PHK Massal Sritex: Cerminan Kebijakan Tak Berpihak pada Rakyat
AnalisisDalam sistem ini, negara hanya berperan sebagai regulator
sementara pasar dikendalikan oleh oligarki
________________________
Penulis Nahmawati
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi
KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), merupakan salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara, secara resmi menghentikan operasionalnya per 1 Maret 2025, setelah dinyatakan pailit oleh pengadilan.
Akibatnya, lebih dari 10.000 karyawan kehilangan pekerjaan, dengan sekitar 10.665 orang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). (bbcnewsindonesia.com, 28-02-2025)
Sritex yang selama ini dikenal sebagai perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara, akhirnya harus menghadapi realitas pahit dengan melakukan PHK massal padahal perusahaan ini sebelumnya dianggap sebagai entitas yang kuat dan tahan terhadap gelombang pemutusan hubungan kerja. Namun, kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada industri tekstil nasional diduga menjadi penyebab utama dari peristiwa ini.
Di tengah kondisi ekonomi yang kian sulit, pemerintah seolah lepas tangan, membiarkan industri strategis ini tumbang tanpa perlindungan yang jelas. Kebijakan impor yang tak terkendali, lemahnya dukungan terhadap industri dalam negeri, hingga regulasi yang berubah-ubah menjadi bom waktu yang akhirnya meledak, merenggut mata pencaharian ribuan pekerja.
Dampak dari kebangkrutan Sritex ini bisa menjadi peringatan akan kemungkinan PHK massal di perusahaan lain, khususnya di sektor padat karya seperti tekstil dan garmen. Presiden Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) Irham Saifuddin menganggap bahwa peristiwa ini sebagai tragedi ketenagakerjaan.
Ia menekankan bahwa pemerintah harus cerdas dalam menarik investasi di sektor padat karya dan kembali menghidupkan industrialisasi nasional. Tanpa langkah konkret, ekonomi makro akan semakin sulit. Terutama di tingkat rumah tangga. Irham juga mengingatkan bahwa ini adalah saatnya pemerintah baru di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran melakukan perbaikan nyata untuk mengembalikan kepercayaan publik. (Okezone.com, 02-03-2025)
Disinyalir salah satu penyebab utama tumbangnya Sritex adalah kebijakan ekonomi yang kurang berpihak pada industri tekstil nasional. Faktor yang paling mencolok adalah meningkatnya arus impor tekstil dari Tiongkok, yang diperkuat melalui ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Meskipun bertujuan meningkatkan perdagangan bebas, kebijakan ini justru berdampak buruk.
Selain itu, Undang-Undang Cipta Kerja yang awalnya digadang-gadang akan meningkatkan investasi dan memperbaiki iklim usaha, justru menimbulkan konsekuensi tak terduga. Regulasi yang lebih longgar bagi investor asing serta fleksibilitas tenaga kerja malah semakin melemahkan posisi industri tekstil dalam negeri yang sudah berjuang menghadapi gempuran produk impor murah.
Akibatnya, banyak perusahaan tekstil mengalami penurunan permintaan, kesulitan keuangan, hingga akhirnya melakukan PHK massal, seperti yang terjadi pada Sritex. Jika kebijakan ini terus dibiarkan tanpa adanya proteksi bagi industri lokal, maka bukan tidak mungkin gelombang PHK di sektor tekstil akan semakin besar dan berimbas pada sektor lainnya.
Pemerintah perlu segera mengevaluasi kebijakan perdagangan dan investasi agar tidak sekadar memudahkan impor, tetapi juga memberikan proteksi bagi industri dalam negeri. Jika tidak, maka daya saing industri nasional, termasuk sektor tekstil yang menjadi tulang punggung perekonomian dan tenaga kerja, akan semakin tergerus.
Sistem Ekonomi yang Tidak Berpihak pada Rakyat
PHK massal Sritex bukan sekadar akibat dari persaingan global, tetapi juga menjadi bukti nyata dari kegagalan kapitalisme dan liberalisasi ekonomi. Dalam sistem ini, negara hanya berperan sebagai regulator, sementara pasar dikendalikan oleh oligarki yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik. Akibatnya, kepentingan rakyat, terutama buruh, sering kali terabaikan dan menjadi korban kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada mereka.
Alih-alih melindungi industri dalam negeri, pemerintah justru memperlonggar masuknya produk impor, yang akhirnya menekan perusahaan lokal hingga tidak mampu bertahan. Dalam kondisi seperti ini, para pekerja tidak lebih dari sekadar angka dalam neraca keuangan perusahaan yang dapat dengan mudah dihapus demi efisiensi bisnis.
Lebih buruknya lagi, dalam dinamika politik, perusahaan seperti Sritex sering kali dimanfaatkan sebagai alat tawar-menawar kekuasaan. Kondisi ini menunjukkan bagaimana kapitalisme tidak hanya merusak struktur ekonomi, tetapi juga merasuk ke dalam ranah politik, di mana kepentingan elite lebih diutamakan dibandingkan kesejahteraan rakyat.
Dalam kondisi seperti ini, pekerja menjadi sekadar komoditas yang dapat diberhentikan kapan saja ketika perusahaan menghadapi tekanan ekonomi. Buruh kehilangan hak atas pekerjaan yang stabil, sementara industri menentukan siapa yang layak bekerja berdasarkan efisiensi biaya, bukan kesejahteraan sosial.
Jika liberalisasi ekonomi terus dibiarkan tanpa regulasi yang berpihak kepada tenaga kerja, maka masa depan lapangan pekerjaan akan semakin tidak menentu. Perusahaan akan terus mengutamakan kepentingan investor dan pemegang saham, sementara pekerja hanya dijadikan alat produksi yang dapat dengan mudah digantikan atau dikorbankan saat kondisi ekonomi memburuk. Tanpa kebijakan yang melindungi tenaga kerja, ketimpangan sosial akan semakin melebar dan kesejahteraan rakyat akan terus terpinggirkan.
Dalam kapitalisme yang berbasis liberalisasi ekonomi, pengusaha dan pekerja sering kali berada dalam posisi yang rentan terhadap eksploitasi dan ketidakpastian. Negara lebih berpihak pada oligarki, sementara kesejahteraan pekerja dan keberlanjutan industri lokal kerap terabaikan. PHK massal di PT Sritex menjadi bukti nyata bagaimana sistem ini gagal memberikan perlindungan bagi pengusaha maupun tenaga kerja.
Solusi Sistem Ekonomi dalam Islam
Sebagai alternatif, sistem ekonomi Islam menawarkan solusi yang lebih adil dan mampu menciptakan suasana kondusif bagi pengusaha serta perusahaan. Dalam sistem ini, negara tidak hanya berperan sebagai regulator, tetapi juga sebagai penjamin kesejahteraan rakyat. Termasuk memastikan keberlanjutan usaha para pengusaha. Berikut beberapa prinsip utama ekonomi Islam yang dapat menciptakan ekosistem bisnis yang sehat.
Pertama, larangan riba dan spekulasi. Sistem Islam melarang riba (bunga) dan spekulasi yang dapat membebani pengusaha dengan utang berbunga tinggi. Hal ini mencegah ketergantungan perusahaan pada skema pinjaman berbasis bunga yang sering kali menjadi penyebab kebangkrutan industri.
Kedua, peran aktif negara dalam mengelola sumber daya alam. Negara dalam sistem ekonomi Islam memiliki kewajiban untuk mengelola sumber daya strategis dan mengontrol kebijakan perdagangan agar tidak merugikan industri dalam negeri. Liberalisasi pasar tanpa batas, seperti ACFTA, tidak akan dibiarkan jika terbukti merugikan ekonomi lokal.
Ketiga, hubungan harmonis antara pengusaha dan pekerja. Dalam Islam, hubungan antara pengusaha dan pekerja didasarkan pada prinsip keadilan dan kesejahteraan. Islam menekankan bahwa upah harus cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar pekerja dan keluarganya, serta menentang eksploitasi tenaga kerja dengan jam kerja berlebihan atau upah rendah.
Keempat, distribusi kekayaan yang adil. Sistem Islam mengatur agar kekayaan tidak hanya berputar di kalangan elite tertentu (oligarki). Melainkan didistribusikan dengan mekanisme seperti zakat, infak, dan sedekah untuk membantu masyarakat miskin serta sektor usaha kecil.
Kelima, kebijakan perdagangan yang berkeadilan. Dalam ekonomi Islam, perdagangan internasional harus dilakukan dengan prinsip keadilan. Jika suatu kebijakan seperti masuknya produk impor murah dari Cina terbukti merugikan industri lokal, maka negara memiliki hak untuk mengontrol dan membatasi perdagangan demi menjaga keseimbangan ekonomi nasional.
Dengan penerapan sistem ekonomi Islam, pengusaha akan mendapatkan perlindungan dari kebijakan yang merugikan, sementara pekerja akan memiliki hak yang lebih terjamin. Negara tidak hanya menjadi wasit yang pasif, tetapi juga berperan aktif dalam menciptakan iklim usaha yang sehat dan berkeadilan. Inilah model ekonomi yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan, tetapi juga pada kesejahteraan semua pihak, baik pengusaha maupun pekerja.
Dalam sistem ekonomi Islam, negara memiliki tanggung jawab penuh untuk menjamin terbukanya lapangan pekerjaan yang luas dan memadai. Hal ini berbeda dengan kapitalisme yang menyerahkan sepenuhnya mekanisme pasar kepada industri sehingga menciptakan ketimpangan, pengangguran, dan eksploitasi tenaga kerja.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, ekonomi dapat tumbuh secara berkeadilan tanpa mengorbankan kesejahteraan pekerja maupun keberlangsungan industri nasional. Negara harus lebih proaktif dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif dan tidak hanya berperan sebagai pengamat pasif dalam dinamika ekonomi yang semakin kompetitif. Wallahualam bissawab. [SM/MKC]