Korupsi Tak Terbendung, Bukti Kegagalan Sistem Kapitalisme-Demokrasi
Opini
Penerapan sistem kapitalisme-demokrasi telah mendorong seseorang
untuk saling memperebutkan jabatan, bahkan dengan jalan kotor sekalipun
_____________________
Penulis Anis Nuraini
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Presiden RI Prabowo Subianto menyebut tingkat korupsi di Indonesia mengkhawatirkan. Ia menegaskan bakal membasmi koruptor yang merugikan negara.
"Tingkat korupsi di negara saya sangat mengkhawatirkan. Dan itulah, mengapa saya bertekad untuk menggunakan seluruh tenaga, seluruh wewenang yang diberikan kepada saya oleh konstitusi untuk mencoba mengatasi penyakit ini," kata Prabowo.
Hal ini disampaikannya di Forum Internasional World Governments Summit 2025 di Dubai, Uni Emirat Arab, yang dihadiri secara virtual, pada Kamis. (kompas.com, 13-02-2025)
Korupsi Semakin Menghawatirkan
Korupsi di Indonesia diakui memang sangat mengkhawatirkan. Mirisnya, pernyataan untuk menghapus korupsi tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan, korupsi makin tak terbendung. Banyak para pejabat dari tingkat eksekutif, yudikatif, hingga legislatif dan lain-lainya melakukan korupsi.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat selama 3 (tiga) tahun terakhir, kasus korupsi di Indonesia tahun 2021 jumlah kasus 533 dengan jumlah tersangka 1.173 orang, tahun 2022 sebanyak 579 kasus dengan jumlah tersangka 1.396, sepanjang tahun 2023 ada 791 kasus jumlah tersangkanya mencapai 1.695 orang. (kompas.com)
Penyebab para koruptor yang melakukan korupsi adalah akibat ketiadaan iman dan takwa di dalam diri mereka. Meskipun mereka semua mengeyam pendidikan tinggi. Pola pikir dan pola sikap masyarakat sudah dipengaruhi, oleh gaya hidup materialistik dan hedonistik. Kebahagiaan diukur dengan banyak materi atau uang, tidak peduli cara mendapatkannya mau halal atau haram, walaupun harus melakukan korupsi.
Sekularisme Biang Korupsi
Sekularisme telah membuka peluang terjadinya korupsi secara sistemik, penguasa, dan para pejabat negara. Mulai level jabatan, MPR, DPR, DPD, hakim, polisi, gubernur, wali kota, lurah hingga kades dan lain- lain. Mereka tidak amanah atas jabatan yang mereka miliki, bahkan khianat. Karena tidak ada rasa takut pada Allah Swt. dalam diri mereka padahal jabatan mereka akan dipertanggungjawabkan di akhirat.
Penerapan kapitalisme-demokrasi telah mendorong seseorang untuk saling memperebutkan jabatan, bahkan dengan jalan kotor sekalipun. Biaya yang digunakan pun tidaklah sedikit. Sangat wajar jika saat sudah menjabat, ia akan mencari cara agar uang yang sudah dikeluarkan harus kembali, bahkan terus berupaya memperkaya diri dengan cara yang instan, yakni dengan korupsi pada berbagai bidang.
Di sisi lain, sistem demokrasi membuka peluang para oligarki untuk menggelontorkan dana dalam pemilihan wakil rakyat dan pejabat sehingga siapa pun yang jadi pemimpin pasti akan tunduk pada pemilik modal. Tidak aneh jika kemudian banyak UU yang memihak kepada oligarki, seperti UU Cipta Kerja, revisi UU KPK. Sebelumnya ada UU Minerba, UU migas dan lain-lain.
Pemimpin, pejabat, dan wakil rakyat membuat aturan yang akan makin menguntungkan para pemilik modal. UU yang dibuat oleh pemerintah dan DPR lebih banyak berpihak kepada oligarki dibandingkan untuk kepentingan rakyat sendiri. Akhirnya negara lemah di hadapan oligarki. Bahkan kepentingan rakyat dikorbankan untuk kepentingan oligarki.
Islam Mencegah Korupsi
Berbeda dengan penerapan sistem Islam, Islam akan menutup rapat-rapat celah korupsi kemungkinan korupsi menjadi nol. Penerapan syariat secara kafah (menyeluruh) dalam seluruh aspek kehidupan yang akan membuat masyarakat memiliki keimanan dan ketakwaan begitu pula para pejabatnya.
Para pejabat atau pegawai di negara Islam akan digaji secara layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mulai dari rumah, kendaraan, bahkan pembantu jika dibutuhkan, mereka terbiasa untuk hidup sederhana. Dengan itu, peluang mencari penghasilan lain dengan memanfaatkan jabatan bisa diatasi.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: "Barangsiapa yang telah kami ambil untuk melakukan suatu tugas dan kami telah menetapkan rezeki (gaji atau upah) maka harta yang dia ambil selain gaji dari kami adalah ghulul (pengkhianatan, korupsi, atau penipuan).” (HR. Abu Dawud).
Negara Islam akan menyita harta para pejabat yang dinilai berlebihan dari seharusnya. Hal ini dapat terwujud karena penerapan sistem sanksi Islam yang tegas dan menjerakan untuk para pejabat yang melakukan korupsi akan dikenakan berupa takzir, di penjara yang lama, dan di denda, bahkan bisa sampai hukuman mati atau dipancung, sesuai dengan dampak dan tingkat korupsinya.
Negara juga memiliki sistem pendidikan yang membentuk generasi bersyakhsiyah Islamiah, yakni pola pikir dan pola sikap sesuai Islam agar jauh dari kemaksiatan. Tolok ukurnya haram dan halal, baik dan buruk sesuai syarak.
Dengan adanya kontrol masyarakat dorongan dari akidah Islam. Melalui dakwah amar makruf nahi mungkar akan terus dilakukan agar tidak ada pejabat yang menyalahgunakan kekuasaannya sehingga berjalan pemerintahan yang bersih dari berbagai penyelewengan. Hanya dengan penerapan Islam secara kafah oleh negara, korupsi dapat diberantas dengan tuntas. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]