Alt Title

Transportasi Mudik yang Aman dan Nyaman Hanya Impian?

Transportasi Mudik yang Aman dan Nyaman Hanya Impian?




Ini bukan semata soal teknis maupun anggaran,

melainkan soal paradigma pengelolaan yang keliru 


_____________________


Penulis Etik Rositasari

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Mahasiswa Pascasarjana UGM


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Tradisi mudik Lebaran setiap tahun menjadi momen yang dinanti-nantikan untuk berkumpul bersama sanak saudara. Jelang Lebaran 2025, animo masyarakat untuk pulang kampung kembali terlihat jelas.


Menurut Kementerian Perhubungan sembilan hari sebelum Lebaran pergerakan penumpang angkutan umum mulai melonjak signifikan di semua moda transportasi darat, laut, dan udara. (dephub.go.id, 31 Maret 2025)


Di Terminal Kampung Rambutan Jakarta misalnya jumlah penumpang dilaporkan meningkat hingga 30% dibanding hari biasa. Sementara itu, Bandara Soekarno-Hatta mencatat kenaikan penerbangan domestik sebesar 15% dalam sepekan menjelang puncak mudik yang menunjukkan betapa besarnya kebutuhan akan layanan transportasi di periode ini.


Menanggapi fenomena tersebut, pemerintah sebetulnya telah meluncurkan tujuh kebijakan Ramadan untuk meringankan beban masyarakat, termasuk pemberian THR kepada ASN serta diskon tiket transportasi publik sebesar 20-30% untuk kereta api dan bus tertentu. (sindonews.com, 7 Maret 2025)


Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan daya beli dan mempermudah akses transportasi resmi selama mudik. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa upaya tersebut belum cukup menjawab tantangan yang lebih luas. 


Maraknya travel gelap misalnya, menjadi problematika rutin yang belum mampu terselesaikan. Laporan dari Liputan6.com (8 April 2025), mengungkap masifnya travel gelap di wilayah seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di mana puluhan kendaraan tak berizin kedapatan mengangkut penumpang di jalur alternatif, seperti dari Brebes hingga Semarang.


Polisi lalu lintas bahkan mencatat setidaknya terdapat 50 kasus operasi travel ilegal dalam sebulan menjelang Lebaran. Sayangnya, penindakan terhadap travel ilegal tersebut masih tersendat keterbatasan personel dan lemahnya koordinasi antarinstansi. Kondisi ini diperparah oleh kemacetan yang kian menjadi pemandangan tahunan.


Data Badan Pengelola Jalan Tol pada 2024 mencatat kepadatan di Tol Cipali mencapai 1,5 juta kendaraan dalam empat hari puncak mudik, menyebabkan antrean hingga 20 kilometer di beberapa titik. Tahun ini, situasi serupa mulai terlihat dengan laporan awal menunjukkan kemacetan di gerbang tol Cikampek Utama yang membentang hingga 5 kilometer pada H-7 Lebaran. 


Tidak hanya itu, kecelakaan lalu lintas menjadi ancaman serius. Menurut Korlantas Polri, pada musim mudik 2024, terjadi 1.200 kecelakaan dalam dua minggu, di mana 70% di antaranya melibatkan bus antarkota dan truk yang melebihi muatan atau menggunakan komponen aus, seperti ban gundul. 


Akar Masalah Tata Kelola Transportasi


Jika kita cermati lebih dalam, permasalahan transportasi di Indonesia tidak terlepas dari sistem tata kelola negara yang berlandaskan pada paradigma kapitalisme-sekuler. Dalam sistem ini, transportasi dipandang sebagai sektor komersial yang menguntungkan, bukan sebagai pelayanan publik yang menjadi hak rakyat. Pengelolaan transportasi sebagian besar diserahkan kepada pihak swasta, sementara negara hanya berperan sebagai regulator.


Konsekuensinya, layanan transportasi sangat dipengaruhi oleh prinsip untung-rugi. Saat musim mudik tiba, momen ini menjadi "pasar besar" yang menggiurkan bagi pelaku industri transportasi. Lonjakan permintaan dimanfaatkan untuk menaikkan tarif semaksimal mungkin, bahkan sering kali tanpa mempedulikan aspek kenyamanan dan keselamatan penumpang.


Sistem kapitalis juga membuat pembangunan infrastruktur sangat terpusat di wilayah perkotaan dan daerah yang dinilai strategis secara ekonomi. Akibatnya, terjadi ketimpangan pembangunan antara kota dan desa. Banyak masyarakat terpaksa merantau ke kota untuk mencari nafkah karena daerah asal mereka tidak mendapatkan akses pembangunan yang memadai. Mudik menjadi sebuah "kebutuhan tahunan" akibat urbanisasi yang masif, bukan sekadar tradisi.


Selain itu, sistem ini juga gagal menciptakan sistem transportasi yang terintegrasi dan berkeadilan. Ketersediaan sarana dan prasarana yang tidak merata membuat banyak wilayah, terutama daerah terpencil, masih kesulitan mengakses transportasi umum yang layak. Ini bukan semata soal teknis maupun anggaran, melainkan soal paradigma pengelolaan yang keliru dan tidak berpihak kepada rakyat.


Menuju Reformasi Sistem Kelola Tranportasi dengan Islam


Islam sebagai sistem hidup yang sempurna memiliki pandangan yang sangat berbeda dalam memandang transportasi. Dalam Islam, haram bagi negara menyerahkan pengelolaan transportasi kepada swasta karena ini adalah tanggung jawab mutlak penguasa untuk memenuhi kebutuhan rakyat.


Negara wajib menyediakan sistem transportasi yang aman, nyaman, murah, dan tepat waktu, didukung fasilitas penunjang berbasis teknologi terkini. Meski pembangunan infrastruktur mahal dan kompleks, anggaran untuk kebutuhan publik bersifat wajib dan tidak boleh dikompromikan.


Yang menjadi pertanyaan, bagaimana sistem Islam mewujudkan visi tersebut? Terdapat beberapa hal yang akan ditempuh oleh negara sebagai pengelola urusan umat.


Pertama, melalui kekuatan finansial negara yang berasal dari sumber pendapatan beragam dan adil. Kekayaan alam seperti minyak, gas, dan mineral dikelola sebagai milik umum, bukan diserahkan kepada korporasi swasta.


Pendapatan dari pos seperti kharaj (pajak tanah), jizyah (pajak nonmuslim), dan ghanimah (harta rampasan perang yang sah) memperkuat kas negara. Dengan dana ini, negara mampu membangun infrastruktur transportasi kelas dunia seperti jalan raya, rel kereta api berkecepatan tinggi, pelabuhan modern, hingga bandara yang efisien tanpa membebani rakyat dengan tarif mahal.


Kedua, Islam memandang pembangunan sebagai hak seluruh rakyat, bukan hanya penduduk perkotaan. Negara wajib memastikan infrastruktur merata di seluruh wilayah, sehingga peluang ekonomi terbuka lebar di pedesaan dan daerah terpencil.


Contohnya, pembangunan jalur kereta api atau jalan raya di Kalimantan dan Papua akan memicu pertumbuhan ekonomi lokal, mengurangi ketergantungan pada kota besar. Ketika lapangan kerja tersedia di mana-mana, tradisi mudik tidak lagi menjadi tekanan besar bagi sistem transportasi karena migrasi ke kota akan berkurang secara alami.


Ketiga, pengelolaan transportasi dalam Islam berfokus pada pelayanan, bukan keuntungan. Armada bus, kereta, dan kapal dioperasikan oleh negara dengan standar keselamatan tertinggi. Pengawasan ketat dilakukan dengan memastikan tidak ada operator ilegal atau armada di bawah standar. Teknologi canggih seperti sistem tiket online terintegrasi, pelacakan armada real-time, dan pusat komando darurat juga diberlakukan untuk menjamin operasional yang efisien dan responsif. Dengan hal tersebut, rakyat tidak hanya mendapatkan layanan murah, tetapi pengalaman mudik yang nyaman dan aman.


Visi tersebut nyatanya bukan sekadar angan kosong dan harapan yang utopis. Sejarah Kekhalifahan telah memberikan bukti nyata. Pada masa Abbasiyah, jaringan jalan pos dan karavan dikembangkan untuk mendukung mobilitas rakyat, pedagang, dan peziarah. Stasiun-stasiun peristirahatan juga dilengkapi fasilitas dasar seperti air dan tempat istirahat, tanpa membebani pengguna dengan biaya mahal.


Realitas ini menunjukkan bahwa transportasi publik yang berkualitas bukanlah mimpi, melainkan realitas yang bisa diwujudkan dengan paradigma yang tepat. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]