dalam Islam tidak boleh berperan layaknya seorang pedagang yang menghitung untung rugi dalam mengelola negara. Sebaliknya, tugasnya adalah memastikan bahwa kebutuhan dasar rakyat terpenuhi, termasuk pendidikan, kesehatan, dan pangan.
Pemimpin yang membiarkan rakyatnya mengalami kesulitan akibat kebijakan yang tidak berpihak pada mereka telah mengkhianati amanah kepemimpinan yang diberikan kepadanya.
Selain itu, Islam menetapkan bahwa kedaulatan berada di tangan syariat, bukan di tangan kelompok tertentu yang memiliki kepentingan ekonomi atau politik. Hal ini berarti bahwa setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada hukum syarak, bukan berdasarkan pertimbangan pragmatis yang menguntungkan segelintir elite.
Pengaturan dalam Islam
Salah satu alasan utama di balik pemangkasan anggaran dalam sistem demokrasi adalah ketergantungan pada utang dan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Berbeda dengan Islam yang memiliki berbagai sumber pemasukan yang sah dan berkelanjutan, seperti :
1. Kepemilikan umum (al-milkiyyah al-ammah), yakni sumber daya alam seperti tambang, minyak, gas, dan hasil bumi lainnya yang dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat.
2. Jizyah dan kharaj, yakni pajak yang dikenakan kepada nonmuslim dan hasil bumi dari tanah yang dikelola negara.
3. Zakat, yang dikelola oleh Baitulmal dan didistribusikan kepada kelompok yang berhak menerimanya sesuai ketentuan syariat.
Dengan mekanisme tersebut, Islam memastikan bahwa negara memiliki sumber pendanaan yang cukup tanpa harus memangkas anggaran yang berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat, di samping juga menekankan pentingnya pengelolaan anggaran yang bertanggung jawab karena jabatan pemimpin dalam Islam adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat.
Khatimah
Kebijakan efisiensi anggaran yang saat ini diterapkan menunjukkan pola yang tidak adil dan tidak berpihak pada rakyat. Anggaran untuk sektor yang menyentuh kehidupan masyarakat sehari-hari justru dipotong, sementara sektor tertentu tetap mendapatkan anggaran yang besar. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan ini lebih didasarkan pada kepentingan tertentu dibandingkan dengan kesejahteraan masyarakat luas.
Islam memberikan solusi yang lebih adil dan komprehensif dalam pengelolaan keuangan negara. Dengan sistem berbasis syariah, negara tidak hanya mampu menghindari ketergantungan pada utang dan pajak, tetapi juga memastikan bahwa pengelolaan anggaran dilakukan secara adil, bertanggung jawab, dan sesuai dengan amanah kepemimpinan.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita kembali kepada sistem Islam yang kafah dalam mengatur negara. Hanya dengan penerapan Islam secara menyeluruh, kesejahteraan rakyat dapat benar-benar terwujud tanpa mengorbankan layanan publik. Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]