Alt Title

Palestina di Ujung Nestapa, Masih Adakah Harapan Nyata?

Palestina di Ujung Nestapa, Masih Adakah Harapan Nyata?



Solusi Islam melalui kepemimpinan yang kokoh 

menawarkan harapan nyata untuk membebaskan Palestina 

_____________________


Penulis Etik Rositasari

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Mahasiswa Pascasarjana UGM


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Konflik di Palestina terus berlangsung dengan intensitas yang kian brutal. Serangan Israel terhadap Gaza, sebagaimana dilaporkan Beritasatu.com telah memasuki fase darat dengan ancaman langsung terhadap warga sipil.


CNBC Indonesia pada 19 Maret 2025 melaporkan bahwa dalam sehari 413 orang tewas akibat serangan Israel. Ironisnya, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyebut hal tersebut "baru permulaan". 


Di tengah kesucian Bulan Ramadan, ketegangan makin meningkat ketika Israel merampas pengeras suara Masjid Al-Aqsa (Aceh.Tribunnews.com, 13 Maret 2025) dan memperluas operasi darat ke Rafah untuk "membongkar infrastruktur teroris". (CNNIndonesia.com, 21 Maret 2025)


Fakta-fakta tersebut bukan sekadar berita, tetapi seruan darurat yang seharusnya mengguncang hati nurani. Namun tragisnya, perhatian umat Islam di Indonesia dan dunia tampak redup. Tenggelam dalam hiruk-pikuk persoalan domestik. Palestina menjerit, tetapi dunia seolah tuli.


Mengapa Palestina Terus Berdarah?


Konflik Palestina bukan cerita baru. Puluhan tahun berlalu, namun pola kekerasan yang sama terus terulang. Serangan brutal, korban jiwa, dan janji-janji kosong dari dunia internasional. Hal tersebut nyatanya tak lepas dari pengaruh sistem dunia saat ini. Dengan diplomasi sekuler dan organisasi dunia kebanggaannya seperti PBB yang telah menunjukkan impotensinya.


Resolusi demi resolusi dikeluarkan, tetapi tak satu pun mampu menghentikan tank Israel atau mengembalikan hak rakyat Palestina. Perjanjian Oslo, Camp David, dan berbagai mediasi lainnya hanya menjadi formalitas yang memperpanjang status quo penjajahan. Alasannya jelas, tak lain karena sistem ini tidak memiliki mekanisme penegakan hukum yang efektif. 


Negara-negara adidaya, khususnya para pendukung Israel seperti Amerika Serikat, lebih memilih kepentingan geopolitik daripada keadilan. Bantuan kemanusiaan yang dikirim hanya menutup luka sementara, tanpa menyentuh sumber pendarahan yaitu agresi zionis yang tak terkendali. Lebih jauh, negara-negara muslim yang seharusnya menjadi benteng perlawanan justru terjebak dalam sekat nasionalisme.


Meski memiliki populasi besar dan sumber daya melimpah, mereka tak mampu bersatu. Sebagian sibuk menjaga hubungan diplomatik dengan Barat, sementara yang lain tenggelam dalam konflik internal. Akibatnya, Palestina dibiarkan sendirian menghadapi musuh yang jauh lebih terorganisasi dan didukung penuh oleh kekuatan global.


Di sisi lain, umat Islam tengah menghadapi krisis kesadaran. Di Indonesia misalnya, perhatian terhadap Palestina sering kali kalah oleh isu-isu lokal seperti inflasi, korupsi, atau bencana alam. Meskipun persoalan ini memang signifikan, penderitaan saudara seiman yang dibantai tanpa henti menuntut respons yang lebih serius. Keredupan perhatian ini bukan hanya karena kurangnya informasi, tetapi karena lemahnya pemahaman akan kewajiban kolektif. 


Palestina bukan sekadar isu politik atau kemanusiaan, ia adalah ujian keimanan. Ketika Masjid Al-Aqsa salah satu tempat suci umat Islam dilecehkan, ketika anak-anak Gaza kehilangan masa depan, hal tersebut seyogyanya menjadi panggilan langsung kepada setiap muslim. Namun sayangnya, respons yang ditunjukkan sering kali terbatas pada doa dan donasi. 


Krisis kesadaran tersebut diperparah oleh absennya narasi yang kuat untuk membangkitkan umat. Media massa lebih sibuk dengan sensasi daripada edukasi ideologis. Akibatnya, banyak muslim yang tidak lagi melihat Palestina sebagai bagian dari perjuangan besar melawan kezaliman, padahal tanpa kesadaran ini, solusi apa pun akan sia-sia karena perubahan sejati membutuhkan kekuatan massa yang terjaga dan terarah.


Tekanan ekonomi dengan pemboikotan produk Israel sering kali juga dielukan bisa menjadi jalan keluar. Realitasnya, solusi tersebut tak mengakhiri penderitaan. Boikot memang mengganggu ekonomi Israel, namun tidak menghentikan aksi militernya. Sanksi internasional juga tak efektif karena kekuatan veto di PBB yang melindungi Israel. Sementara itu, bantuan kemanusiaan meski mulia, hanya berfungsi sebagai plester pada luka yang terus membusuk. 


Solusi parsial tersebut nyatanya gagal menyentuh inti masalah yaitu kekuatan militer dan politik. Alih-alih berharap pada solusi semu, zionis mesti dilawan dengan kekuatan serupa. Palestina tidak butuh belas kasihan, mereka butuh pembebasan. 


Islam sebagai Jalan Keluar


Di tengah kegelapan yang menyelimuti Palestina, Islam menawarkan solusi yang kokoh dan penuh harapan melalui tegaknya kepemimpinan Islam. Bagi rakyat Palestina, kepemimpinan ini menjadi jawaban nyata untuk mengakhiri penjajahan. Dengan menyatukan kekuatan militer umat Islam di bawah satu visi, pasukan dapat dikerahkan untuk melawan zionis dalam jihad, mengikuti teladan Rasulullah saw. seperti dalam Perang Badar dan Khaibar.


Sejarah mencatat bahwa ketika umat Islam memiliki kepemimpinan yang kuat, seperti masa Daulah Umayyah atau Abbasiyah, Palestina dapat terlindungi dari agresi. Saat itu, musuh tidak dapat bertindak seenaknya karena ada kekuatan yang terorganisasi sebagai penyeimbang.


Kepemimpinan Islam juga menawarkan tatanan hidup yang lebih adil, berlandaskan syariat sebagai hukum terbaik dari Allah Swt.. Sistem ini menjanjikan kehidupan yang bebas dari korupsi dan kemiskinan. Di mana kesejahteraan dirasakan oleh seluruh umat manusia, baik muslim maupun nonmuslim dalam suasana damai dan penuh berkah.

 

Tegaknya kepemimpinan Islam sejatinya bukan sebuah opsi yang bisa dipilih. Hal ini sebagaimana Allah firmankan dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 59 yang memerintahkan ketaatan kepada Allah, Rasul, dan pemimpin yang menegakkan syariat.


Sementara itu, hadis Rasulullah saw. juga menyatakan: “Barang siapa mati tanpa baiat di lehernya, maka ia mati dalam kematian jahiliah.” (HR. Muslim)


Ini menandakan bahwa terwujudnya kepemimpinan Islam merupakan kewajiban syariat, bahkan disebut sebagai “mahkota kewajiban" yang perlu diperjuangkan dengan sungguh-sungguh.


Khatimah


Fakta di Palestina menjadi cerminan kegagalan sistem dunia dan tantangan besar bagi umat Islam. Solusi Islam melalui kepemimpinan yang kokoh menawarkan harapan nyata untuk membebaskan Palestina sekaligus memulihkan martabat umat yang telah lama meredup. Kini tanggung jawab berada di tangan generasi saat ini. Sudah saatnya kita meningkatkan kesadaran, mendukung upaya persatuan, dan berkontribusi pada perjuangan yang lebih besar. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]