Alt Title

Kelangkaan Gas, Bukti Abai Pemerintah Kapitalis

Kelangkaan Gas, Bukti Abai Pemerintah Kapitalis

 


Keberhasilan perdagangan masyarakat terlihat dari 

sistem yang ditetapkan negara untuk mengaturnya


_______________________


Penulis Daun Sore

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Polemik gas elpiji 3 kg subsidi kembali naik di permukaan ulah distribusi yang langka di sebagian besar daerah. Permasalahan gas yang sejatinya sudah terjadi 10 tahun terakhir kembali membuat masyarakat dan pengecer menjadi kebingungan akan pasokan gas yang minim. 


Meskipun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (KESDM RI) dengan tegas mengatakan produksi gas aman, namun pada kenyataannya tidak sesuai dengan fakta. Kondisi kelangkaan ini diperparah dengan kebijakan KESDM RI terkait dengan pengetatan distribusi gas dan melarang dijual di warung non-pangkalan resmi demi tepat sasaran, yaitu jika pengecer ingin menjadi pangkalan gas, ia harus mendaftar melalui sistem Online Single Submission (OSS) untuk kemudian mendapat nomor induk berusaha (NIB) sehingga menjadi resmi dan diberi perizinan. 


Namun, hal ini berakhir semakin mempersulit warga. Mereka yang terbiasa membeli di warung eceran menjadi resah lantaran pasokannya kosong. Hal itu menyebabkan penurunan konsumen dan pendapatan pada penjual di warung nonresmi.


Munculnya kebijakan baru ini, masyarakat harus terpaksa mengikuti antre gas panjang berjam-jam demi memenuhi energi primer tersebut. Dilansir dari kompas.com pada 3 Februari 2025, akibat sulitnya gas, antrean panjang juga terjadi di wilayah Tangerang Selatan pada berbagai agen resmi seperti Toko Triwijaya, Jalan Ceger Raya, Jurangmangu Barat, Pondok Aren. Dalam laman tersebut ditulis bahwa warga terlihat mengantri sejak pukul 05.00 WIB untuk mendapatkan gas elpiji 3 kg antrian tidak terjadi pada 1 daerah saja. 


Dampak-dampak kompleks yang dihasilkan diawali dengan penyebab-penyebab yang kompleks pula. Mulai dari pengetatan distribusi gas oleh KESDM RI yang bersampul demi tepat sasaran, ditambah kuota yang dikurangi pada tahun 2025. Belum lagi munculnya praktik pengoplosan gas LPG sampai pada penimbunan gas oleh pengecer. 


Pada informasi awal, gas elpiji 3 kg subsidi memang seharusnya diperuntukkan untuk masyarakat bawah, yaitu rumah tangga, usaha mikro, petani sasaran (yang telah mendapatkan bantuan paket perdana elpiji untuk mesin pompa air dari pemerintah), dan nelayan sasaran (yang telah mendapatkan bantuan paket perdana elpiji untuk kapal penangkap ikan dari pemerintah). (kompas.id, 04-02-2025)


Sebenarnya pemerintah sudah memberikan kebijakan di mana gas epliji 3 kg atau gas melon ini hanya bisa diterima oleh masyarakat yang berhak saja. Namun saat praktik lapangan, kebijakan ini justru terlalaikan. Harga yang sangat timpang dengan gas nonbersubsidi menjadi alasan masyarakat menengah ke atas ikut menikmatinya.


Menilik dari laman Institut Teknologi Sepuluh Nopember (10-02-2025), sejumlah pengamat mengatakan bahwa langkanya gas elpiji subsidi ini bukan terletak pada pasokan, tetapi pada tata kelola distribusi dan pengawasan yang lemah. Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, mengungkapkan bahwa kebocoran distribusi adalah masalah utama dalam subsidi gas melon atau elpiji 3 kg. Banyak oknum yang diduga menimbun gas demi mendapatkan keuntungan besar saat harga naik.


Lingkup masalah terbesar salah satunya terpusat pada penimbunan barang yang dilakukan sebagian pengecer dan pangkalan. Hanya demi mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya, mereka rela membiarkan rakyat berdesakan mengantri gas yang tidak menjamin bisa dapat saat stok toko sudah habis. Lantas, apakah ini salah mereka? Ya, tetapi tidak sepenuhnya.


Pola pelaku penjualan juga tergantung dengan kebijakan pemerintah untuk rakyat. Bagaimana keberhasilan perdagangan masyarakat terlihat dari bagaimana sistem yang ditetapkan negara untuk mengaturnya. Sama halnya dengan penimbungan gas atau barang lainnya, tak bisa terlepas dari bagaimana sistem menaungi masyarakat dan hasilnya mampu ditebak dari sistem awal. Apabila sistem yang mengatur menyimpang dari individu, masyarakat, dan negara pasti akan menyimpang. 


Mengetahui apakah sistem negara saat ini berhasil, bisa dilihat dengan fakta lapangan yang terjadi di negara tersebut. Faktanya, berbagai bidang kehidupan menunjukkan sisi keporak-porandaannya. Bidang perekonomian tidak pernah berhenti membuahkan kerusakan yang memperparah kondisi penduduknya. Isu pengangguran akibat minimnya lowongan pekerjaan dan pendidikan yang rendah, inflasi, deflasi, kemiskinan yang semakin tercekik ditambah kelangkaan gas subsidi.


Solusi yang diberikan oleh sistem ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Baik dari solusi yang tidak solutif atau usaha pemerintah yang tidak maksimal. Masalah yang berputar untuk masyarakat saja, solusi secara fakta di tanggungkan pada individu masing-masing. Wajar jika terbentuk masyarakat individualis melihat bagaimana ketidak acuhan pemerintah dalam menjaga kesejahteraan rakyatnya.


Bagaimana Islam Memandang Hal Ini?


Dalam Islam, persoalan kehidupan baik itu besar atau kecil akan selalu diselesaikan dengan cepat dan akurat. Memberikan solusi solutif yang dijamin negara tidak akan terulang kembali. Penimbunan barang misalnya. Islam menyebutnya Kanzul Mal. Dengan jelas Allah melarang hal ini sebagaimana firman-Nya:


".........dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih," (QS. At-Taubah: 34)


Melalui ayat tersebut, bisa disimpulkan bahwa aktivitas menyimpan harta (menimbun harta) baik itu berupa uang atau barang, diharamkan oleh Allah Swt.. Maksud menimbun disini ialah mengumpulkan harta tanpa diperlukan, hanya untuk disimpan saja sehingga harta itu tidak berputar di masyarakat, menyebabkan pemasukan menurun dan kemiskinan menjadi akibatnya. 


Apabila terdapat pangkalan yang dengan sengaja menimbun barang dan akan dijual setelah konsumen menaikkan barang, dengan sigap negara langsung mengentaskannya. Misalnya, dengan mengambil barang yang ditimbun, kemudian pelaku Kanzul Mal akan disanksi dengan hukuman takzir. Tidak dengan hukuman yang bisa dibayar dengan uang sehingga tak ada lagi yang berani melakukan hal serupa.


Bagaimana cara Negara Islam (Daulah Islamiah) bisa mengetahui kasus ini? Mudah saja. Khalifah atau perwakilan akan turun lapangan langsung untuk melihat kondisi masyarakat apakah benar-benar sejahtera atau tidak? Apabila ada masyarakat yang melakukan penyimpangan, negara akan langsung menyelesaikannya. Tidak melihat lagi apakah ia saudara khalifah atau bukan.


Solusi solutif ini tidak bisa dijalankan apabila sistem negara masih menggunakan sistem rusak. Sistem yang membuat kebijakan dapat berjalan. Jika sistem koyak maka kebijakan pun mengikuti. Maka dengan tangan terbuka, seluruh umat islam wajib untuk terus bergerak. Kembali menyuarakan tegaknya Islam di tengah-tengah umat untuk memperbaiki seluruh masalah di lini kehidupan dengan akurat. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]