PHK Massal Sritex Akibat Kebijakan yang Serampangan
Opini
Banyaknya perusahaan yang melakukan PHK massal tidak terlepas
dari adanya regulasi baru yang tidak mendukung industri tekstil dalam negeri
_____________________________
Penulis Ni’matul Afiah Ummu Fatiya
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pemerhati Kebijakan Publik
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Banyaknya perusahaan yang pailit mengakibatkan gelombang PHK makin tak terbendung. Seakan tidak ada solusi lain selain PHK untuk menyelamatkan perusahaannya. Tak terkecuali PT Sritex, dengan ditutupnya PT Sritex per 1 Maret 2025 lalu menambah panjang daftar masyarakat korban PHK.
Sritex merupakan salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara. Perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 10.000 karyawan itu turut melakukan PHK massal. Perusahaan yang berlokasi di Sukoharjo, Jawa Tengah itu dinyatakan pailit pada 21 Oktober 2024 lalu oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Kota Semarang.
Menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Kabupaten Sukoharjo Sumarno, jumlah karyawan PT Sritex yang di PHK sekitar 10.665 orang. Ia juga mengatakan bahwa pihak kurator harus bertanggung jawab untuk memenuhi hak karyawan guna mendapatkan pesangon.
Sementara, salah satu wakil dari kurator Denny Ardiansyah menyatakan bahwa kondisi perusahaan sudah kerap merugi dan tidak mampu membayar THR karyawan. “Secara cash flow perusahaan terus merugi, tidak punya kemampuan untuk membayar THR dan apabila di-PHK lebih dari bulan Februari, karyawan akan semakin tidak terjamin secara penghasilan,” ungkapnya. (detik.com, 5-3-2025)
Kebijakan yang Serampangan
Banyaknya perusahaan yang melakukan PHK massal tidak terlepas dari adanya regulasi baru yang tidak mendukung industri tekstil dalam negeri. Permendag 8/2024 inilah yang dituding sebagai biang keroknya. Hal itu diakui oleh Komisaris Utama PT Sritex Iwan S. Lukminto. Ia mengatakan sejak diberlakukannya Permendag 8/2024, industri tekstil lokal kian memprihatinkan.
Permendag yang merupakan revisi dari Permendag Nomor 36 Tahun 2023 ini, mengatur kebijakan dan pengaturan impor. Permendag ini diterbitkan untuk mengatasi penumpukan kontainer di pelabuhan. Salah satu isi dari peraturan tersebut adalah dihapusnya syarat pertimbangan teknis untuk impor beberapa komoditas.
Hal ini berimbas pada banjirnya produk impor terutama dari Cina. Juga menurunnya produksi tekstil dalam negeri karena dibatalkannya kontrak pembelian oleh perusahaan yang menggunakan produk impor.
Hal itu dibenarkan oleh Menteri Perindustrian Agus Gumiwang. Ia mengatakan bahwa apa yang dikeluhkan oleh Sritex memang merupakan fakta kalau aturan itu memang merugikan industri tekstil Indonesia. “Ya saya kira apa yang disampaikan oleh Pak Iwan benar. Sudah menjadi isu yang dihadapi oleh industri tekstil,” ucapnya. Ia menambahkan bahwa apa yang dialami oleh Sritex bukan hanya permasalahan keuangan atau pasar ekspor yang lesu saja. Namun, pentingnya proteksi pada pasar dalam negeri (CNBCIndonesia.com, 29-10-2024)
Sementara, Plt Dirjen Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin Reni Yanita mengatakan bahwa lonjakan impor telah berdampak pada PHK massal di industri tekstil. Bahkan tercatat ada 11.000 orang yang mengalami PHK setelah diberlakukannya peraturan tersebut. Jumlah itu merupakan jumlah akumulatif dari 6 perusahaan yang melakukan PHK massal.
Kapitalisme Biangnya
Semua kebijakan itu tidak terlepas dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme. Ekonomi kapitalisme telah melahirkan liberalisasi ekonomi yang berakibat adanya pasar bebas. Sebagai contoh, bergabungnya Indonesia sebagai anggota ACFTA (ASEAN-Cina Free Trade Area) justru mengancam eksistensi industri dalam negeri.
Kesepakatan yang bertujuan untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang, baik tarif maupun non tarif menyebabkan banjirnya produk dari Cina yang tidak seimbang dengan ekspor ke negara tersebut. Sebagai akibatnya, industri tekstil dalam negeri tidak mampu menahan gempuran produk impor sehingga produksi menurun, penjualan merosot dan akhirnya badai PHK tidak bisa dielakkan lagi.
Sementara, negara tidak mampu memberikan perlindungan terhadap industri dalam negeri. Liberalisasi ini telah menyebabkan negara kehilangan kontrol dalam menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya. Sehingga pihak swasta bahkan asing yang mengambil alih peran.
Liberalisasi ekonomi ala kapitalisme ini telah menghilangkan peran negara sebagai pengurus urusan rakyat. Negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator saja yang tunduk pada kepentingan korporat. Sementara individu atau kelompok pemilik modal atau korporat bebas memainkan perannya tanpa intervensi dari penguasa secara signifikan. Pada akhirnya, rakyat dibiarkan sendiri memperjuangkan nasibnya, hukum rimba pun berlaku.
Islam Mengayomi Rakyat
Berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang menjamin suasana kondusif bagi para pengusaha dan perusahaan. Dalam kitab Nidzam Iqtishady karya Syaikh Taqiyudin An Nabhani dijelaskan bagaimana mekanisme negara dalam mengatur permasalahan ini. Ekonomi Islam memandang bahwa hubungan perdagangan dengan negara lain tidak bisa dilakukan secara bebas.
Semua hubungan itu harus tunduk kepada kekuasaan negara. Oleh karena itu, negara yang harus mengatur dan mengarahkan perdagangan tersebut secara langsung. Negara juga melarang dikeluarkannya beberapa komoditi dan membolehkan beberapa komoditi yang lain.
Negara harus terlibat dalam mewujudkan keseimbangan perdagangan dengan pihak luar. Hal ini untuk mempengaruhi keseimbangan neraca perdagangan dan mengatasi masalah kelemahan ekonomi dalam negeri. Intervensi negara juga dilakukan dalam rangka mewujudkan muamalah yang seimbang dengan luar negeri, seperti pemberlakuan bea cukai. Selain itu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, mendapatkan keuntungan finansial, devisa dan untuk kepentingan dakwah.
Negara akan menjamin tersedianya lapangan pekerjaan bagi seluruh rakyat misalnya dengan memberikan modal bagi siapa saja yang memerlukan modal untuk usaha yang diambil dari Baitulmal. Ada juga yang disebut sebagai iqtha’ (pemberian) dari negara kepada rakyat untuk memenuhi hajat hidup mereka. Misalnya, memberi harta untuk menggarap tanah pertanian atau melunasi hutang-hutang mereka tanpa harus dikembalikan lagi.
Bisa juga memberikan tanah yang sudah tidak dimanfaatkan atau ditelantarkan pemiliknya kepada siapa saja yang mampu menggarapnya. Dengan demikian, rakyat tetap memiliki pekerjaan dan penghasilan yang cukup untuk menafkahi keluarga serta orang-orang yang ada dalam tanggung jawabnya.
Khatimah
Sungguh, jika kaum muslim mau menerapkan aturan yang sudah Allah turunkan melalui Rasul-Nya. Niscaya keberkahan akan menyelimuti kehidupan bangsa dan negara ini. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-A’raf ayat 96,
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka medustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya."
Wallahualam bissawab. [Luth/Dara/MKC]